Pemimpin yang Tidak Asal Buat Perubahan
Frangky SelamatDosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara
MENGGANTI kebijakan, mengubah peraturan, adalah hal yang lumrah terjadi ketika pemimpin baru hadir menggantikan yang lama. Ada anggapan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang membuat perubahan bukan sekadar melanjutkan, memelihara status quo atau menonton perubahan.
Pemimpin baru pun terdorong melakukan perubahan. Ketika perubahan terjadi, para pengikut di bawahnya kerap dibuat repot dengan rentetan kebijakan yang berganti rupa seolah ingin meninggalkan jejak warisan di periode kepemimpinannya. Namun demikian, apakah ini yang disebut pemimpin?
Menurut Daft (2018) kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan. Terdapat tiga aspek yang terlibat yaitu orang, pengaruh dan tujuan. Kepemimpinan terjadi di antara orang yang melibatkan penggunaan pengaruh dan digunakan untuk mencapai tujuan.
Daft menekankan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas orang, berbeda dengan aktivitas administrasi atau pemecahan masalah.
Akademisi dan konsultan kepemimpinan Barry Posner seperti dikutip Schermerhorn dan Bachrach (2015) menegaskan bahwa momen masa kini adalah domain manajer, sementara masa depan adalah domain pemimpin. Singkatnya pemimpin membawa organisasi, dengan orang-orang di dalamnya, menuju masa depan, yang pasti penuh dengan ketidakpastian dan memaksa organisasi untuk adaptif jika ingin tetap berkembang. Perubahan tidak dapat dihindari kecuali ingin “musnah” ditelan zaman.
Menerapkan Perubahan
Perubahan adalah keniscayaan. Pemimpin menjadi dirigen untuk mengorkestrasi personil untuk berubah. Namun tidak mudah untuk menggerakkan organisasi untuk berubah.Ford dan Ford (1994) menggunakan model logika untuk memberikan pemahaman yang berbeda tentang proses perubahan. Mereka berpendapat bahwa pemahaman mengenai perubahan organisasi akan bervariasi tergantung pada logika yang digunakan.
Tiga Jenazah Satu Keluarga Ditemukan, Warga Majenang Histeris Lihat Rumah Rata dengan Tanah
Pertama, logika yang menekankan konflik atau pertikaian sebagai dasar perubahan. Konflik antara kekuatan yang mendukung dan yang menentang perubahan adalah dua tindakan yang saling bertentangan hingga salah satunya mendominasi dan menghasilkan sintesis yang berbeda tetapi mengandung unsur-unsur kekuatan yang mendukung dan menentang perubahan.
Model ini mengasumsikan bahwa ketidakpuasan dengan status quo diperlukan sebelum perubahan dapat terjadi. Kepuasan dan kenyamanan terhadap situasi terkini membuat organisasi enggan berubah.
Kedua, logika yang mendasarkan bahwa perubahan terjadi melalui daya tarik. Perubahan tidak dihasilkan dari tekanan untuk menjauh dari situasi saat ini, tetapi dihasilkan pada berbagai kemungkinan, bahwa dengan visi yang berbeda, akan menawarkan hasil dan harapan yang lebih baik.
Menerapkan perubahan membutuhkan kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang paling komprehensif tentang transformasi organisasi adalah teori kepemimpinan transformasional dan transaksional. Burns (1978) mengembangkan gagasan awal tentang kepemimpinan transformasional dan transaksional dalam konteks politik dan Bass (1985) menyempurnakan dan memperkenalkannya ke dalam konteks organisasi.
Kepemimpinan transaksional berkembang dari proses pertukaran antara pemimpin dan bawahan di mana pemimpin memberikan penghargaan sebagai imbalan atas kinerja bawahan.
Perilaku kepemimpinan transformasional melampaui kepemimpinan transaksional dan memotivasi pengikut untuk mengidentifikasi dengan visi pemimpin dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan organisasi.
Konseptualisasi kepemimpinan transformasional menurut Bass (1985) mencakup karisma atau pengaruh yang diidealkan (para pengikut percaya dan mengidentifikasi diri secara emosional dengan pemimpin), stimulasi intelektual (para pengikut didorong untuk mempertanyakan cara mereka sendiri dalam melakukan sesuatu) dan pertimbangan individual (tugas didelegasikan kepada para pengikut yang menyediakan kesempatan belajar bagi mereka).
Hasil penelitian Tichy dan Devanna (1990) memperlihatkan bahwa para pemimpin transformasional terlibat dalam suatu proses, yang mencakup serangkaian fase: mengenali perlunya perubahan, menciptakan visi baru, dan kemudian melembagakan perubahan tersebut.
Perubahan pada Tingkat Operasional
Pada tingkat operasional diperlukan tiga karakteristik utama manajer yang berhasil dalam organisasi yang terus berubah (Brown & Eisenhardt, 1997).Pertama, manajer yang sukses memberikan tanggung jawab dan prioritas yang jelas dengan komunikasi yang luas dan kebebasan untuk berimprovisasi. Para manajer ini menciptakan lingkungan yang mendukung komunikasi intensif secara real time, dalam struktur aturan yang sangat spesifik. Struktur yang terbatas menyediakan kerangka kerja yang tanpanya terdapat terlalu banyak derajat kebebasan.
Namun, dasar-dasar ini memberikan latar belakang yang kuat yang dapat digunakan oleh masing-masing anggota untuk tetap menjadi kreatif.
Kedua, manajer yang sukses adalah yang mengeksplorasi masa depan dengan bereksperimen dengan berbagai macam investigasi berbiaya rendah. Investigasi berbiaya rendah meningkatkan pembelajaran tentang kemungkinan masa depan.
Pembelajaran ini peluang sangat penting karena meskipun masa depan tidak pasti, ada kemungkinan untuk mempelajari sesuatu tentangnya.
Ketiga, manajer yang efektif menghubungkan proyek saat ini dengan masa depan dengan interval yang dapat diprediksi dan prosedur transisi yang terkoreografi. Rutinitas yang familier dibuat dengan pengaturan waktu yang dapat diprediksi dan dengan prosedur transisi yang menghubungkan masa kini dengan masa depan.
Manajer ini menggunakan istilah “hubungan dalam waktu” untuk menggambarkan praktik organisasi yang eksplisit yang membahas cakrawala waktu masa lalu, masa kini, dan masa depan serta transisi di antaranya.
Ritme dibuat, yang memungkinkan orang untuk mengatur kecepatan kerja, menyinkronkan energi satu sama lain, dan menciptakan aliran perhatian yang terfokus untuk meningkatkan kinerja.
Akhirnya, perubahan yang dibutuhkan bukan hanya kulit tapi “jiwa” di dalam organisasi agar menjamin keberlanjutan melalui masa-masa yang sulit.
Sayangnya banyak pemimpin yang terjebak dalam pandangan sempit, seolah jika sudah membuat aturan atau tampilan baru yang kasat mata, merasa perubahan sudah dilakukan. Tampaknya sebelum mengusung perubahan, sang pemimpin harus berbenah diri dahulu untuk “berubah”.










