Suara Keprihatinan terhadap Minimnya Etika dan Logika DPR

Suara Keprihatinan terhadap Minimnya Etika dan Logika DPR

Otomotif | BuddyKu | Selasa, 29 November 2022 - 07:27
share

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Definisi kata etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan menjadi tiga makna. Makna pertama menyebutkan etika sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

Kedua, etika bermakna sebagai kumpulan asas atau nilai kewajiban moral (akhlak). Ketiga, etika merupakan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Secara lebih luas, beberapa hasil studi filsafat menyebut etika berkaitan erat dengan logika yang dapat disederhanakan definisinya sebagai jalan pikiran yang masuk akal.

Pokok penting dari artikel ini lebih ditujukan kepada tergerusnya nilai etika dalam perilaku maupun tutur kata lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan.

Sebagai salah satu contoh serius yang dapat diamati adalah peristiwa dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi V DPR dengan Kepala BMKG dan Kepala Basarnas pekan lalu.

Dalam RDP Senin pekan lalu, Wakil Ketua Komisi V DPR Roberth Rouw meledek Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati yang bersembunyi di bawah meja saat gempa berkekuatan magnitudo 5,6 terasa hingga ke Gedung DPR di Jakarta.

Dwikorita langsung bersembunyi ke bawah meja saat gempa mengguncang atau tidak berapa lama saat Robert Rouw membuka rapat. Robert Rouw terkesan meledek saat tertawa melihat reaksi Dwikorita yang sebenarnya sudah umum diketahui publik sebagai protokol darurat perlindungan diri di dalam ruangan saat terjadi gempa.

Robert Rouw membela diri dengan mengaku tidak meledek Dwikorita lewat sikapnya itu. Roberth bahkan mengeklaim semua anggota DPR tidak ada yang paham mengenai mitigasi bencana ketika gempa bumi terjadi. Robert Rouw seakan tidak sadar tindakan dan pernyataannya itu justru melecehkan lembaga perwakilan rakyat.

Selain meminta Roberth Rouw introspeksi diri, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku telah menyerahkan kasus ini kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya Ketua Fraksi Nasdem DPR tersebut dijatuhi sanksi.

Daftar panjang kemerosotan etika dan logika

Setidaknya kasus yang melibatkan Roberth Rouw menambah panjang daftar masalah kemerosotan etika yang terjadi di tubuh DPR dalam tahun ini. Belum lama berselang, anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon sempat menjadi sorotan publik karena diduga mencemarkan nama baik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) dengan menyebutnya sebagai "gerombolan."

Ucapan Effendi Simbolon itu terlontar saat mencoba menyoroti isu disharmonisasi di tubuh TNI-AD dalam rapat kerja dengan Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI di Komisi I DPR RI pada 5 September 2022.

Effendi Simbolon akhirnya menyampaikan permohonan maaf lewat konferensi pers di Gedung DPR Jakarta kepada lembaga TNI akibat ucapannya yang membuat gusar sejumlah anggota TNI dari jenderal hingga prajurit tamtama yang menyampaikan kemarahan mereka di media sosial.

Buntut dari permasalahan ini juga mengakibatkan Effendi Simbolon dilaporkan ke MKD oleh Generasi Muda Penerus Perjuangan Kemerdekaan (GMPPK). Pelaporan ini karena adanya dugaan pelanggaran oleh Effendi Simbolon terkait Kode Etik Bab II Bagian Kesatu Kepentingan Umum pasal 2 ayat 4 junto Bagian kedua Integritas Pasal 3 ayat 1 dan 4 serta pasal 4 ayat 1 dan pasal 9 ayat 2.

Permasalahan etika di atas, kalau kita amati secara serius, merupakan dampak serius dari minimnya logika untuk mengantisipasi timbulnya konflik. Masih segar dalam ingatan ini terhadap usulan dari salah satu anggota DPR dalam RDP Komisi III DPR RI bersama Kompolnas, Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, 22 Agustus 2022.

Dalam RDP tersebut, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman mengusulkan kepada Ketua Kompolnas Mahfud MD mengusulkan agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diberhentikan sementara dari jabatannya dan digantikan oleh Mahfud MD selaku Menko Polhukam.

Usulan itu terkait kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo. Menurut Benny K Harman, usulannya itu ditujukan agar penanganan kasus ini Brigadir Yoshua Hutabarat dapat berlangsung objektif dan transparan.

Tentu saja usulan dari Benny K Harman tersebut hanya disambut dengan senyuman dari Mahfud MD. Ini tidak lain karena usulan itu justru berpotensi menimbulkan konflik baru dalam penanganan kasus.

Pertimbangan pertama bahwa usulan Benny K Harman sama sekali tidak logis adalah penanganan kasus pembunuhan Brigadir J bukan masalah mudah karena adanya keterlibatan sejumlah anggota Polri mulai dari perwira tinggi hingga tamtama.

Apalagi, kasus Brigadir J hanya merupakan salah satu dari sejumlah kasus lain yang ditangani Polri dan membutuhkan koordinasi seorang Kapolri. Pertimbangan berikutnya adalah Kapolri sudah membentuk tim khusus yang langsung diamati oleh Presiden Joko Widodo berikut Menko Polhukam Mahfud MD.

Bukan tidak mungkin apabila usulan pemberhentian sementara Kapolri Jenderal Listyo Sigot Prabowo dipenuhi justru merunyamkan permasalahan yang sudah ada di tubuh Polri.

Fakta yang ada belakangan menunjukkan investigasi tim khusus yang dibentuk Kapolri sudah membuahkan hasil. Bahkan, saat ini kasus Brigadir J sudah memasuki proses persidangan.

Sejumlah kasus kemerosotan etika dan logika di DPR ini hanya sekelumit dari sejumlah kasus yang sempat mencoreng nama baik dari lembaga legislatif yang sangat diharapkan dapat benar-benar merakyat.

Tentu saja, kita sebagai anggota masyarakat turut bertanggung jawab untuk memilih dan memastikan mereka yang nantinya duduk di lembaga ini berkredibilitas dalam mengemban amanah rakyat.

Penulis: Jimmy Hitipeuw

Topik Menarik