Wisata Budaya Unik di Labuan Bajo NTT, Usai Bulan Madu Tiga Hari Pengantin Baru Wajib Mandi di Mata Air Umum

Wisata Budaya Unik di Labuan Bajo NTT, Usai Bulan Madu Tiga Hari Pengantin Baru Wajib Mandi di Mata Air Umum

Travel | BuddyKu | Selasa, 27 September 2022 - 03:26
share

DELTA3.CO.ID Wisata budaya yang unik di Labuan Bajo, NTT
setelah tiga hari pengantin baru menikah dipingit atau bulan madu. Kedua mempelai dibawa mandi langsung di mata air.

Ritus ini dikenal dengan nama upacara Wau Wae, atau turun ke mata air untuk mandi. Pasangan yang baru saja menikah setelah tiga hari dipingit dalam rumah, mandi di mata air kampung.

Tetua masyarakat Warsawe Yusuf Dan saat memimpin ritus Wau Wae pasangan Lalong dan Sari di Kampung Warsawe Senin (26/9/2022) mengungkapkan tradisi warisan perlu dijaga.

Ini warisan orang tua, kita mengikuti apa yang mereka buat dulu, ujar Yusuf.

Yusuf dengan sebuah parang membelah kelapa yang sudah dikupas. Dua belahan kelapa itu didoakan, kemudian dilempar di sekitar mata air.

Ada dua kemungkinan, kepala terbuka ke atas atau telungkup. Jika belahan kelapa terbuka ke atas, diyakini keturunannya akan berjenis kelamin perempuan.

Sementara jika belahan kelapa itu saat dilempar, dan posisinya telungkup saat tiba di tanah, maka diyakini masyarakat akan berjenis kelamin lelaki.

Perempuan atau laki-laki, sama saja. Anugerah Tuhan semua, ujar Oma Sonde di sela kegiatan.

Yoseph Bensuin salah satu orang tua yang menghadiri upacara Wau Wae itu menjelaskan, Wau Wae bertujuan mendoakan kesuburan bagi kedua mempelai.

Seperti buah kelapa ketika berada di tandannya, satu tandan banyak buah. Itu juga yang diharapakan keluarga dari dua pengantin baru, agar melahirkan keturunan yang banyak.

Anak-anak berada di samping kedua orang tuanya, akan tampak seperti banyaknya kelapa dalam satu tandan.

Rambut kepala kedua mempelai juga dikeramas menggunakan minyak kelapa. Kelapa matang yang sudah dikeringkan, dibakar, lalu dilembutkan dengan dikunyah untuk diambil santannya.

Santan kelapa yang dikunyah langsung kemudian dipakai untuk keramas rambut, sebagai pelembut rambut kepala. Santan kelapa itu berfungsi sebagai sampo.

Rangkaian ritus sebelum Wau Wae, yakni pingitan selama tiga hari tiga malam bagi kedua pengantin. Hal itu dilakukan sejak hari pertama keduanya menginjak telur.

Pada saat injak telur, mempelai perempuan diinisiasikan masuk ke dalam bagian dari suku suami, dan melepaskan identitas suku aslinya.

Puncaknya pada upacara Wau Wae, kedua mempelai dimandikan di Wae Teku, yang pada masa lalu menjadi arena sosialisasi diri paling efektif bagi orang baru.

Sebab orang Manggarai para masa dulu, ada lima tempat mereka berkumpul sebagai sebuah keluarga besar.

Yang pertama Mbaru, rumah tempat tinggal. Rumah tempat tinggal tidak dibayangkan seperti rumah saat ini yang hanya ditempati satu keluarga saja.

Dahulu, satu rumah ditempati bahkan sampai sepuluh keluarga. Apalagi rumah gendang yang menjadi pusat semua aktivitas.

Kedua natas, atau halaman kampung di mana menjadi pusat hiburan masyarakat, terutama olahraga dan pentas seni.

Ketiga, Wae Teku, mata air. Pagi dan sore hari, mata air menjadi pusat keramaian, sebagai tempat pemandian umum.

Situasi itu sulit dibayangkan generasi saat ini dengan adanya kamar mandi di setiap rumah masing-masing.

Tetapi masyarakat yang hidup di era sebelum tahun 2000-an, masih cukup akrab dengan Wae Teku sebagai tempat pemandian umum masyarakat.

Keempat kebun, sebagai lahan mencari makan, salah satu yang menjadi pusat aktivitas masyarakat dulu. Hal itu terjadi karena sistem gotong royong yang begitu kental.

Semua pengolahan lahan, dikerjakan secara bersama. Sehingga ketika ada yang membersihkan ladang, maka di sana menjadi pusat keramaian.

Apalagi saat panen jagung, atau padi, maka sebagian besar warga akan berkumpul di sana. Semua dikerjakan bersama.

Pusat perkumpulan yang terakhir di Compang, yakni tempat masyarakat menggelar upacara doa adat. Di sini tempat mereka bisa berkomunikasi dengan Tuhan dan para leluhur.

Hanya tradisi gotong royong saja yang masih terlihat jelas sampai saat ini. Sementara halaman kampung sebagai pusat hiburan masyarakat sudah tidak terpusat pagi.

Dengan sistem layanan air minum dengan Pipa ke rumah penduduk, juga turut menggerus tradisi mandi di mata air. Apalagi untuk pergi ambil air minum, mata air tua belum lagi menjadi sandaran masyarakat.

Tetapi dengan upacara Wau Wae, generasi muda senantiasa diingatkan bahwa mata air itu harus dijaga kelestariannya.

Mata air lambang kehidupan, kesuburan. Menjaga mata air, menjaga kehidupan. Mereka yang minum air dari mata air, akan sehat tubuh dan jiwanya, dan akan melahirkan keturunan yang banyak.

Mata air juga dalam tradisi Manggarai simbol kekerabatan dalam hubungan keluarga. Ada ungkapan, bahwa membangun hubungan perkawinan sama seperti membangun jalan menuju mata air kehidupan (Wae Teku Tedeng).

Sebagaimana merawat mata air menentukan kehidupan masyarakat kampung, demikian merawat keluarga yang baru dibangun juga menentukan kelanjutan generasi suku. ***

Artikel Menarik Lainnya

Topik Menarik