Hari Kebangkitan Nasional: Menyebar Semangat Kebangkitan Nasional

Hari Kebangkitan Nasional: Menyebar Semangat Kebangkitan Nasional

Nasional | jawapos | Jum'at, 20 Mei 2022 - 19:48
share

SUDAH menjadi tradisi bagi bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional setiap 20 Mei. Tanggal itu menjadi momen tumbuhnya rasa kesadaran nasional sebagai orang Indonesia yang telah muncul pada dekade pertama abad ke-20. Rasa kesadaran nasional ini ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 atau 114 tahun lalu. Boedi Oetomo menjadi pembuka arah perjuangan baru bagi bangsa, yang sebetulnya sudah lama merindukan arti kebebasan dan kemerdekaan serta untuk melegitimasi hadirnya Indonesia yang berdaulat.

Berbeda dari arah perjuangan para pendahulu yang masih berorientasi pada perjuangan fisik, lokal, dan sporadis. Misalnya, Perang Pattimura di Ambon pada 1817, Perang Diponegoro 1825 yang umum disebut Perang Jawa, dan Perang Aceh yang dipelopori Cut Nyak Dien pada 1873. Semua adalah bentuk-bentuk perjuangan di abad ke-19.

Dokter Soetomo dinilai sebagai tokoh awal gerakan intelektual untuk mencapai kemerdekaan Indonesia melalui pendirian Boedi Oetomo. Pada tahun-tahun berikutnya mulai hadir organisasi-organisasi lainnya seperti Indische Partij oleh tiga serangkai Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkosoemo, dan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara pada 1912.

Kemudian, di tahun yang sama ada Partai Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi. Ada juga organisasi Muhammadiyah yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial didirikan oleh KH Ahmad Dahlan. Berikutnya, selama dekade 1920-an dan 30-an, kelompok-kelompok elite semakin menyuarakan kebangkitan antikolonialisme dan memupuk kesadaran nasional.

Dari semua tokoh pergerakan itu, beruntung Surabaya memiliki dokter Soetomo. Salah satu peninggalannya yang masih ada sampai saat ini adalah media pergerakan Panjebar Semangat. Makam dokter Soetomo yang berada di Jalan Bubutan, Surabaya, berada dalam satu kompleks dengan kantor redaksi penerbitan Panjebar Semangat. Tetenger yang spesial itu sebenarnya bisa menjadikan api semangat pada generasi milenial kini. Asalkan, histori atas semangat tersebut dapat ditularkan dengan cukup baik.

Kelahiran Boedi Oetomo dan kemudian ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 menjadi rangkaian tumbuhnya kesadaran bersama untuk mewujudkan sebuah bangsa yang berdiri di kaki sendiri. Sebagai puncak kulminasi perjuangan para bumiputra adalah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Perjuangan memang belum usai karena masih harus berjuang mati-matian dengan semboyan Merdeka atau Mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Pun sampai hari ini, mengisi kemerdekaan yang menuju usia 77 tahun.

Perjuangan untuk meniti kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dibilang belum benar-benar usai. Ternyata ada model-model belenggu lainnya di alam kemerdekaan ini. Karena belenggu itu, bangsa ini seolah-olah dibuat lumpuh. Tidak bisa leluasa bergerak menapaki jalan kemajuan, kesejahteraan, dan kemandirian di seluruh penjuru negeri.

Salah satu belenggu kemajuan itu adalah pandemi Covid-19 yang memperlambat pergerakan biologis bangsa ini. Sejak awal Maret 2020, bangsa Indonesia seolah terbelenggu oleh pandemi Covid-19. Meski memasuki 2022 pandemi mulai mereda, semua harus tetap waspada. Membiasakan hidup dengan cara new normal dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19.

Fakta telah menunjukkan bahwa akibat pandemi Covid 19, segala aspek kehidupan goyah. Tidak hanya langsung berdampak pada aspek kesehatan yang merenggut banyak kematian, tapi juga di bidang ekonomi yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi.

Perlambatan ekonomi ini selanjutnya menyebabkan peningkatan pengangguran, terutama pada sektor usaha mikro dan kecil serta industri rumah tangga. Dampak lainnya adalah di bidang pendidikan. Para peserta didik terpaksa belajar secara daring. Dengan pola ini, mereka kehilangan kesempatan interaksi sosial yang sangat dibutuhkan dalam mata rantai dunia pendidikan. Interaksi adalah bekal sosial bagi peserta didik.

Dampak pandemi Covid-19 ini bagaikan keterbelengguan warga dalam melakukan aktivitasnya. Ruang gerak mereka dibatasi dan dikekang oleh keadaan. Kondisi ini serupa dengan suasana penjajahan di era kolonialisasi. Alhamdulillah, bangsa ini, khususnya Surabaya, mampu menghadapi masa pandemi dengan baik. Karena kita telah melalui masa-masa sulit meskipun sempat kehilangan sanak saudara atau teman karib. Pandemi ini memang belumlah usai. Tapi, kita tetap bisa survival ini karena adanya semangat. Semangat menghadapi bahaya.

Sura ing Baya Adalah Spirit Kebangkitan

Istilah wani bagi arek-arek Suroboyo adalah sebuah spirit yang umum dipakai sebagai jargon oleh para suporter sepak bola Persebaya. Wani secara harfiah berarti berani. Mereka berani menghadapi berbagai tantangan.

Wani juga telah menjadi spirit para pejuang Surabaya dalam menghadapi musuh yang ingin kembali menjajah bangsa pada November 1945. Peristiwa heroik yang kini diabadikan sebagai momen Hari Pahlawan.

Semangat wani ini penting bagi kukuhnya suatu bangsa, suatu daerah demi menjaga jati diri. Jati diri bangsa Indonesia adalah keberagaman (multikulturalisme) sehingga semangat dan spirit nasionalnya adalah Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu). Persatuan dalam perbedaan. Agar nilai semangat ini senantiasa diketahui dan dikenal khalayak banyak, bunyi semangat ini disematkan pada lambang negara, burung garuda.

Di Surabaya, ada semangat atau moto Sura ing Baya yang seharusnya bisa melengkapi lambang Kota Surabaya, yang bergambar ikan hiu dan buaya serta tugu pahlawan. Dulu moto itu pernah ada, tapi dihilangkan dari lambang kota. Kini dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional, moto itu perlu disematkan lagi. Bunyinya Sura ing Baya. Secara harfiah sura adalah orang yang pemberani atau jawara. Sedangkan baya adalah bahaya atau tantangan. Jadi, Sura ing Baya adalah orang yang berani menghadapi bahaya atau tantangan. Semangat ini sudah disandang orang-orang Surabaya sejak era klasik.

Maka, dalam memaknai Hari Kebangkitan Nasional hari ini, kiranya juga perlu menyematkan dan menggelorakan moto Kota Surabaya Sura ing Baya. Hal ini bertujuan untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai semangat dan spirit kebangsaan. Seperti semangat kebangsaan yang mula-mula dibangkitkan oleh dokter Soetomo 114 tahun lalu.

Moto Sura ing Baya adalah spirit kebangkitan yang tidak hanya penting bagi Kota Surabaya. Tapi juga untuk skala nasional sebagai bekal merawat nilai-nilai kebangkitan nasional. (*)


*) NANANG PURWONO, Ketua Perkumpulan Begandring Soerabaia

Topik Menarik