Kisah Perjuangan Hidup Pedagang Pecel dan Cenil: Anak Sakit hingga Putus Sekolah

Kisah Perjuangan Hidup Pedagang Pecel dan Cenil: Anak Sakit hingga Putus Sekolah

Terkini | sindonews | Selasa, 30 April 2024 - 20:17
share

Sudah 20 tahun lamanya, Awi menjadi pedagang pecel dan cenil di Ibu Kota, Jakarta. Dia tak hanya menjadi tulang punggung keluarga, tapi harus membiayai anaknya yang sakit, dan terpaksa putus sekolah.

Sore itu, Awi ibu paruh baya kelahiran 1981 itu tampak mengenakan baju berwarna oranye dan memakai topi caping dan menjajakan jualannya yakni pecel dan cenil, makanan tradisional Jawa itu di pinggiran perkantoran Ibu Kota.

Suaminya kini tak bekerja, hanya membantunya menyiapkan dagangan. Sedangkan, kedua anaknya berada di Kampung Halaman.

"Dulu pas anaknya kecil, bapaknya masih di Kampung sekarang anaknya gede udah disini. (Suami) enggak (kerja) sih kak, ini bantuin doang. Bantuin masak gitu," kata Awi saat ditemui MNC Portal di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (30/4/2024) sore.

Awi yang berasal dari Indramayu itu mengaku dulu mulai berjualan pecel dan cenil sejak anak pertamanya berumur 3 tahun. "Iya kak, lama banget. Asli Indramayu. Jualan semenjak umur tiga tahun, sekarang udah umur 23, berapa tahun? Dua puluh tahun ya," ucapnya.

Dia mengatakan penghasilan dari hasil jualan setiap harinya yang tak menentu dia simpan untuk anak di Kampung Halaman. "Lumayan sih kak, kadang nyampe Rp100 ribu per hari. Anak di Kampung. Pulang paling lama dua bulan, sering pulang, namanya orang kampung dapat duit pulang, dapat duit pulang," tuturnya.

Awi pun menceritakan tentang kedua anaknya yang saat ini berada di kampung halaman. Ibu dua orang anak itu mengatakan jika anak perempuannya terpaksa harus putus sekolah.

"Itu sekolahnya mogok baru kelas satu SMA, karena anaknya kurang normal, malu belajar sama temen. (Anak) dua, yang satu cowok masih SMP, kelas dua. Yang putus sekolah cewek," kata Awi.

Awi mengatakan jika anak pertamanya harus terpaksa putus sekolah karena sakit. Dia mengatakan punggung kirinya anak perempuannya melengkung sehingga tak bisa berdiri normal seperti teman-temannya.

"Punggungnya melengkung, apa keinian (kebanyakan) obat, dulu berobat jalan sampai enam bulan, tapi masih kecil, kayaknya pengerasan obat, mungkin," cerita Awi.

Mulanya, kata Awi, saat masih kecil anaknya sering sakit-sakitan. Dia pun tak tahu penyebab pasti mengapa punggungnya tidak normal.

"Dulu sakit-sakitan terus, jarang sehat. Badannya panas terus, sama batuk. Sekarang pengobatan enggak berjalan, batuknya sembuh tapi ujung-ujungnya kayak gitu, punggungnya melengkung sebelah gitu," kata Awi.

Awi mengatakan dia pernah membawa anaknya ke dokter, namun terpaksa menghentikan pengobatan karena keterbatasan biasa untuk berobat. Apalagi, katanya, dokter tidak bisa mengobati anaknya. Tak jarang dia menangis melihat anak-anak sekolah seusia anaknya bersekolah dengan normal.

"Pernah diobati juga, kata dokter enggak bisa katanya. Sampai nangis, kalau lihat anak sekolah itu sedih banget inget anak sendiri," katanya.

Meski begitu, Awi mengatakan jika dirinya tetap bersyukur dengan hasil berjualannya. Dia pun bersyukur masih mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah di kampung halamannya. "Cuma gini doang, cukup buat makan-makan. Istirahat kalau bulan puasa gitu udah cukup..

"Kalau di sini enggak pernah dapat (bansos), kan orang kampung. Kan KTP kampung, KTP kere, di sana dapat duit, dapat beras," pungkasnya.

Topik Menarik