Negosiasi Pembebasan Tawanan Hamas-Israel Disetop gara-gara Operasi Militer Zionis di Rafah

Negosiasi Pembebasan Tawanan Hamas-Israel Disetop gara-gara Operasi Militer Zionis di Rafah

Terkini | inews | Jum'at, 10 Mei 2024 - 08:31
share

KAIRO, iNews.id - Perundingan antara Israel dan Hamas mengenai pembebasan tawanan Israel yang masih ditahan di Jalur Gaza terpaksa ditangguhkan. Hal itu disebabkan oleh operasi militer Israel di Kota Rafah.

Kabar itu terungkap lewat laporan Politico pada Kamis (9/5/2024), dengan mengutip sejumlah sumber yang mengetahui masalah tersebut. Menurut media AS itu, Hamas masih siap untuk bernegosiasi. Akan tetapi, kelompok pejuang Palestina itu akhirnya menghentikan pembicaraan akibT serangan Israel ke Rafah.

Kendati demikian, kata Politico, bukan berarti bahwa kesepakatan tersebut kini sepenuhnya batal. Sebab, para perunding AS tetap berada di Doha, Qatar, untuk memantau situasi dan tetap berhubungan dengan semua pihak.

Pada Senin (6/5/2024) lalu, Israel memulai operasi militer di bagian timur Rafah dan menguasai pos perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir dari sisi Palestina. Keputusan itu diambil zionis meski Hamas menyetujui persyaratan perjanjian gencatan senjata yang diusulkan Mesir dan Qatar. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berdalih kesepakatan itu tidak dapat diterima. Lebih dari satu juta orang diyakini berlindung di Rafah.

Menanggapi operasi militer zionis di Rafah, AS memutuskan untuk menunda pengiriman senjata ke Israel. Pada Rabu (8/5/2024), Presiden AS Joe Biden mengatakan pihaknya akan membatasi pasokan senjata ke Israel jika negara Yahudi itu melancarkan serangan militer besar-besaran ke Rafah. 

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin pun mengonfirmasi pada hari yang sama bahwa Washington DC telah menghentikan pengiriman amunisi muatan tinggi ke Israel. AS juga sedang meninjau pengiriman senjata jangka pendek ke Israel di tengah meningkatnya serangan di Rafah.

Penasihat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Dmitry Gendelman, mengatakan bahwa Tel Aviv menyesalkan keputusan Washington DC itu.

Topik Menarik