Tim Hukum Ganjar-Mahfud Sebut Kekuasaan Pemerintah Besar karena Menempatkannya di Atas Hukum

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Sebut Kekuasaan Pemerintah Besar karena Menempatkannya di Atas Hukum

Nasional | sindonews | Rabu, 17 April 2024 - 15:45
share

Tim Hukum Ganjar-Mahfud dalam berkas kesimpulan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 berpandangan, sidang tersebut telah menunjukkan tentang kekuasaan pemerintah menjadi besar karena telah menempatkan posisinya di atas hukum.

Dalam berkas tersebut, tim hukum Ganjar-Mahfud menyatakan, sidang PHPU Pilpres 2024 yang berlangsung sejak 27 Maret-5 April, telah memberikan gambaran mengenai perseteruan antara dua sudut pandang.

Antara mereka yakni pihak pemohon (KPU) dan pihak terkait (pasangan Prabowo-Gibran) yang percaya pada rule by law, dan timnya yang menghendaki rule of law. Antara mereka yang mengedepankan keadilan prosedural dan kami yang menghendaki keadilan substantif.

Tim hukum Ganjar-Mahfud mengatakan, yang perlu menjadi penentu adalah, apa dampaknya bagi bangsa Indonesia di kemudian hari dengan adanya pandangan hukum tersebut.

"Dengan rule by law, kekuasaan pemerintah akan terus membesar karena ia berada di atas hukum. Peraturan perundang-undangan dibuat hanya demi kepentingan pemerintah, dan bukan kepentingan rakyat. Hukum dipaksakan keberlakuannya kepada masyarakat untuk mengontrol masyarakat," tulis tim hukum Ganjar-Mahfud dalam berkas kesimpulannya.

Sementara dengan rule of law, semua orang sama di hadapan hukum, dan tidak ada yang berada di atas hukum. Dengan pendekatan ini, hukum diadakan memang untuk mengatur sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk kepentingan penguasa belaka. Hanya dalam kondisi ini, harkat dan martabat masyarakat Indonesia bisa terpenuhi.

Dengan keadilan prosedural yang diusung baik oleh Termohon dan Pihak Terkait, peraturan perundang-undangan menjadi huruf mati yang perlu diikuti setiap katanya. Yang dikehendaki adalah kepatuhan, bukan pertanyaan. Terlepas dari hukum yang ada adil atau tidak, hukumnya tetap harus dipatuhi.

"Karenanya, kombinasi antara pendekatan ini dengan kepercayaan mereka terhadap rule by law sangatlah berbahaya karena masyarakat hanya akan dijadikan pelengkap penderita bagi penguasa saja," cetusnya.

Secara lebih konseptual, perdebatan antara Pemohon melawan Termohon dan Pihak Terkait mengulangi perdebatan klasik mengenai hukum alam dan positivisme hukum. Serupa dengan perdebatan klasik ini, topik utama dalam persidangan ini adalah moral.

Premis dari argumen Pemohon adalah hukum harus bersumber dari moral. Premis ini selaras dengan adagium yang disampaikan oleh St. Augustine, "an unjust law is no law at all." Sedangkan premis dari pemikiran Termohon dan Pihak Terkait adalah pembicaraan mengenai moral tidak dibutuhkan manakala sudah ada peraturan yang mengaturnya.

"Ikuti saja aturannya. Tidak perlu pertanyaan, tidak perlu kritikan. Argumentasi Termohon dan Pihak Terkait berporos pada aturan main yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 (selanjutnya disebut sebagai UU Pemilu), khususnya mengenai apa yang menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai 'MKRI'). Sayangnya, mereka kemudian tidak setia pada premisnya sendiri," katanya.

Pertama, untuk penerimaan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden, pihak terkait menutup mata pada fakta bahwa pada saat Gibran Rakabuming Raka mendaftarkan dirinya sebagai calon peserta Pilpres 2024 di tanggal 25 Oktober 2023.

"Pada saat dokumen pendaftarannya diverifikasi di tanggal 28 Oktober 2023, aturan main yang berlaku Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang masih memberlakukan syarat usia 40 tahun. Di sini, peraturan yang ada telah dilanggar," katanya.

Kedua, sehubungan dengan nepotisme dan abuse of power yang terjadi sebelum dan selama proses Pilpres 2024, Termohon dan Pihak Terkait lagi-lagi menutup matanya.

Aturan yang ada telah berkali-kali bahkan mungkin ratusan kali dilanggar, namun respons mereka hanyalah: (i) mengapa baru dipermasalahkan sekarang; dan (ii) mengapa dipermasalahkan di sini? Mereka tidak peduli tentang terlanggarnya aturan yang menguntungkan mereka. Mereka hanya peduli pada pelanggaran aturan saat hal itu membahayakan posisinya.

Ketiga, sehubungan dengan pelanggaran prosedur pemilihan umum dalam Pilpres 2024 yang terjadi hampir di seluruh Indonesia, mata Termohon dan Pihak Terkait tetap tertutup.

Dengan keadilan substantif yang ditawarkan oleh Pemohon, pembicaraan mengenai keadilan baru akan terwujud manakala hukumnya adalah adil. Hukum menjadi objek pengamatan, dan karenanya budaya berpikir kritis menjadi bagian yang inheren di dalamnya.

Yang Pihak Terkait kemukakan hanyalah, pelanggaran tersebut tidak dilakukan oleh Pihak Terkait dan belum tentu menguntungkan Pihak Terkait. Tanggapan ini memberikan gambaran paripurna dari watak Pihak Terkait yang mengedepankan diri sendiri di atas segalanya. Mereka tidak peduli jika yang dirugikan dari pelanggaran aturan ini adalah seluruh rakyat Indonesia.

"Jadi, meski pemikiran Termohon dan Pihak Terkait bersumber dari positivisme hukum, toh mereka tak ragu untuk mengkhianatinya lagi dan lagi," pungkasnya.

Topik Menarik