Masih Mencari Buku yang Disebar Bareng Undangan Terkait Pendirian NU

Masih Mencari Buku yang Disebar Bareng Undangan Terkait Pendirian NU

Nasional | jawapos | Jum'at, 30 Desember 2022 - 14:06
share

Komunitas Pegon yang Aktif Mendokumentasikan serta Meneliti Sejarah Pesantren dan Nahdlatul Ulama

Selain kondisi dokumen, kitab, atau manuskrip yang sudah rapuh, tantangan yang dihadapi Komunitas Pegon adalah mendapatkan izin untuk mengakses. Ada buku-buku kuno yang bahkan ditumpuk di atap rumah.

IIED RAHMAT RIFADIN , Surabaya

SEJARAH Nahdlatul Ulama (NU) dan dunia pesantren ternyata masih banyak yang terserak di rak-rak buku lama sejumlah keluarga kiai atau ulama besar. Dari sana pula kemudian lahir Komunitas Pegon.

Komunitas tersebut mendokumentasikan, meneliti, dan memublikasikan ulang khazanah sejarah NU dan pesantren, khususnya di Banyuwangi, Jawa Timur. Pegon adalah sebuah aksara Arab gundul yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa. Aksara itu berkembang di Nusantara dan mulai digunakan para Wali Sanga untuk menyebarkan Islam sejak abad ke-16.

Menurut Kamus Bahasa Melayu Nusantara (Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei 2011), makna huruf pegon juga diakui di beberapa negara yang bahasanya tumbuh dari bahasa Melayu. Misalnya, Malaysia, Singapura, atau Brunei Darussalam.

Ayung Notonegoro, pendiri sekaligus ketua Komunitas Pegon, menyatakan, pegon digunakan sejak lama di Madura, Jawa, dan daerah-daerah lain di Indonesia sejak masa persebaran agama Islam. Bahkan, pegon juga digunakan di Mesir dan Arab Saudi. Dulu di paro pertama abad ke-20, banyak naskah kuno di negara-negara itu yang ditemukan dalam aksara tersebut.

Komunitas Pegon berawal ketika Ayung terlibat sebagai tim penyusun buku sejarah NU Banyuwangi pada 2016. Setahun kemudian, persisnya 6 Agustus 2017, Komunitas Pegon resmi berdiri. Ayung merangkul para aktivis muda NU Banyuwangi untuk menjalankan misi mulianya tersebut.

Kini dengan dibantu 20 anggota komunitas, Ayung terus aktif mengumpulkan manuskrip, dokumen, arsip, maupun buku-buku cetak tua bersejarah. Sekarang sudah terkumpul 100-an lebih naskah, dokumen, atau manuskrip (tulisan tangan). Untuk buku-buku cetak tua, sudah 200-an lebih. Sebagian sudah kami digitalisasi dan kami publikasikan ulang, ucap pria 32 tahun tersebut saat dihubungi Jawa Pos Kamis (22/12) pekan lalu.

Menemukan, mengumpulkan, dan mengamankan barang bersejarah tersebut bukan perkara mudah. Sering kali kitab-kitab maupun dokumen-dokumen milik para ulama besar masa silam tersebut sudah teronggok di pojokan gudang. Kondisi kertasnya juga sudah rapuh.

Meski ada pula yang masih tersimpan rapi di rak buku lawas. Namun sudah tidak tersentuh puluhan tahun. Saya pernah ngambil tumpukan buku kuno yang sudah ditaruh keluarga di atap rumah malah, ujar Ayung.

Maksud Ayung adalah wuwung, istilah Jawa untuk menyebut ruangan antara genting dan asbes yang kadang dijadikan gudang. Saking lamanya arsip-arsip dan buku-buku kuno itu tidak tersentuh, ada yang sampai muncul mitos-mitos.

Itu membuat Ayung dkk kesulitan mendapatkan izin mengakses buku-buku kuno tersebut. Salah satunya pada 2016 saat Ayung dan tim bersilaturahmi ke rumah keluarga keturunan KH Saleh Lateng.

Kiai Saleh merupakan pendiri NU Banyuwangi. Kiai Saleh meninggal pada 20 Agustus 1952. Dia adalah murid langsung Syaikhona Kholil Bangkalan yang juga merupakan guru Hadratussyekh Hasyim Asyari, pendiri NU.

