Abdus Salam: Jenius Ahmadiyah Peraih Nobel Fisika yang Dikubur Sejarah

Abdus Salam: Jenius Ahmadiyah Peraih Nobel Fisika yang Dikubur Sejarah

Travel | BuddyKu | Selasa, 28 Maret 2023 - 04:08
share

JAKARTA - Pada 1979, seorang ilmuwan Pakistan bernama Abdus Salam memenangkan Nobel Fisika. Penemuan terbesar dalam hidupnya ini adalah kunci yang mendasari teori fisika partikel yang masih dipakai hingga kini, juga menjadi tonggak penemuan partikel Higgs Boson pada 2012.

Higgs Boson adalah partikel yang dianggap memberikan massa kepada materi, kerap disebut dengan nama Partikel Tuhan.

Lepas Tim ke Kongo untuk Pasukan Perdamaian PBB, Panglima: Ini Tugas Istimewa!

Salam adalah orang Pakistan pertama yang memenangkan Nobel, semestinya kemenangan ini menjadi momen bersejarah bagi negaranya.

Namun, setelah puluhan tahun berlalu, kisahnya terlupakan di tanah kelahirannya. Sebagian karena keyakinan yang dianutnya dengan taat.

Sebuah film dokumenter Netflix, "Salam - The First ****** Nobel Laureate", mencoba membawa Salam dan pencapaiannya kembali ke permukaan.

"Salam adalah Muslim pertama yang memenangkan Penghargaan Nobel di bidang ilmu pengetahuan," kata Zakir Thaver, salah satu produser film tersebut, dilansir dari BBC Culture, Senin (27/3/2023).

Resahkan Penumpang Angkot, Pengamen Diamankan Satpol PP

"Dia juga sangat berkomitmen pada akar budayanya. Sebagai tanda perjuangan untuk masyarakat [Pakistan], ia mengenakan turban saat menerima penghargaan tersebut dari Raja Swedia."

Saat berpidato di malam Perjamuan Nobel, Salam mengutip ayat Al Quran.

Dokumenter ini merangkum dedikasi Salam dalam menghadapi tiga ujian dalam hidupnya: tentang fisika, keyakinannya, dan kebangsaannya.

Salam sudah menonjol semenjak kecil. Ia lahir di Jhang, sebuah kota di India yang kala itu masih diduduki Inggris, pada 1926. Ayahnya, yang bekerja sebagai guru, yakin bahwa kelahiran Salam adalah petunjuk Tuhan yang diterimanya saat salat Jumat.

Ia tumbuh dengan berbagai keistimewaan yang tak didapatkan saudara-saudarinya. Salam tak harus mengerjakan pekerjaan remeh-temeh seperti memerah susu sapi dan mengosongkan jamban, sehingga dia punya banyak waktu luang untuk belajar matematika.

Meski begitu, masa kecilnya tak mewah. Salam meninggalkan kotanya karena diterima di Perguruan Tinggi Negeri di Lahore, dan itulah untuk pertama kalinya ia melihat lampu listrik.

Di sana, kemampuan matematika dan fisika Salam jauh melampaui teman-temannya. Dia kemudian mendapat beasiswa ke Universitas Cambridge, menjadikannya satu dari sedikit siswa asal Asia Selatan yang belajar di kampus itu.

Namun daya tarik kampung halaman terlalu kuat: setelah mendapat gelar doktor dari Cambridge, Salam kembali ke Lahore dan menjadi Profesor Matematika.

Menyelaraskan ilmu pengetahuan dan agama

Salam adalah penganut Ahmadiyah. Sepanjang hidupnya, ia taat beribadah. Ketika bekerja sepanjang hari di rumahnya di London, ia lakukan sambil memutar rekaman lantunan ayat-ayat suci Al Quran.

