Nyi Ageng Serang, Perempuan Tangguh di Perang Jawa

Nyi Ageng Serang, Perempuan Tangguh di Perang Jawa

Gaya Hidup | netralnews.com | Senin, 5 September 2022 - 07:26
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Perang Jawa yang diusung Diponegoro memang banyak melibatkan tokoh-tokoh penting di Kerajaan Kesultanan Yogyakarta. Tidak hanya kesatria pria bangsawan yang terlibat, tetapi juga terdapat sosok perempuan yang dikenal sangat tangguh sehingga Kolonial Belanda dibuat kerepotan di mana-mana. Perempuan tangguh itu adalah Nyi Ageng Serang.

Dalam catatan sejarah, Nyi Ageng Serang bukanlah keturunan bangsawan tetapi dia keturunan salah satu Walisongo terkenal yakni Sunan Kalijaga. Dia dilahirkan di Desa Serang dekat Purwodadi di pinggir Sungai Serang sekitar tahun 1762.

Sebenarnya, wilayah Serang ini pemberian raja Pajang Adiwijaya kepada Sunan Kalijaga, gurunya. Sultan Adiwijaya (dahulu bernama Jaka Tingkir) juga membolehkan anak keturunan Sunan Kalijaga menggunakan gelar pangeran dan raden. Walapun bergelar bangsawan tinggi, tetapi anak turun Sunan Kalijaga di Serang tetap bekerja sebagai petani biasa.

Nama kecil Nyi Ageng Serang adalah Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah dewasa namanya berubah menjadi Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.

Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Nyi Ageng Serang merupakan putri dari Pangeran Ronggo yang bergelar Panembahan Senopati Notoprojo. Pangeran Ronggo merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Pangeran Ronggo melakukan pemberontakan terhadap Kesultanan Yogyakarta karena dikabarkan ingin menjadi raja.

Sultan Mangkubumi kemudian memerintahkan panglima perangnya Raden Ronggo Prawirodirdjo I untuk menemui Pangeran Ronggo dan memberikan sebuah pesan yang isinya Apabila Pangeran Ronggo melakukan pemberontakan sebagaimana desas-desus bahwa Ronggo akan menjadi raja maka pasukan Yogyakarta akan menyerang dia. Tetapi jika tidak demikian maka dia dipersilahkan tunduk kepada Sultan.

Mendengar tawaran itu, sebenarnya Pangeran Ronggo akan bersedia tunduk kepada Sultan, tetapi para puteranya mempengaruhinya agar tidak menyerah. Dalam pertempuran dengan pasukan Yogyakarta yang dipimpin oleh Panglima Kesultanan Yogyakarta Raden Ronggo Prawirodirdjo I, Pangeran Ronggo terluka parah di Desa Jajar, Demak.

Dikabarkan bahwa panglima perang Yogyakarta dan semua panglima dari Mancanegara Timur mengelilingi Ronggo yang terluka parah itu dengan melakukan sembah sebagai simbol pengakuan keunggulan spiritual Ronggo. Dalam keheningan itu Ronggo kemudian berpamitan kepada para panglima Yogyakarta yang mengelilinginya sebelum menemui ajalnya.

Mayatnya kemudian dimandikan para bupati Mancanegara Timur dan dimakamkan di Jajar suatu daerah di wilayah Demak. Pada bulan Agustus 1778 pasukan Sultan Mangkubumi menangkap anggota-anggota keluarga Ronggo dan membawa mereka ke Yogyakarta dan Sultan mengampuni mereka.

Dalam Babad Mangkubumi yang ditulis oleh Pangeran Sundara (Putra Mahkota) pada 1773, Nyi Ageng Serang bernama Raden Ayu Ronggo. Setelah kematian ayahnya, dia bersama dengan keluarganya yang masih hidup dibawa ke Keraton Yogyakarta dan berdinas di korp para Nyai.

