Sekutu Amerika Serikat di Timur Tengah yang Saling Bermusuhan, Kebanyakan Menyangkut Israel
Sekutu Amerika Serikat di Timur Tengah mencakup beberapa negara, meski begitu tidak semua sekutu ini saling mendukung satu sama lain. Bahkan di antara mereka ada yang bermusuhan lantaran peliknya konflik di wilayah tersebut.
Dalam beberapa dekade terakhir, Amerika Serikat memainkan peran penting sebagai penyeimbang kekuatan di Timur Tengah. Dukungan militer, bantuan ekonomi, hingga kerjasama intelijen diberikan kepada negara-negara seperti Arab Saudi, Israel, dan Turki.
Namun, kedekatan ini tidak serta-merta menciptakan solidaritas antar-sekutu. Justru, dalam banyak kasus, AS menghadapi dilema diplomatik saat kepentingan sekutunya saling bertentangan atau bahkan berujung pada konfrontasi langsung.
Sekutu Amerika Serikat di Timur Tengah yang Saling Bermusuhan
1. Israel-Arab Saudi
Israel dan Arab Saudi merupakan dua kekuatan utama di Timur Tengah yang memiliki hubungan strategis dengan Amerika Serikat. Keduanya menerima dukungan militer, bantuan teknologi, dan kerja sama intelijen dari Washington dalam rangka menjaga stabilitas regional dan menahan pengaruh Iran.Sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, sebagian besar negara Arab termasuk Arab Saudi tidak mengakui kedaulatan Israel. Dukungan Arab Saudi terhadap perjuangan rakyat Palestina dan penolakannya atas pendudukan wilayah-wilayah Arab oleh Israel memperdalam jarak antara kedua negara.
Amerika Serikat selama ini memainkan peran sebagai penengah antara kepentingan kedua sekutunya ini. Melalui kebijakan luar negerinya, AS berupaya mendorong normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi.
Namun, normalisasi hubungan ini tidak serta-merta menghapus ketegangan yang ada. Isu Palestina tetap menjadi batu sandungan utama. Bagi Arab Saudi, pengakuan terhadap negara Palestina dan penghentian aneksasi wilayah oleh Israel adalah syarat penting sebelum menjalin hubungan diplomatik penuh.
2. Israel-Mesir
Permusuhan antara Israel dan Mesir bermula dari serangkaian perang besar, seperti Perang Arab-Israel tahun 1948, Krisis Suez tahun 1956, dan Perang Yom Kippur pada 1973. Saat itu, Mesir menjadi pemimpin blok negara-negara Arab yang menentang keberadaan Israel, sementara Israel berusaha mempertahankan eksistensinya.Konflik ini baru mereda setelah penandatanganan Perjanjian Camp David tahun 1978, yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan menghasilkan kesepakatan damai antara kedua negara. Mesir menjadi negara Arab pertama yang mengakui Israel secara resmi.
Walaupun secara diplomatik hubungan mereka sudah pulih, sentimen publik dan dinamika politik domestik di Mesir masih mencerminkan ketegangan terhadap Israel. Banyak warga Mesir yang menolak normalisasi hubungan, terutama karena isu Palestina yang belum terselesaikan.
Di sisi lain, Israel memandang Mesir sebagai mitra penting dalam menjaga stabilitas kawasan, khususnya di wilayah perbatasan Gaza dan Sinai yang rawan konflik.
Amerika Serikat berada di tengah-tengah hubungan ini sebagai penyeimbang. Washington memberikan bantuan miliaran dolar setiap tahun kepada Mesir dan Israel untuk mempertahankan aliansi strategis ini.
AS juga mendorong kerja sama antara kedua negara dalam isu-isu seperti perang melawan terorisme dan pengendalian kelompok ekstremis.
3. Bahrain-Qatar
Kedua negara ini menjadi tuan rumah bagi pangkalan militer AS yang strategis dan mendukung kebijakan Washington dalam menghadapi ancaman regional seperti Iran dan ekstremisme.Meskipun sama-sama sekutu dekat Amerika Serikat, hubungan antara Bahrain dan Qatar kerap diwarnai ketegangan, bahkan pernah mencapai titik krisis diplomatik.
Permusuhan antara Bahrain dan Qatar bukanlah hal baru. Kedua negara memiliki sejarah panjang perselisihan terkait wilayah perbatasan, terutama atas kepemilikan Pulau Hawar yang disengketakan selama puluhan tahun.
Konflik ini sempat dibawa ke Mahkamah Internasional dan akhirnya diputuskan pada tahun 2001.
Meski demikian, ketegangan politik tetap berlanjut, terutama setelah Arab Spring dan meningkatnya perbedaan pandangan mengenai peran kelompok Islamis seperti Ikhwanul Muslimin, yang didukung Qatar namun dianggap ancaman oleh Bahrain dan sekutunya.
Puncak permusuhan terjadi pada tahun 2017 ketika Bahrain, bersama Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir, memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.
Koalisi negara-negara tersebut menuduh Qatar mendukung terorisme dan terlalu dekat dengan Iran. Langkah ini menciptakan blokade udara, darat, dan laut terhadap Qatar, yang berlangsung selama lebih dari tiga tahun.
Pada Januari 2021, krisis Teluk akhirnya mereda melalui kesepakatan di bawah mediasi Kuwait dan dukungan Amerika Serikat, yang menghasilkan rekonsiliasi formal antara Qatar dan negara-negara pemblokade, termasuk Bahrain.