Menolak Nepotisme

Menolak Nepotisme

Nasional | rm.id | Senin, 27 Juni 2022 - 06:00
share

Sebuah hadis riwayat Abu Burdah, dari Abu Musa RA, mengatakan: Aku bersama dengan dua dari anak pamanku (sepupu sekali) menemui Nabi. Lalu salah satu dari keduanya mengatakan: Wahai baginda Nabi, angkatlah kami sebagai pejabat dari beberapa jabatan yang diberikan oleh Allah padamu.

Nabi mengatakan: Demi Allah, kami tidak mengangkat/ memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya atau yang optimis terhadapnya. (HR. Ibnu Abi Syaibah, dalam kitab Musannaf Ibni Abi Syaibah ).

Dalam hadis lain Riwayat Abu Zar RA dikatakan: Wahai baginda Nabi, angkatlah aku sebagai pejabat, lalu ia mengatakan: Nabi memukulkan tangannya ke pundakku sambil mengatakan: Wahai Abu Zar, aku melihatmu sangat lemah, dan sesungguhnya yang engkau minta itu adalah amanah; dan sesungguhnya hal itu di Hari Akhirat adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali yang mengambil/menjabatnya karena layak dan menunaikannya dengan baik dan sempurna. (HR. Muslim, dalam kitab Sahih Muslim , Jilid 6, halaman 6).

Kedua hadis di atas cukup tegas, Nabi menolak permintaan jabatan berdasarkan hubungan kekeluargaan. Termasuk Abu Zar al-Gifari yang dikenal sangat dekat dengan Nabi. Ketika ia meminta jabatan, Nabi dengan tegas menolak permintaan sahabatnya, seolah tanpa beban dengan menunjukkan kelemahan yang dimiliki sahabatnya.

Berani berkata tidak kepada orang terdekat, tentu sulit. Tapi Nabi tegas menyatakannya. Ini contoh teramat penting bagi pejabat tinggi yang akan menentukan posisi penting dalam struktur kepemimpinannya.

Nabi tidak pernah mengangkat seorang pejabat berdasarkan kekerabatan atau kolega, tetapi betul-betul berdasarkan profesionalisme. Bukan berarti Nabi tidak mempunyai keluarga atau kolega, tetapi Nabi menyerahkan urusan kepemimpinan itu kepada sebuah mekanisme secara profesional.

Nabi seolah malu berbicara, sebuah jabatan dihubungkan dengan anggota keluarga. Memang Nabi tidak mempunyai anak laki-laki dewasa karena putranya Ibrahim meninggal saat masih kecil. Akan tetapi, anak pamannya banyak. Hanya, Nabi tidak pernah memberikan jabatan itu karena pertimbangan keluarga.

Pejabat yang ditunjuk sebagai gubernur di beberapa propinsi pun bukan dari keluarga dekatnya. Tidak heran ketika Nabi wafat, muncul persoalan krusial karena Nabi tidak pernah memberikan fatwa atau isyarat, siapa nanti yang akan menggantinya saat ia sudah tiada.

Ketika Nabi wafat pada Senin 12 Rabiul Awal 632 M, sebagian anggota masyarakat panik mengenai penggantinya sebagai kepala pemerintahan di Madinah. Kepanikan ini berbuntut pada penundaan pemakaman Nabi selama tiga hari.

Umar ibn Khaththab berdiri dengan pedang terhunus di samping Nabi dan mengatakan, siapa yang mengatakan Nabi wafat, dia akan tebas lehernya. Hal itu karena begitu dalam cinta Umar terhadap Nabi. Ia mengatakan, Nabi hanya pingsan seperti pingsannya Nabi Musa tiga bulan saat menatap sinar ciptaan Ilahi di Bukit Turisinin.

Sahabat paling senior, yakni Abu Bakar, tidak ada di tempat karena ia hadir di Bani Tsaqifah, yang di sana ada dua kelompok, yaitu pimpinan Suku Khazraj dan Suku Aus dari kalangan Muhajirin. Ia sendiri diminta oleh kaum Muhajirin mengikuti pertemuan penting itu.

Para peserta pertemuan menyetujui pendapat yang dipesankan Umar kepada pertemuan itu, bahwa yang paling tepat menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintahan ialah Abu Bakar, dengan berbagai pertimbangan. Usulan itu disetujui, sehingga Abu Bakar langsung dibaiat sebagai khalifah pertama pengganti Nabi Muhammad sebagai Kepala Pemerintahan. Baiat ini terkenal dengan Baiat Tsaqifah.

Walaupun mulanya ada masalah kecil, karena keluarga dekat Nabi tidak dilibatkan, seperti Fatimah, anak tunggal Nabi yang hidup, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan lan-lain. Fatimah diketahui tidak ikut membaiat Abu Bakar. Ali, suami Fathimah, nanti membaiatnya sesudah Fatimah, isterinya meninggal.

Nabi sendiri tidak pernah mengisyaratkan Ali ibn Abi Thalib, suami anak perempuannya sekaligus sepupunya, sebagai pengganti. Yang ribut belakangan setelah Nabi wafat ialah para pengikut dan loyalis antar tokoh yang dipandang dapat menjadi khalifah.

Topik Menarik