Kisah Jenderal Kopassus Jual Sepeda hingga Palsukan Tanda Tangan Orangtua untuk Daftar Akmil

Kisah Jenderal Kopassus Jual Sepeda hingga Palsukan Tanda Tangan Orangtua untuk Daftar Akmil

Gaya Hidup | BuddyKu | Rabu, 1 Maret 2023 - 06:16
share

JAKARTA - Soegito kecil bermimpi untuk dapat menempuh pendidikan di Akademi Militer (Akmil). Mimpi ini berhasil diwujudkan. Bahkan pangkat Letnan Jenderal (Letjen) disandang Soegito.

Meski begitu, perjalanan Jenderal Kopassus untuk dapat meraih mimpinya tidaklah mudah. Banyak hal dikorbankan Soegita untuk mewujudkan impiannya.

Mengutip buku Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen, Rabu (1/3/2023), dikisahkan informasi terkait pendidikan di Akademi Militer (Akmil) masih sangat terbatas. Saat itu namanya masih Akademi Militer Nasional (AMN) dan bermarkas di Magelang, Jawa Tengah.

Karena masih terbatasnya akses informasi saat itu, tidak banyak yang mengetahui keberadaan AMN di Magelang. Secara kebetulan mereka yang tinggal di Pulau Jawa dan lebih khusus lagi di sekitar Jawa Tengah, sedikit mendapat kelebihan informasi dibandingkan yang berada di luar wilayah tersebut.

Selain faktor kedekatan, sebenarnya informasi soal AMN bisa diperoleh lewat koran. Markas Besar Angkatan Darat kala itu juga sudah cukup sadar publikasi, sehingga pengumuman soal penerimaan taruna juga bisa diperoleh lewat bioskop. Ya tentu hanya bagi mereka yang suka menonton film.

Beruntung untuk Soegito muda, ia sejak lama memang suka menonton film di layar lebar. Soegito dapat melihat berita penerimaan taruna AMN, dalam tayangan berdurasi pendek itu. Sekolah militer dengan dibiayai oleh negara menjadi kesempatan yang terlalu menarik untuk dilewatkan.

Batinnya sepakat untuk mencari peruntungan dengan menjadi taruna AMN. Dengan informasi yang sangat terbatas itu, ia dan beberapa temannya di SMA berniat menjadi tentara. Celakanya, semua proses seleksi untuk masuk ke AMN di Magelang diadakan di Semarang. Proses seleksi berlangsung sebelum ada pengumuman hasil ujian akhir SMA. Bolak-balik ke Semarang tidak hanya menyita waktu, tapi juga menguras isi kantong.

Dengan uang saku yang selalu pas-pasan dan kadang kurang, Soegito memang harus bisa mengatur sendiri keuangannya, agar ketika dibutuhkan bisa langsung berangkat ke Semarang.

Ia kemudian pulang ke Cilacap untuk meminta restu orang tua. Soegito dipanggil bapaknya. Sambil memberi nasihat dan wejangan layaknya orang tua kepada anaknya, Pak Soeleman lalu menyuruhnya mengambil selembar daun sirih dan gelas diisi air putih.

"Gito, ini daun sirih kamu gulung. Lalu kamu potong tiga kali persis di atas gelasnya," ucap bapaknya.

Dengan pikiran polos, Soegito pun menuruti perintah bapaknya. Dalam tiga kali sayatannya, ketiga potongan daun sirih itu ndilalah masuk ke dalam gelas.

"Alhamdulilah Gito," ujar si bapak, yang membuat Soegito bengong apa maksudnya.

Tanpa menunggu putranya bertanya lebih jauh, Soeleman pun menjelaskan. "Kamu jadi alat negara, kamu meninggal tidak dalam tugas."

Mendengar itu, sang ibu yang duduk tidak terlalu jauh, langsung nyeletuk.

"Alah, percaya sama Gusti Allah saja Gito."

Walaupun ongkos jalan dan penginapan di Semarang mendapat penggantian dari Panitia Seleksi AMN, tetap saja masih diperlukan biaya tambahan.

Oleh sebab itu, Soegito menjual sepedanya yang telah dipakainya selama lebih dari tiga tahun, yaitu sejak di SMP Cilacap sampai SMA di Purwokerto. Namun, ujian belum usai. Saat datang panggilan terakhir ke Semarang di tahun 1958, setiap calon harus membawa ijazah asli kelulusannya.

Untuk itu ia harus menghadap kepala sekolah untuk mengambil ijazah. Kepala Sekolah Soemarno pun membuka catatannya.

"Wah, Gito kamu belum melunasi pembayaran uang gedung," ujarnya datar.

