Eks Pegawai OHCHR Ungkap Praktik Suap China di Badan-badan PBB

Eks Pegawai OHCHR Ungkap Praktik Suap China di Badan-badan PBB

Global | sindonews | Kamis, 25 April 2024 - 09:45
share

Sebuah laporan dari Inggris mengungkap bahwa China telah menyabotase tatanan internasional untuk mencapai tujuan hegemoni global dan membatasi demokrasi di dalam negeri untuk mendukung pemerintahan otokratis Partai Komunis China (CCP).

Laporan tersebut juga menyebut China telah menginjak-injak HAM demi membangun dominasi etnis Han China di seluruh dunia.

Menurut laporan itu, sekarang menjadi penting bagi Beijing untuk membungkam suara PBB terhadap semua kelakuan buruk China. Untuk memastikan hal tersebut, Beijing kini mencoba menggunakan kekuatan uangnya untuk memengaruhi pejabat senior pengawas internasional tersebut.

Laporan tersebut didasarkan pada bukti tertulis yang diserahkan whistleblower bernama Emma Reilly—mantan pegawai Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) PBB—kepada Komite Urusan Luar Negeri, sebuah panel Parlemen yang mengawasi Kementerian Luar Negeri Pemerintah Inggris.

Baca Juga: China Frustrasi atas Latihan Gabungan AS Bersama Filipina dan Jepang di Indo-Pasifik

"Komite Urusan Luar Negeri menerbitkan bukti tertulis yang diterima sebagai bagian dari penyelidikannya mengenai hubungan internasional dalam sistem multilateral," bunyi keterangan website Parlemen Inggris.

"Buktinya, mantan pegawai OHCHR dan pengungkap fakta (whistleblower) Emma Reilly menuduh bahwa 'bantuan berbahaya' telah 'diberikan oleh OHCHR kepada pemerintah China' dan 'bantuan tersebut termasuk dalam kategori tidak sah dalam upaya China untuk menjadikan PBB sebagai alat untuk melayani kepentingan nasionalnya’. Bukti yang ditunjukkan Reilly menunjukkan bahwa 'PBB menutup-nutupi bantuan khusus kepada China’,” lanjut keterangan tersebut.

Mengutip dari The HK Post, Kamis (25/4/2024), Reilly menuduh bahwa selama dua tahun negosiasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Beijing telah membayar sejumlah suap dan memiliki pengaruh signifikan terhadap naskah akhir yang diajukan ke Majelis. Uang ini disebut Reilly didesain agar tidak boleh dibelanjakan di negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Bukti tertulisnya mencakup tuduhan bahwa—salah satu—Ketua Cabang Dewan HAM di OHCHR diam-diam memberikan informasi awal kepada China mengenai aktivis HAM mana saja yang akan menghadiri sesi di Dewan HAM.

Reilly mengatakan sejumlah pejabat PBB di berbagai tingkat dengan sengaja berbohong kepada negara-negara anggota, termasuk delegasi Inggris Raya, yang menanyakan kebijakan PBB dalam menyerahkan nama—termasuk nama warga negara dan penduduk Inggris—kepada China tanpa persetujuan mereka.

Bukti laporan Reily menyatakan bahwa dalam kasus di mana China telah mendapat nama-nama delegasi LSM terlebih dahulu dari Sekretariat PBB, para delegasi tersebut melaporkan bahwa anggota keluarganya dikunjungi polisi China. Pihak keluarga itu kemudian dipaksa menelepon aktivis di PBB untuk menghentikan advokasi mereka.

Intimidasi di PBB

Selain itu, lanjut laporan Reilly, pihak keluarga aktivis juga secara sewenang-wenang ditangkap, dijadikan tahanan rumah, menghilang, dijatuhi hukuman penjara yang lama tanpa alasan, atau jika berkaitan dengan Uighur, dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi.

Reilly menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, anggota keluarga aktivis meninggal dalam tahanan. Setidaknya dalam satu kasus, ada seseorang yang masuk dalam daftar China hanya karena menghadiri sebuah side-event. Ketika kembali ke China, dia meninggal dalam tahanan.

Reilly menuduh bahwa setidaknya dalam satu kasus, pemerintah China mengeluarkan red notice Interpol terhadap sebuah delegasi LSM.

Bukti dari Reilly mencakup tuduhan bahwa laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang asal usul Covid-19 telah diedit untuk mengurangi referensi mengenai kemungkinan kebocoran laboratorium. Bukti tersebut juga mencakup pengajuan dari Kantor Persemakmuran dan Pembangunan Luar Negeri bahwa China sedang berupaya untuk membentuk sistem multilateral agar lebih selaras dengan pandangan dunia yang otoriter dan berpusat pada negara.

