Curhatan Calon Dokter Spesialis ke Menkes: Overworked, Enggak Digaji, hingga Sekolah Mahal

Curhatan Calon Dokter Spesialis ke Menkes: Overworked, Enggak Digaji, hingga Sekolah Mahal

Nasional | BuddyKu | Senin, 5 Desember 2022 - 20:40
share

Salah seorang dokter residen bernama Jagaddhito Probokusumo membagikan keluh kesahnya, saat menempuh program pendidikan dokter spesialis (PPDS), kepada Menteri Kesehatan ( Menkes ) RI Budi Gunadi Sadikin.

Dalam diskusinya bersama Menkes yang berlangsung secara virtual, ia mengeluhkan beberapa hal soal kendala para calon dokter spesialis.

Dalam pengakuannya, setiap pagi hari ia harus melakukan pelaporan kasus saat berjaga malam di Instalasi Gawat Darurat (IGD), bangsal, atau pelayanan lain. Setelah melakukan pelaporan, para dokter residen harus kembali bekerja di rumah sakit hingga sore hari.

"Setelah laporan pagi, kita ke pelayanan, Pak Menteri," ucap Dhito dalam diskusi bersama Menkes Budisecara virtual, dikutip Senin, (5/12/2022).

Enggak hanya dibebankan tugas residensi, para dokter residen juga dibebankan presentasi ilmiah yang berlangsung selama kurang lebih 4 sampai 6 tahun. Mereka juga diharuskan untuk mengikuti beberapa ujian seperti ujian tesis, CBT, dan OSCE.

Sementara itu, pada Pasal 31 Nomor 1C UU Pendidikan Kedokteran (Dikdok) tahun 2013, berbunyi tentang waktu istirahat para dokter residen. Namun, berdasarkan pengakuan Dhito, ia tidak merasakan hak-hak tersebut.

Dokter Residen curhat ke Menkes Budi
Dokter residen, Jagaddhito Probokusumo, (kiri) saat curhat ke Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) secara virtual. (YouTube/Kementerian Kesehatan RI)

Selain overworked , para calon dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit tidak mendapatkan gaji. Berbeda halnya dengan para dokter residen di negara lain, seperti Inggris dan Australia.

"Di luar negeri semua (dokter) spesialis itu dibiayai oleh negara, karena mereka dihitung sebagai pekerja," ungkapnya.

Masih berdasarkan UU Dikdok 2013, para dokter residen harus diberikan insentif karena melayani masyarakat. Mirisnya, insentif tersebut tidak sampai ke tangan mereka.

Permasalahan para dokter residen tidak berhenti di situ. Selain overworked dan tidak digaji, ternyata mereka juga harus menanggung biaya pendidikan spesialis yang cukup mahal. Hal ini banyak dikeluhkan para calon dokter spesialis.

"Pendidikan spesialis tuh di mata semua dokter bukan pendidikan yang murah, tetapi hanya untuk orang-orang yang mampu," katanya.

Dhito juga menyinggung soal beasiswa yang dikeluarkan pemerintah tidak bisa mencakup keseluruhan para dokter residen. Beasiswa seperti LPDP, Kemenhan, Bidikmisi, dan Kemenkes tidak bisa membiayai pendidikan spesialis secara merata.

"Tidak semua orang bisa jadi dokter spesialis karena biayanya (mahal), Pak Menteri," tegasnya.

Artikel Menarik Lainnya:

Topik Menarik