Napas Buatan untuk Mobil Rakyat: Insentif LCGC Diperpanjang di Tengah Penjualan yang Sekarat
Di tengah pasar otomotif yang sedang lesu darah, pemerintah mengambil sebuah langkah yang mengejutkan dan sarat dengan pertaruhan. Saat penjualan segmen mobil termurah di Indonesia, Low Cost Green Car (LCGC), anjlok ke titik terendah, pemerintah justru memberikan "napas buatan" dengan memperpanjang program insentifnya hingga tahun 2031.
Keputusan ini menciptakan sebuah paradoks besar. Di satu sisi, pemerintah berdalih ingin menjaga keterjangkauan mobil bagi rakyat kecil. Di sisi lain, mereka seolah menyuntikkan dana untuk menopang segmen yang sedang sekarat, memicu pertanyaan kritis: apakah ini sebuah kebijakan penyelamatan yang bijak, atau sekadar menunda kematian yang tak terhindarkan?
Janji Manis di Atas Data Pahit
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dengan tegas membela keputusan ini. Baginya, sejarah keberhasilan program LCGC yang diluncurkan pada 2013 adalah bukti yang cukup.Dalam Setiap Jam 5 Orang Meninggal karena Kecelakaan Lalu Lintas, Ini Hal Penting Harus Dilakukan
"Program LCGC terbukti berhasil meningkatkan kepemilikan kendaraan masyarakat dan mendukung industri otomotif nasional. Oleh karena itu, insentif untuk LCGC akan kami lanjutkan hingga 2031," kata Agus Gumiwang dalam keterangan resminya.
Namun, optimisme pemerintah ini bertabrakan langsung dengan realitas pahit di lapangan. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan sebuah tren yang mengkhawatirkan:Penjualan LCGC pada Juni 2025 hanya 7.762 unit, anjlok 49 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Secara total sepanjang semester pertama 2025, penjualan hanya mencapai 64.063 unit, turun drastis 28,5 dari semester pertama 2024.
Angka-angka ini adalah sebuah alarm yang berbunyi sangat nyaring. "Mobil rakyat" yang dulu menjadi primadona kini semakin jarang dilirik.
Mengapa "Mobil Murah" Tak Lagi Laku?
Penurunan drastis ini bukan terjadi tanpa sebab. Beberapa faktor menjadi biang keladi mengapa segmen LCGC kehilangan pesonanya:Harga yang Tak Lagi "Murah": Sejak dikenakan PPnBM sebesar 3 pada 2021, harga mobil LCGC terus merangkak naik. Statusnya sebagai mobil terjangkau mulai terkikis. Varian tertinggi beberapa model bahkan sudah menembus angka psikologis Rp200 juta.Daya Beli Melemah: Anjloknya penjualan di segmen paling dasar ini seringkali menjadi cerminan langsung dari melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Persaingan dari Segmen Lain: Konsumen kini memiliki lebih banyak pilihan. Dengan menabung sedikit lebih lama, mereka bisa mendapatkan mobil non-LCGC atau SUV kompak yang menawarkan fitur dan gengsi lebih tinggi.
Dilema Pemerintah: Menyelamatkan Industri atau Membiarkan Pasar Bekerja?
Keputusan untuk memperpanjang insentif hingga 2031 adalah sebuah pedang bermata dua. Bagi para produsen, ini adalah angin segar yang memberikan kepastian untuk terus berproduksi. Namun bagi pasar, ini bisa dianggap sebagai intervensi yang menahan laju seleksi alam.Apakah pemerintah sedang melindungi industri otomotif nasional dari guncangan yang lebih besar? Ataukah kebijakan ini justru menghambat inovasi dan transisi ke kendaraan yang lebih modern, seperti mobil listrik, yang harganya kini semakin kompetitif?
Pada akhirnya, perpanjangan insentif ini adalah sebuah pertaruhan besar. Pemerintah bertaruh bahwa dengan memberikan "napas buatan", segmen LCGC bisa kembali bangkit dan menjadi motor penggerak industri. Namun, jika daya beli masyarakat tidak kunjung membaik dan preferensi konsumen terus bergeser, kebijakan ini mungkin hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah tentang upaya menopang sebuah segmen yang masanyatelahberlalu.