Dia juga tidak pernah melihat keyakinannya sebagai halangan untuk ilmu pengetahuan. Bahkan, ia menganggap kedua bidang ini bekerja saling berkelindan. Ia kerap mengaku kepada banyak sejawatnya, sebagian besar ide-ide datang kepadanya dari Tuhan.

Dia bekerja keras menemukan teori dasar fisika yang bisa menjelaskan semua teori fisika partikel, yang dikatakannya mirip dengan keyakinannya.

"Kami (para fisikawan) ingin memahami kompleksitas semua benda di alam semesta dengan konsep dasar sesedikit mungkin," ujarnya suatu kali. Tapi dia pun mengakui, ada beberapa hal dalam ilmu pengetahuan yang tidak cocok dengan keyakinannya, teori Dentuman Besar atau Big Bang, misalnya.

Keyakinannya, yang merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup Salam, juga menjadi sumber penderitaan terbesar dalam hidupnya. Penyebabnya, jemaah Ahmadiyah mengalami persekusi hebat di Pakistan.

Gerakan Ahmadiyah berawal pada 1889 di Punjab, India Britania. Penganutnya percaya bahwa pendiri Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, adalah mesiah. Umat Islam, yang percaya Nabi Muhammad adalah utusan terakhir, tak setuju.

"Komunitas Amadiyah adalah kelompok yang patuh hukum dan saling menghormati," ujar Adeel Shah, pemuka Ahmadiyah di London. "Namun komunitas ini banyak menghadapi persekusi dan diskriminasi, terutama di Pakistan."

Serangkaian kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di Lahore pertama kali terjadi pada 1953. Pemerintah Kota Punjab mengeluarkan pernyataan resmi yang mengatakan jumlah korban tewas akibat kerusuhan ini 20 orang. Namun banyak yang memperkirakan jumlah korban tewas di lapangan jauh lebih tinggi, mencapai ratusan.

Sebuah aturan perundangan yang disahkan pada 1974 menyatakan jemaah Ahmadiyah bukan bagian dari Islam, sehingga hak-hak mereka dirampas. Belum lama ini, pada 2010, dua masjid Ahmadiyah di Pakistan diserang, menewaskan 94 orang dan melukai 120 lainnya.

"Sampai sekarang, bila seorang Ahmadiyah mengucapkan salam dengan cara Islami [di Pakistan], orang itu bisa secara hukum dipenjara selama tiga tahun," ungkap Shah.

Setelah kerusuhan pada 1953, Salam memutuskan angkat kaki dari Pakistan. Ia kembali mengajar di Cambridge selama beberapa tahun, sebelum pindah ke Imperial College, London, di mana dia membantu mendirikan departemen teori fisika.

Meski mengalami penolakan dari negaranya, dia tidak pernah bisa lepas dari Pakistan. Salam terus turut terlibat dalam proyek-proyek iptek negara. Pada 1961, dia ikut andil meluncurkan program luar angkasa Pakistan.

Di awal 1970-an, Salam melakukan tindakan kontroversial, terlibat dalam usaha Pakistan untuk membuat senjata nuklir.

Namun setelah Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto mengesahkan aturan yang mengucilkan Jemaah Ahmadiyah pada 1974, Salam menarik diri dari seluruh kegiatan administrasi negara. Dia kemudian menjadi salah satu penentang paling lantang senjata nuklir.

Di 1979, lima tahun setelah hukum Pakistan menyatakan kaum Ahmadiyah sebagai non-Muslim, Abdus Salam menjadi orang Pakistan pertama yang memenangi Hadiah Nobel. Di mata dunia, dia adalah Muslim pertama yang menerima Nobel Fisika. Namun tidak di negaranya.

Di nisan Salam, yang terletak di Kota Rabwah, Pakistan, tadinya tertulis bahwa dia adalah Penerima Nobel Muslim pertama. Hingga pemerintah lokal memerintahkan untuk menggosok bersih kata \'Muslim\'. Deskripsi yang sebagian hilang ini kemudian dijadikan judul film dokumenter Salam.

Topik Menarik