Kebijakan Moneter BI Tidak Efektif Memacu Perekonomian

Kebijakan Moneter BI Tidak Efektif Memacu Perekonomian

Nasional | koran-jakarta.com | Jum'at, 28 Januari 2022 - 00:04
share

Bunga sulit turun karena likuiditas diperebutkan oleh BI, pemerintah, dan swasta.

NIM bank-bank di Indonesia terlalu tinggi, rata-rata mencapai 4,7 persen.

JAKARTA - Dalam menghadapi dan melalui krisis ekonomi, kebijakan moneter atau keuangan memegang peran yang sangat vital karena fungsinya mengalirkan likuiditas untuk merangsang perekonomian agar kembali bergerak.

Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) dalam menghadapi krisis dinilai sudah berupaya menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal. Namun demikian, beberapa kebijakannya dinilai belum efektif memacu pemulihan ekonomi.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah, dalam Focus Group Discussion bidang Moneter yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pada Kamis (27/1), mengatakan kebijakan yang menurutnya tidak efektif adalah penurunan suku bunga acuan BI7 days Reverse Repo Rate (BI7DRR Rate). FGD sendiri sebagai salah satu rangkaian kegiatan dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) yang akan diselenggarakan di Kendari pada pekan pertama Februari 2022.

Penurunan suku bunga acuan, papar Piter, tidak diikuti dengan transmisi suku bunga kredit oleh bank. Bank lebih responsif pada transmisi suku bunga dana atau simpanan.

"Begitu bunga acuan turun, bank langsung menurunkan suku bunga simpanan, sedangkan kredit sangat lamban. Akibatnya, spread suku bunga kredit dan dana atau Net Interest Margin (NIM) perbankan makin lebar. Maka, tidak heran kalau setiap suku bunga BI turun, keuntungan perbankan meningkat, sedangkan kredit stagnan, bahkan berkontraksi," kata Piter yang pernah berkarier lama di Bank Sentral.

Sejak 2020, BI telah menurunkan suku bunga acuan 150 basis poin (bps) atau 1,5 persen. Sejalan dengan hal tersebut, suku bunga deposito dana pihak ketiga (DPK) turun lebih besar yaitu 278 bps. Sayangnya, suku bunga kredit hanya turun 117 bps.

Padahal menurut Piter, pelonggaran kebijakan moneter diharapkan bisa mendorong penurunan suku bunga kredit sehingga daya beli masyarakat meningkat.

"Kalau konsumsi naik, akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi kalau kita balik, yang kita alami cicilan kredit saat krisis tidak turun, sehingga tidak berdampak ke daya beli yang tetap rendah. Jadi, kebijakan moneter dalam tanda kutip tidak efektif," jelasnya.

Dia pun mengkritik terlalu banyaknya instrumen kebijakan moneter di BI yang justru menjadi instrumen investasi yang memberi imbal hasil bagi bank-bank termasuk BI7DRR Rate.

"Jadi, kalau bank menempatkan likuiditas di BI selama tujuh hari itu mendapatkan suku bunga minimal sebesar BI7DRR Rate. Akibatnya, instrumen fiskal juga ikut memberi imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih menarik dari bunga acuan BI, sehingga suku bunga sulit turun," kata Piter.

Dengan kondisi saat ini, yang memperebutkan likuiditas di pasar itu ada tiga, yaitu BI, Kemenkeu, dan pihak swasta melalui penerbitan obligasi atau penawaran saham perdana ke publik.

"Jadi di Indonesia itu, ada tiga pihak yang bersaing berebut likuiditas. Beda di luar negeri, hanya otoritas fiskal yang bersaing. Makanya suku bunga tetap tinggi, bahkan yang tertinggi di Asia Tenggara. Ini yang menjadi pekerjaan rumah sampai sekarang. Makanya dulu IMF pernah merekomendasikan agar BI mengurangi instrumen moneter," kata Piter.

Selain tidak mengakselerasi konsumsi, bunga kredit tinggi juga tidak menggairahkan investasi. Makanya, sulit sekali untuk memulihkan perekonomian, apalagi negara-negara maju sudah mulai melakukan normalisasi.

Kebijakan tersebut tentu sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga untuk mencegah pelarian modal atau capital reversal .

Terlalu Tinggi

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan bank selalu berdalih lambatnya respons arah kebijakan moneter BI karena sifat funding mereka berjangka pendek, sedangkan kredit tenornya lebih panjang. Padahal, NIM bank-bank di Indonesia rata-rata mencapai 4,7 persen, sangat tinggi dibanding negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand rata-rata 2,6-2,7 persen, dan di Singapura 1,8-1,9 persen.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan didukung oleh kinerja ekspor serta membaiknya konsumsi dan investasi.

"Di sisi lain, sejumlah risiko masih membayangi keseimbangan ekonomi global dan nasional seperti normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS dan merebaknya varian Omicron.

Topik Menarik