Pada masa awal pendirian NU di Januari 1926, Kiai Saleh ditunjuk langsung oleh KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah menjadi anggota muassis-mustasyar (tim formatur) pendirian NU. Atas dasar sejarah dan ketokohan besar Kiai Saleh itulah, Ayung dan tim meyakini masih tersimpan banyak arsip penting di rumah keluarga besar Kiai Saleh yang berada di Banyuwangi. Saat ini pesantren Kiai Saleh sudah tidak aktif.

Pihak keluarga sempat keberatan saat kami ingin membuka lemari kitab besar peninggalan Kiai Saleh Lateng. Butuh dua tahun pendekatan yang kami lakukan sampai akhirnya pihak keluarga merestui, cerita Ayung.

Setelah mendalami satu per satu peninggalan Kiai Saleh itu, keyakinan Ayung dkk terbukti. Di sana mereka menemukan salah satu karya besar ulama Nusantara pada pertengahan abad ke-19 yang menjadi salah satu koleksi kitab milik Kiai Saleh. Karya itu adalah manuskrip legendaris Babad Tawangalun dengan transkrip pegon yang bercerita tentang Kerajaan Blambangan pada era Tanpa Una.

Karya serupa hanya tersimpan di sepuluh museum saat ini. Salah satunya museum di Leiden, Belanda. Dari semua itu, hanya satu yang berupa aksara pegon seperti peninggalan Kiai Saleh ini. Ini penemuan yang sangat penting bagi kami terkait sejarah Banyuwangi, ucap Ayung.

Saat ditanya apakah ada peninggalan kuno lain yang ingin mereka temukan, tapi belum ketemu, Ayung menyebut ada. Itu adalah buku yang disebar KH Wahab Chasbullah bersamaan dengan undangan untuk para ulama Nusantara pada 1926 silam dalam salah satu upaya mendirikan NU.

Dia menyebut buku itu diyakini sebagai propaganda awal dalam menjelaskan kenapa harus mendirikan NU di Indonesia ini. Buku itu juga yang akhirnya menggerakkan 160 kiai hadir ke Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk berkumpul dan menjadi cikal bakal pendirian NU.

Itu buku penting jelang satu abad NU. Ini salah satu puzzle sejarah pendirian NU yang belum ditemukan hingga saat ini. Tapi, kami yakin seiring berjalannya waktu, kami bisa menemukan, ucap pria yang juga aktif menulis buku tersebut.

Menurut pengalamannya selama ini, sering kali dokumen-dokumen penting tersebut malah secara tidak sengaja ditemukan lewat silaturahmi ke rumah-rumah keluarga para kiai. Misalnya, saat mereka berbincang santai atau ngopi dengan para keluarga. Kadang itu ada yang tiba-tiba bilang, Mas ini mbah punya peninggalan dokumen ini, itu apa ya. Ternyata itu yang kami cari-cari selama ini, ujar Ayung.

Kini Ayung dan komunitasnya sedang mendigitalkan ulang seluruh dokumen kuno yang sudah mereka temukan dalam satu portal khusus. Dia berharap tahun depan peninggalan-peninggalan bersejarah itu bisa diakses seluruhnya untuk semua kalangan di portal khusus komunitas pegon tersebut.

Karena selama ini yang menghubungi kami mayoritas dari teman-teman luar kota. Entah itu untuk keperluan penelitian, tesis, atau skripsi. Jadi, jika kami kumpulkan di satu portal, teman-teman akan lebih mudah mengaksesnya, kata Ayung.

Ibnu Tsani, salah seorang anggota Komunitas Pegon, menyebutkan, meski bergerak di bidang penelitian sejarah, komunitasnya itu tidak melulu berisi anak-anak muda periset. Malah, dia mengatakan, Komunitas Pegon sangat terbuka dengan anak-anak muda dari berbagai latar dan kalangan untuk menggairahkan semangat mempelajari sejarah keislaman.

Jadi, kami ini ya seperti komunitas pada umumnya saja. Yang bisa video ikut bantu dengan membuat video-video menarik, yang jago fotografi membantu di dokumentasi. Tapi, tema yang kami garap tetap satu tentang sejarah, ucap Ibnu kepada Jawa Pos secara terpisah.

Pria 29 tahun itu menambahkan, kegiatan dan publikasi ulang hasil penelitian di komunitasnya juga selalu berusaha dikemas semenarik mungkin dan kekinian. Dengan begitu, semakin banyak generasi muda yang tertarik untuk mempelajari dan mengetahui khazanah keislaman masa silam yang sangat kaya di bumi Nusantara ini.

Yang paling senior di komunitas kami Mas Ayung. Itu saja masih 31 tahun. Saya 29 tahun. Anggota yang lain malah lebih muda-muda, ujarnya.

Topik Menarik