Serikat Pekerja Khawatir Penetapan UMP 2026 Dilimpahkan ke Pemda, Berpotensi Memicu Demo
JAKARTA – Kenaikan upah 2026 telah ditetapkan dengan keputusan bahwa formula kenaikan upah 2026 adalah inflasi + (pertumbuhan ekonomi × alfa) dengan rentang alfa 0,5–0,9. Dengan formula tersebut, para gubernur akan menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) paling lambat 24 Desember 2025.
Menyikapi keputusan ini, Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) menilai pelimpahan penetapan UMP kepada pemerintah daerah berpotensi memicu gelombang kekecewaan dan aksi unjuk rasa di berbagai daerah.
"Hal ini tentu tidak kondusif bagi stabilitas hubungan industrial dan iklim ketenagakerjaan nasional," tegas Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Rabu (17/12/2025).
Atas dasar itu, Mirah mendesak pemerintah untuk meninjau ulang rumus penetapan upah minimum agar benar-benar menjamin Kebutuhan Hidup Layak (KHL), serta:
Mengendalikan harga kebutuhan pokok dan layanan dasar agar kenaikan upah tidak tergerus inflasi.
Melibatkan serikat pekerja secara bermakna dan substantif dalam setiap proses pengambilan kebijakan pengupahan.
"Tanpa langkah korektif tersebut, kami menilai kebijakan pengupahan ini hanya akan menjadi angka di atas kertas dan berpotensi memperlebar ketimpangan serta konflik hubungan industrial. Kami berharap kebijakan pengupahan ke depan mampu menciptakan keadilan, kepastian, dan kesejahteraan bagi pekerja, sekaligus menjaga hubungan industrial yang harmonis dan berkelanjutan," ujarnya.
Selain itu, serikat pekerja juga kecewa dengan keputusan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang menggunakan rumus inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dikalikan koefisien (alfa 0,5–0,9), sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan yang baru saja ditandatangani Presiden.
“Kami kecewa atas keputusan tersebut karena rumus itu tidak mencerminkan dan tidak menjamin terpenuhinya Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi pekerja dan keluarganya. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi secara jelas menyatakan bahwa upah minimum harus mengandung prinsip KHL, keadilan, dan kemanusiaan, bukan sekadar pendekatan teknokratis berbasis angka makroekonomi,” ujar Mirah.
Menurut Mirah, lamanya proses pembahasan semestinya menghasilkan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada pekerja. Namun kenyataannya, kenaikan upah yang dihasilkan tetap minimal dan jauh dari harapan buruh.
Dalam kondisi harga pangan, transportasi, listrik, BBM, pendidikan, dan kesehatan yang terus meningkat, Mirah menilai kenaikan upah minimum tanpa pengendalian biaya hidup akan menjadi sia-sia dan tidak berdampak nyata terhadap kesejahteraan pekerja.










