Menyikapi Uang yang Tidak Pernah Cukup
Frangky SelamatDosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara
SEKELOMPOK siswa berseragam putih abu-abu meramaikan acara pameran edukasi yang menampilkan sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Mereka antusias mendatangi satu demi satu stand pameran. Banyak pertanyaan diajukan. Salah satu yang paling sering ditanyakan adalah mengenai prospek karier setelah lulus. Bagus, siswa generasi Z telah berpikir jauh ke depan. Tidak sekadar kuliah asal kuliah.
Pertanyaan yang sering mengemuka adalah, mengenai besaran gaji lulusan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu. Hal-hal yang materialis menjadi keutamaan. Sesuatu yang wajar di zaman yang menjadikan harta dan tahta sebagai simbol sukses. Seperti pandangan seorang tua yang menceramahi rekan-rekannya yang tampak lebih muda.
“Kalau tidak punya uang, susah. Sulit apa-apa. Jadi kepikiran. Banyak pikiran, stres, akhirnya jadi sumber penyakit. Penyakit butuh pengobatan, uang lagi kan? Atau dibiarkan menderita dan mati saja? Nah. ”Ia melanjutkan, ”Kalau punya uang, bisa asuransi kesehatan. Biar sakit, masih punya harapan. Bisa happy juga. Lihat tuh yang tak berpunya. Cuma bisa pasrah dan berdoa.” Ada benarnya juga walau tak menjamin banyak uang pasti bahagia.
Lihat saja para pekerja bangunan yang bekerja sambil bernyanyi-nyanyi riang. Sehari “cuma” diupah Rp 250.000 dari jam 8 pagi hingga 5 sore, dipotong istirahat 1 jam, untuk “tukang”, sementara level kernet, Rp 170.000 per hari dengan durasi jam kerja yang sama. Sembari menyantap hidangan penuh semangat mereka berceloteh, “Dari Senin sampai Rabu, makan sekenyangnya. Sisanya dihemat.” Tentu makan kenyang versi mereka: nasi segunung, tahu, dan telur, seadanya. Dengan bekal pendidikan formal ala kadarnya, bahkan ada yang hanya lulus SD saja, bisa bekerja dan berpenghasilan “lumayan”, merupakan anugerah. Mereka benar-benar bekerja agar bisa makan. Bukan mencari harta apalagi tahta.
Fungsi Uang
Dengan segala kesibukan beraktivitas mencari uang, orang mungkin lupa atau tidak tahu mengenai sejarah terkait fungsi uang. Jika ditilik sejenak, uang di zaman perekonomian modern memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai alat ukur, penyimpan nilai dan sebagai ukuran nilai relatif atau satuan hitung (Acemoglu, Laibson, List, 2015).Alat tukar merupakan sesuatu yang dapat diserahkan untuk mendapatkan barang atau jasa, sehingga membantu perdagangan. Uang sebagai alat penyimpan nilai, memungkinkan orang-orang untuk mengalihkan daya beli ke masa depan.
Perekonomian modern menggunakan uang sebagai satuan hitung, patokan universal yang memuat harga beragam barang dan jasa. Transaksi ekonomi akan jauh lebih mudah dilakukan ketika terdapat alat tukar, penyimpan nilai dan satuan hitung.
Di Amerika Serikat, pada 1861, ketika terjadi perang saudara, pemerintah menggaji prajurit dengan uang kertas yang bisa dikonversikan menjadi emas. Namun pemerintah kehabisan emas dan beralih menggunakan uang fiat yang tidak dapat dikonversikan (nonkonvertibel).
Awalnya memang diperdebatkan namun pada 1862 dapat diterima masyarakat dan tidak menimbulkan hiperinflasi. Konvertibilitas secara perlahan dihapus pada abad ke-20, dan peninggalan terakhirnya dicabut pada 1971. Sejak itu sistem uang fiat menjadi yang dominan. Daya beli uang kertas tidak berfluktuasi besar ketimbang daya beli emas.Kini, jenis uang telah bermetamorfosis hingga beragam jenis dari e-money hingga e-wallet. Juga uang kripto yang dilindungi kode komputer agar mempersulit tindak kriminal. Penggunaan proteksi ini juga menyembunyikan identitas pelaku ekonomi yang menggunakan. Tak jarang jenis uang ini digunakan untuk aktivitas ekonomi ilegal.
Sikap Terhadap Uang
Pandangan “sikap” mengenai uang seperti siswa, orangtua dan pekerja bangunan hanyalah sebuah sketsa yang mungkin tidak representatif. Penelitian mengenai bagaimana menyikapi uang telah banyak dilakukan. Bandelj dan kawan-kawan (2021) menemukan bahwa perempuan cenderung lebih mengkhawatirkan uang dibandingkan laki-laki.Oleson (2004) menemukan bahwa rata-rata, laki-laki secara statistik lebih besar kemungkinannya dibandingkan perempuan untuk mendapatkan skor lebih tinggi dalam hal sikap obsesi, kekuasaan, anggaran, dan prestasi terhadap uang. Ini terkait erat dengan ukuran prestasi, kesuksesan, kekuasaan dan status.
Pria ditemukan lebih berani mengambil risiko, mempunyai kecenderungan lebih besar untuk berjudi, menganggap diri mereka lebih teliti dan bangga dengan kemampuan mereka menangani masalah uang (Prince, 1993).Sikap terhadap uang ini berdampak pada pilihan investasi keuangan yang dibuat, bagaimana seseorang berhubungan dengan uang, dan juga berdampak pada kepuasan hidup. Akhirnya bagaimana seseorang menyikapi uang, dengan berpegang pada nilai-nilai yang diyakini dan dipengaruhi oleh budaya setempat, memengaruhi perilaku individu. Kerap kali tanpa disadari, mengejar prestasi, kekuasaan, dan eksistensi, yang diidentikkan dengan uang, lalu lupa diri.
Walau terdengar klise, hidup tak melulu soal uang. Jika orientasi kehidupan seseorang ingin bahagia dan sejahtera, uang tidak bisa menjamin itu. Uang memang dibutuhkan untuk menjalankan hidup walau bukan segalanya. Tanpa uang yang memadai sulit untuk mengarungi hidup yang layak.
Namun mendewakan uang akan membutakan hati. Menjadi manusia serakah dan menjauh dari kemanusiaan. Diperlukan kebijaksanaan untuk menyikapi uang, yang sampai kapan pun, tidak akan dirasa cukup.