Organisasi-organisasi seperti Committee for Freedom in Hong Kong Foundation, China Strategic Risks Institute, GAVI (Global Alliance for Vaccine and Immunization), Hong Kong Watch, Foreign Policy Center dan Council on Geostrategy telah menyerahkan bukti, begitu juga dengan beberapa pakar individu dan akademisi seperti Bill Browder.

Laporan dari London mengutip Emma Reilly untuk menjelaskan bagaimana China mencoba mengintimidasi pejabat independen PBB sekalipun.

"Permintaan Beijing yang konsisten untuk mengadakan pertemuan dan permintaan maaf kepada mereka, bahkan setelah kritik yang paling ringan sekalipun, telah memastikan bahwa pejabat PBB yang relatif independen pun tidak secara terbuka mengkritik China, atau bahkan mengangkat masalah hak asasi manusia secara pribadi," sebut laporan Reilly.

"Hal ini menghasilkan situasi buruk di mana negara-negara demokrasi yang mengizinkan perbedaan pendapat lebih sering dikritik oleh badan-badan HAM dan kemanusiaan PBB dibandingkan rezim otokratis," lanjutnya.

Para analis mengatakan Beijing pada dasarnya berusaha mencapai tujuannya untuk mencapai status negara adidaya nomor satu di dunia dengan menyabotase tatanan ekonomi berbasis aturan, melemahkan demokrasi, dan menginjak-injak HAM.

Untuk mencapai tujuan ini, penting bagi pelapor seperti PBB untuk tidak bersuara menentang aktivitas China. Mereka juga berusaha mempengaruhi pemungutan suara di PBB untuk menghentikan diskusi mengenai topik-topik yang memalukan bagi China agar tidak terjadi di forum internasional.

Hegemoni China

Salah satu laporan paling memberatkan dari OHCHR terhadap China adalah mengenai pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di wilayah Xinjiang. Laporan tersebut, yang dirilis pada 31 Agustus 2022, menyimpulkan bahwa perlakuan terhadap warga Uighur oleh otoritas China merupakan "kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan."

Masyarakat Tibet juga telah diperlakukan dengan cara sama di masa lalu. Upaya terbaru di dataran tinggi tersebut adalah memisahkan anak-anak Tibet di sekolah berasrama dari keluarga mereka dan melatih mereka dengan cara-cara China. Tujuan Partai Komunis China adalah untuk membawa semua komunitas minoritas di China di bawah dominasi etnis Han.

Contoh paling mencolok tentang bagaimana demokrasi diinjak-injak di China adalah Daerah Administratif Khusus Hong Kong. Sejak tahun 2019, upaya sistematis dilakukan untuk mencekik lembaga-lembaga demokrasi di kota kepulauan yang pernah berada di bawah kekuasaan Inggris; seperti peradilan yang independen, badan legislatif yang representatif, dan pers yang bebas.

Menyusul dua undang-undang kontroversial, yaitu Undang-Undang Keamanan Nasional dan Pasal 23, aktivis politik dan jurnalis telah ditangkap, surat kabar independen telah ditutup dan suara perbedaan pendapat telah dikekang. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan mendorong pemerintahan otokratis di China dengan membungkam suara perbedaan pendapat.

Tujuan utama pemerintah China di bawah Presiden Xi Jinping adalah menyebarkan hegemoni global dengan menyabotase tatanan internasional yang berdasarkan aturan. Di Laut China Selatan, Beijing mengeklaim kedaulatan atas seluruh jalur perairan tersebut dengan menyangkal klaim sah negara-negara pesisir lainnya: Vietnam, Filipina, Taiwan, dan Brunei Darussalam.

Pada tahun 2016, China bahkan menolak menerima putusan arbitrase dari Mahkamah Internasional atas sengketa di Laut China Selatan yang menguntungkan Filipina dan mementahkan klaim China.

India juga menerima dampak dari kebijakan China yang menolak mematuhi tatanan internasional berbasis aturan. Pada tahun 2020, yang jelas-jelas melanggar serangkaian protokol bilateral untuk pengelolaan wilayah sengketa di perbatasan India-China, tentara China menduduki sekitar 1.000 kilometer persegi wilayah sengketa. Tujuan China di sini juga adalah untuk memperluas hegemoninya atas wilayah Himalaya yang penting dan strategis.

Topik Menarik