Jakarta Terapkan Kawasan Tanpa Rokok, Industri Event Terancam Mati
JAKARTA - Pelaku industri event dan usaha menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta. Raperda tersebut dinilai Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) sebagai upaya mendamaikan dua sisi ekstrem, yaitu isu kesehatan dan kepentingan ekonomi, yang menyebabkan proses legislasi berjalan sangat alot dan bertahun-tahun.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan polemik ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi di semua daerah, karena regulasi ini bersifat delegatif, yaitu mandat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (UU Kesehatan dan PP 28 Tahun 2024).
“Regulasi ini coba mendamaikan dua sisi yang sangat ekstrem. Satu di sisi isu kesehatan, satu di sisi ekonomi. Jadi pertentangan antara dua kubu ini, sebetulnya dari catatan kami tidak hanya terjadi di level lokal,” ujar Armand dalam Podcast Bikin Terang iNews, dikutip Sabtu (13/12/2025).
Armand mencontohkan, untuk konteks DKI Jakarta, KPPOD telah mengawal Raperda ini sejak 2017–2018. Dinamika pertentangan selalu melibatkan dua kubu, mereka yang fokus pada isu kesehatan dan pemangku kepentingan yang memperhatikan kepastian berusaha sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Sekjen DPP Ivendo (Industri Event Indonesia), Evan Saepul Rohman, secara tegas menyatakan keberatan industri terhadap Raperda KTR karena dianggap tidak berpihak pada sisi industri.
Evan menyoroti bahwa banyak pelaku event memiliki kekayaan intelektual (IP event) yang telah berjalan lama dengan sokongan sponsor terbesar dari produk rokok.
“Karena di situ jelas, kami para pelaku event ini kan ada yang punya IP event yang sudah berjalan lama, dengan sponsor yang paling besar dari produk tersebut. Kalau dibatasi dengan pelarangan secara keseluruhan, sudah pasti mati,” tegas Evan.
Ia menambahkan, modal terbesar dari event berasal dari sponsor tunggal rokok, yang akan hilang jika terjadi pelarangan secara keseluruhan, termasuk pelarangan sponsor.
Armand Suparman mencatat bahwa selama enam bulan terakhir, Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR DPRD Jakarta memang mencoba bertemu dan menerima masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pihak yang menolak. Namun, ia menilai masukan tersebut tidak cukup diakomodasi di dalam perancangan peraturan daerah.
Salah satu usulan yang tidak diakomodasi adalah penghapusan pelarangan radius 200 meter penjualan rokok dari sarana pendidikan. Bahkan, di internal Pemprov DKI sendiri, terjadi perbedaan pandangan antara Dinas Kesehatan dengan dinas sektoral seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
“Karena menurut teman-teman, misalnya di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, ketika ada pelarangan kawasan tanpa rokok itu pasti berdampak terhadap teman-teman pekerja di sektor terkait. Industri hiburan, periklanan, dan segala macam. Demo masyarakat itu adalah teman-teman di Perindustrian dan Perdagangan, bukan Dinas Kesehatan,” ungkap Armand.
Evan Saepul Rohman membenarkan hal tersebut. Ia mengaku telah berdiskusi dengan berbagai pihak sejak penyusunan naskah akademik hingga hari ini, namun apa yang disampaikan tidak berubah dan tidak didengar sama sekali.
“Artinya, peraturan ini apakah memang sengaja dipaksakan untuk ditetapkan? Atau bagaimana?” tanya Evan secara retoris.
Ia menekankan bahwa pelaku industri event kini membutuhkan kepastian hidup setelah dihimpit kebijakan seperti larangan event saat Covid-19, yang diikuti dengan efisiensi yang menyebabkan beberapa event hilang.
Saat ini, bola panas Raperda KTR DKI Jakarta sudah berada di tangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk dikaji lebih lanjut, setelah diserahkan sebelum 30 November lalu.










