Rubel Rusia Tembus Level Tertinggi dalam 7 Tahun di Tengah Sanksi Barat

Rubel Rusia Tembus Level Tertinggi dalam 7 Tahun di Tengah Sanksi Barat

Gaya Hidup | BuddyKu | Jum'at, 24 Juni 2022 - 08:57
share

MOSKOW, iNews.id - Mata uang Rusia, Rubel mencapai 52,3 terhadap dolar AS pada Rabu (22/6/2022). Ini merupakan level terkuat sejak Mei 2015.

Pada Kamis (23/6/2022) sore, mata uang tersebut diperdagangkan pada 54,2 terhadap dolar AS. Meski sedikit melemah dari hari sebelumnya, namun masih mendekati level tertinggi tujuh tahun.

Posisi tersebut jauh dari koreksi yang terjadi pada awal Maret lalu, yang berada di 139 terhadap dolar AS. Itu ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa mulai memberikan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Rusia sebagai respons atas invasinya ke Ukraina.

Melonjaknya rubel yang menakjubkan pada bulan-bulan berikutnya, menurut Kremlin sebagai bukti sanksi Barat tidak berhasil.

Idenya jelas: hancurkan ekonomi Rusia dengan kekerasan. Mereka tidak berhasil. Jelas, itu tidak terjadi, kata Presiden Rusia Vladimir Putin pada pekan lalu selama Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg, dikutip dari CNBC Iternational, Jumat (24/6/2022).

Pada akhir Februari lalu, setelah kejatuhan awal rubel dan empat hari setelah invasi ke Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022, Rusia menggandakan suku bunga utama negara itu menjadi 20 persen dari sebelumnya 9,5 persen. Sejak itu, nilai mata uang telah meningkat ke titik yang menurunkan suku bunga tiga kali hingga mencapai 11 persen pada akhir Mei.

Rubel sebenarnya menjadi sangat kuat sehingga bank sentral Rusia secara aktif mengambil langkah-langkah untuk mencoba melemahkannya. Pasalnya, mereka khawatir hal itu akan membuat ekspor negara tersebut menjadi kurang kompetitif.

Tapi apa penyebab sebenanya di balik kenaikan rubel dan dapatkah dipertahankan?

Rusia meraup rekor pendapatan minyak dan gas karena harga energi yang sangat tinggi, kontrol modal, dan sanksi itu sendiri.

Rusia adalah pengekspor gas terbesar di dunia dan pengekspor minyak terbesar kedua. Pelanggan utamanya adalah Uni Eropa, yang telah membeli energi Rusia senilai miliaran dolar AS per minggu, yang secara bersamaan mencoba menghukumnya dengan sanksi.

Itu menempatkan UE di tempat yang canggung, yang sekarang telah mengirim lebih banyak uang secara eksponensial ke Rusia dalam pembelian minyak, gas, dan batu bara daripada mengirim bantuan ke Ukraina, yang telah membantu mengisi peti perang Kremlin. Dengan harga minyak mentah Brent 60 persen lebih tinggi daripada saat ini tahun lalu, meskipun banyak negara Barat telah membatasi pembelian minyak ke Rusia, Moskow masih mencatat rekor keuntungan.

Dalam 100 hari pertama perang Rusia-Ukraina, Federasi Rusia meraup pendapatan 98 miliar dolar AS dari ekspor bahan bakar fosil, menurut Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, sebuah organisasi penelitian yang berbasis di Finlandia. Lebih dari setengah pendapatan itu berasal dari UE, yakni sekitar 60 miliar dolar AS.

Banyak negara UE bermaksud untuk mengurangi ketergantungan mereka pada impor energi Rusia, namun proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun. Pada 2020, UE mengandalkan Rusia untuk 41 persen dari impor gasnya dan 36 persen dari impor minyaknya, menurut Eurostat.

Adapun UE mengeluarkan paket sanksi penting pada Mei yang sebagian melarang impor minyak Rusia pada akhir tahun ini, tetapi UE memiliki pengecualian yang signifikan untuk minyak yang dikirim melalui pipa karena negara-negara yang terkurung daratan seperti Hongaria dan Slovenia tidak dapat mengakses sumber minyak alternatif yang dikirim melalui laut.

Nilai tukar yang Anda lihat untuk rubel ada karena Rusia menghasilkan rekor surplus transaksi berjalan dalam valuta asing, kata Max Hess, seorang rekan di Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri.

Pendapatan itu sebagian besar dalam dolar AS dan euro melalui mekanisme pertukaran rubel yang kompleks.

Meskipun Rusia mungkin menjual sedikit lebih sedikit ke Barat sekarang karena Barat akan memutuskan (ketergantungan pada Rusia), mereka masih menjual satu ton dengan harga minyak dan gas yang tinggi sepanjang masa. Jadi ini membawa surplus transaksi berjalan yang besar, tuturnya.

Surplus transaksi berjalan Rusia dari Januari hingga Mei tahun ini lebih dari 110 miliar dolar AS, menurut bank sentral Rusia. Ini lebih dari 3,5 kali jumlah periode itu tahun lalu.

Di samping itu, Rusia melakukan kontrol modal atau pembatasan pemerintah terhadap mata uang asing yang keluar dari negaranya telah memainkan peran besar di sini. Ini ditambah fakta sederhana bahwa Rusia tidak dapat mengimpor lebih banyak lagi karena sanksi, yang berarti mereka menghabiskan lebih sedikit uangnya untuk membeli barang-barang dari negara lain.

Pihak berwenang menerapkan kontrol modal yang cukup ketat segera setelah sanksi datang. Hasilnya adalah uang mengalir masuk dari ekspor, sementara arus keluar modal relatif sedikit. Efek bersih dari semua ini adalah rubel yang lebih kuat, kata Nick Stadtmiller, Direktur Strategi Pasar Negara Berkembang di Medley Global Advisors di New York.

Rusia kini telah melonggarkan beberapa kontrol modalnya dan menurunkan suku bunganya dalam upaya untuk melemahkan rubel karena mata uang yang lebih kuat sebenarnya merugikan fiskalnya.

Namun karena Rusia sekarang terputus dari sistem perbankan internasional SWIFT dan diblokir dari perdagangan internasional dalam dolar AS dan euro, berarti untuk sementara Rusia membangun sejumlah besar cadangan devisa yang mendukung arus kasnya di dalam negeri.

Rubel di atas kertas sedikit lebih kuat, tapi itu akibat dari jatuhnya impor, dan apa gunanya membangun cadangan devisa, tetapi untuk pergi dan membeli barang-barang dari luar negeri yang Anda butuhkan untuk perekonomian Anda? Dan Rusia tidak bisa melakukan itu, ujar Hess.

Kita harus benar-benar melihat masalah mendasar dalam ekonomi Rusia, termasuk impor yang menurun. Bahkan jika rubel dikatakan memiliki nilai tinggi, itu akan berdampak buruk pada ekonomi dan kualitas hidup, imbuhnya.

Mengenai apakah kekuatan rubel dapat dipertahankan, Kepala Penelitian FX di Barclays Themos Fiotakis mengatakan, Ini sangat tidak pasti dan tergantung pada bagaimana geopolitik berkembang dan kebijakan menyesuaikan.

Topik Menarik