Karena sering bertemu dengan Putra Mahkota, akhirnya Pangeran Sundara jatuh cinta kepada Nyi Ageng Serang. Walaupun Sultan Mangkubumi tidak setuju karena Nyi Ageng Serang keturunan Sunan Kalijaga yang dianggap keturunan mulia dan sakti, Pangeran Sundara tetap memaksa untuk menikahi Nyi Ageng Serang walaupun akhirnya perkawinan itu kandas di tengah jalan.

Setelah berpisah dengan Pangeran Sundara, kemudian Nyi Ageng Serang menikah dengan Pangeran Serang I dan menetap di Serang dekat Demak (nama Serang sesuai dengan tokoh yang bermukim). Hasil pernikahan itu, Nyi Ageng Serang dikaruniai putra yang bernama Kusumowijoyo atau dikenal Pangeran Serang II.

Nyi Ageng Serang juga mempunyai seorang putri yang kelak menikah dengan Pangeran Mangkudiningrat (Mangkudiningrat kelak diikutkan Raffles ke pengasingan bersama Sultan Sepuh di Penang).

Pangeran Mangkudiningrat adalah putra Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) yang dahulu bernama Pangeran Sundara mantan suami Nyi Ageng Serang. Dari pernikahan itu melahirkan Pangeran Adipati Notoprojo atau dikenal dengan Raden Mas Pakpak.

Selama Perang Jawa, Nyi Ageng Serang dan Pangeran Serang II namanya sangat berwibawa dan sangat dihormati oleh para pengikut Diponegoro sebagai pribadi-pribadi yang dianugerahi kesaktian. Mereka berdua memimpin pasukan yang berjumlah 500 personil di kawasan Serang Demak di bulan-bulan pertama Perang Jawa.

Dalam Babad Diponegoro versi Surakarta menyebutkan Pangeran Serang II langsung mendapat surat pengangkatan sebagai panglima perang dari Diponegoro ketika masih bermarkas di Selarong. Medan laga Pangeran Serang II dan ibunya Nyia Ageng Serang ada di wilayah Gunung Kendeng, Waru, Grobogan, Wirasari, Lasem, Rembang, dan Juwana.

Sebagai anggota keturunan Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Serang sangat berpengaruh terhadap para prajurit pribumi untuk melawan Kolonial Belanda.

Salah satu strategi yang terkenal dari Nyi Ageng Serang adalah menggunakan daun talas yang berwarna hijau itu untuk menutupi kepala pasukannya sehingga pasukan itu tidak terlihat oleh pasukan Belanda. Mereka menyergap dengan tiba-tiba sehinga pasukan Belanda tunggang-langgang dengan kekalahan yang memalukan.

Pada tahun 1827 Nyi Ageng Serang, Pangeran Serang II dan Pangeran Pakpak menyerah kepada Belanda. Setelah mereka menyerah, pengaruh mereka yang kuat digunakan Kolonial Belanda untuk merayu para panglima Diponegoro yang lain agar segera menyerah kepada Belanda termasuk di antaranya Sentot Prawirodirjo.

Walaupun telah menyerah, Nyi Ageng Serang tetap diawasi oleh Kolonial Belanda karena masih dianggap perempuan yang berbahaya untuk tetap mengobarkan perang melawan Kolonial Belanda.

Di usia 93 tahun Nyi Ageng Serang wafat pada 10 Agustus 1855. Tentu saja penguasa Belanda yang ada di Yogyakarta yang selama ini selalu mengawasinya bisa bernafas lega.

Jasad perempuan tangguh itu kemudian dimakamkan di sebuah perbukitan di Dukuh Beku, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang Kulonprogo. Areal ini merupakan lungguh dari Pangeran Mangkudiningrat II, putra Pangeran Mangkudiningrat dengan selir.

Untuk mengenang ketangguhan Nyi Ageng Serang dalam melawan Belanda, masyarakat Kulonprogo mendirikan patung pada 1 Januari 1952 hingga sekarang di tengah-tengah Kota Wates, Kulonprogo.

Patung itu menggambarkan sosok Srikandi berkuda dengan gagahnya. Tetapi sayang, masyarakat setempat sehari-hari menyebutnya patung kuda bukan patung Nyi Ageng Serang.

Penulis: Lilik Suharmaji

Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta

Topik Menarik