Benarkah THR Awalnya Hanya untuk PNS? Cek Faktanya

Benarkah THR Awalnya Hanya untuk PNS? Cek Faktanya

Ekonomi | cilegon.inews.id | Senin, 1 April 2024 - 10:41
share

CILEGON , iNews Cilegon . id - Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan salah satu tradisi yang ada di Indonesia menjelang perayaan hari raya idul fitri. THR diberikan kepada pegawai negeri sipil (PNS) dengan tujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dalam merayakan Hari Raya Keagamaan. Lantas benarkah THR awalnya hanya untuk PNS?

Dilansir cilegon.inews.id dari Kominfo, Senin (1/4/2024), Perjalanan THR di Indonesia dimulai pada Tahun 1951. Kala itu, Perdana Menteri Soekiman memberikan tunjangan kepada Pamong Pradja (saat ini PNS) berupa uang persekot (pinjaman awal) dengan tujuan agar dapat mendorong kesejahteraan. Uang tersebut nantinya akan dikembalikan ke negara dalam bentuk pemotongan gaji pada bulan berikutnya.

Kemudian di Tahun 1952 para pekerja/buruh protes serta menuntut pemerintah untuk memberikan tunjangan yang sama. Perjuangan tersebut tidak sia-sia, karena pada Tahun 1954, Menteri Perburuhan Indonesia pada masa Soekarno, Raden Ahem Erningpradja mengeluarkan surat edaran tentang Hadiah Lebaran dan menghimbau setiap perusahaan memberikan Hadiah Lebaran untuk para pekerjanya sebesar seperdua-belas dari upah.

Atas desakan kaum buruh saat itu, S.M. Abidin, Menteri Perburuhan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54 mengenai Hadiah Lebaran. Dalam Surat Edaran tersebut, THR bagi perusahaan swasta sifatnya sukarela dan tidak dapat dipaksakan.

Namun, karena surat edaran yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat, dampaknya banyak perusahaan yang tidak memberi THR atau hadiah lebaran.

Dalam Sidang Dewan Nasional II di bulan Maret 1953 di Jakarta, SOBSI mulai menyuarakan: Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.

Mengutip dari spkep-spsi.org, sepanjang periode 1951 hingga 1952 pemogokan tercatat sebanyak 541 hari, diikuti oleh 319.030 buruh. Pemerintah lantas mengeluarkan UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

Barulah di tahun 1961, surat edaran yang semula bersifat himbauan berubah menjadi peraturan menteri No.1 / 1961 yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan Hadiah Lebaran kepada pekerja minimal 3 bulan bekerja.

Istilah Hadiah Lebaran ini kemudian diubah oleh Menteri Ketenagakerjaan pada Tahun 1994 menjadi Tunjangan Hari Raya atau THR yang dikenal hingga sekarang.

Kebijakan pemberian THR juga terus berkembang. Di tahun 2016, pemberian THR direvisi sehingga dapat diberikan kepada pekerja dengan minimal 1 bulan kerja yang dihitung secara proporsional. THR Keagamaan juga wajib diberikan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.

Pada 16 September 1994, melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan, istilah Tunjangan Hari Raya (THR) diperkenalkan sebagai pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.

Abdul Latief, Menteri Tenaga Kerja saat itu, mengeluarkan kebijakan yang menyebutkan bahwa Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Peraturan tersebut pun diperkuat dengan adanya sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut.

Sedangkan bagi Pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Aturan pembayaran THR

Pada 29 Maret 2023, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/2/HK.04.00/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2023 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Adapun poin penting dalam SE tersebut, antara lain:

1. Pemberian THR keagamaan wajib dilaksanakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan dibayarkan secara penuh paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

2. THR keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, baik PKWTT, PKWT, termasuk harian lepas.

Besaran THR Keagamaan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar satu bulan upah.

Sedangkan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama satu bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai dengan perhitungan, yaitu masa kerja dibagi 12 dikali satu bulan upah.

Contoh:

Budi telah bekerja selama 8 bulan dengan gaji Rp12 juta/bulan, maka perhitungannya

8 bulan : 12 bulan x Rp11.000.000 = Rp7.333.333,-

Bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah satu bulan dihitung sebagai berikut:

Pekerja/buruh yang bekerja kurang dari 12 bulan, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Contoh:

Wati bekerja sebagai freelancer dengan gaji 800 ribu/hari. Dalam sebulan, Tuti biasa bekerja rata-rata 7 hari. Maka, rata-rata upah yang diterima tiap bulan oleh Tuti adalah Rp5.600.000,-

Bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil maka upah satu bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata dua belas bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.

Bagi perusahaan yang menetapkan besaran nilai THR Keagamaan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR Keagamaan dalam SE ini, maka dimungkinkan perusahaan memberikan THR yang lebih baik dari peraturan perundang-undangan.

Semoga bermanfaat!

Topik Menarik