"Tapi maaf saya sudah tidak punya uang lagi Pak karena sudah bolak-balik ke Semarang dan besok harus kembali ke Semarang terus ke Cimahi," jawab Gito.

"Tapi siswa Gito harus membayarnya, bagaimana," suara Pak Marmo meninggi.

Namun, Gito pun meyakinkan kepala sekolah tersebut.

"Pak, saya benar-benar sudah tidak punya uang," pinta Soegito.

"Ya sudah, nih," jawab kepala sekolah sambil menyodorkan ijazahnya dengan agak terpaksa.

Selain harus mengantongi ijazah, seorang calon sudah harus membawa surat keterangan tanda persetujuan dari orang tua untuk mengikuti pendidikan AMN. Namun, karena perjalanan ke Cilacap dari Purwokerto butuh ongkos dan waktu, Gito akhirnya memalsukan tandatangan ayahnya.

Alhasil setelah surat keterangan orang tua selesai diketik, tanpa kesulitan Soegito membubuhkan tanda tangan bapaknya di lembar persetujuan.

"Selain ngirit, saya masuk AMN kan atas risiko saya dan kalau terjadi apa-apa kan urusan saya," Soegito beralasan.

Panggilan terakhir yang ditunggu pun datang. Ini merupakan jawaban bahwa Soegito termasuk yang terpilih untuk mengikuti seleksi tahap akhir di Cimahi, Bandung. Pada hari yang ditentukan, Soegito telah berada di tempat seleksi calon taruna di Semarang.

Di sini dikumpulkan semua calon taruna yang berasal dari Jawa Tengah, sekitar 100-an orang. Mereka kemudian diberangkatkan ke Cimahi dengan menumpang kereta api.

Terdapat ratusan orang calon taruna saat itu berkumpul di Garnisun Cimahi dari seluruh Indonesia. Sejak tiba di Cimahi, mereka mulai mendapatkan suasana yang berbeda. Mereka untuk pertama kali mengenal tradisi kemiliteran seperti apel. Setiap pagi mereka juga harus melaksanakan senam pagi di tengah dinginnya udara Cimahi sambil bertelanjang dada, mengenakan pakaian dinas yang selalu kedodoran atau menyandang senapan Lee Enfield (LE) yang melecetkan pundak mereka.

Melewati masa pengujian akhir di Cimahi ini cukup melelahkan. Namun, Soegito dapat menyelesaikan setiap ujian yang dilaluinya. Mampunya Soegito melewati setiap tahap seleksi fisik, tentu tidak terlepas dari kegemarannya berolahraga. Kelenturan tubuhnya mungkin menjadi kelebihannya dibanding teman-temannya yang mengikuti seleksi waktu itu. Wajar saja, senam merupakan salah satu olahraga yang disukainya.

Meliuk-liukkan badan di atas kuda-kuda dan keseimbangan balok plus salto bisa dilakukannya. Semua kelebihan dalam olah fisik ini sangat dirasakan manfaatnya ketika ia menjadi anggota Kopassus. Di akhir masa seleksi diumumkanlah hasilnya. Disampaikan bahwa peserta yang dinyatakan lulus berjumlah 170 orang.

Setelah dinyatakan lulus, mereka kembali naik kereta api dari Bandung ke Yogya. Setiap orang sudah mengenakan seragam militer. Bukan kembali ke rumah masing-masing, tapi langsung ke Lembah Tidar, di mana AMN berada. Terbayang betapa lelahnya mereka karena nyaris tidak sempat beristirahat.

Soegito pun membenarkan bahwa kondisi mereka selama seleksi di Cimahi cukup menderita, sehingga umumnya sudah merasa malas dan tidur saja selama di perjalanan. Bahkan sampai hari itu pula, kebanyakan dari mereka belum sempat berkirim surat kepada orang tua masing-masing. Namun menurut Soegito, pilihan ini justru lebih masuk akal. Bayangkan kalau mereka harus pulang kampung terlebih dahulu.

Dengan kondisi moda transportasi saat itu yang jauh dari memadai, berapa lama waktu yang harus mereka habiskan untuk pulang ke rumah masing-masing dan kembali berkumpul di Magelang. Dalam satu kesempatan bersama keluarga setelah menjadi taruna, Soegito menerima banyak ucapan selamat dari kakak dan adiknya serta dari sanak saudara. Salah seorang pamannya bilang.

"Gito kamu nanti jadi officier." Pamannya yang lain lebih spontan, "Kowe pantas jadi tentara lah wong dulu nakal."

Bapak Soeleman juga tidak lupa memberikan selamat dan berpesan, "Kamu tidak boleh sombong, tidak boleh sembarangan, selalu berbuat baik."

Topik Menarik