Antisipasi Dini Dampak Kemarau

Antisipasi Dini Dampak Kemarau

Ekonomi | koran-jakarta.com | Senin, 11 April 2022 - 08:23
share

JAKARTA - Sejumlah langkah disiapkan menghadapi musim kemarau tahun ini. Kendatipun puncak musim kemarau untuk mayoritas daerah baru Agustus mendatang, banyak daerah diperkirakan memasuki puncaknya sejak Juli. Karena itu, antisipasi dini perlu dilakukan untuk mencegah penurunan produksi.

Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Kementan, Takdir Mulyadi, menjelaskan sebanyak 19,9 persen zona musim (ZOM) memasuki puncak musim kemarau pada Juli 2022 dan 52,9 persen ZOM memasuki Puncak Musim Kemarau bulan Agustus 2022.

Beberapa langkah antisipasi dalam menghadapi musim kering pada 2022, antara lain early warning system dan rutin pantau informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memanfaatkan aplikasi Sistem Kelender Tanam ( Si KATAM ) Terpadu.

Cara lainnya melalui pompanisasi, perbaikan jaringan irigasi tersier/kuarter, gerakan panen air, teknologi hemat air, penggunaan benih toleran kekeringan dan penggunaan pupuk organik dan pembenah tanah untuk meningkatkan retensi air.

"Kegiatan lainnya dengan memanfaatkan Asuransi Usaha Tani Padi bagi yang sudah mendaftar dan Brigade Dampak Perubahan Iklim atau Organisme Pengganggu Tanaman, Brigade Alat Mesin Pertanian dan Tanam, Brigade Panen dan Serap Gabah Kostraling," papar Takdir, di Jakarta, Minggu (10/4).

Panen Air

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Suwandi, mengatakan air hujan dan run-off merupakan salah satu sumber daya alam (SDA) yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal, hanya dibiarkan mengalir ke saluran-saluran drainase menuju ke sungai-sungai yang akhirnya mengalir ke laut.

Dia menambahkan, jika mampu diolah dan dikelola dengan baik, air hujan tersebut akan memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, terutama untuk keberlangsungan penyediaan air, terutama di sektor pertanian.

"Saya pernah ke daerah Katingan sudah melakukan metode panen air, di setiap genting rumah ada drum untuk menampung air hujan. Di Gunung Kidul, di setiap bawah pohon besar ada cekungan untuk menampung air," ungkap Suwandi.

Dia menjelaskan gerakan panen air hujan ini adalah ilmu perubahan perilaku, di mana pada tahun 70-an dan 80-an, Gunung Kidul terkenal dengan istilah sapi makan sapi, namun sekarang bisa memanfaatkan air hujan yang dulu dianggap muspro menjadi bermanfaat. Di Wonogiri tanahnya banyak mengandung kapur, tetapi dilapisi kompos setebal sekitar 30 cm sehingga lahannya bisa ditanami jagung.

Kepala Balai Air Tanah, Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR), Ahmad Taufiq, mendukung gerakan panen air guna memenuhi kebutuhan air, yang mana pemakaian air tanah mayoritas untuk domestik dan industri dengan besaran 45 dan 40 persen, kemudian pertanian 10 dan lainnya 5 persen. Apalagi saat ini terjadi peningkatan kebutuhan air yang signifikan seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk.

"Gerakan panen air membantu dalam mengurangi pengambilan air tanah yang berlebihan. Pemompaan air tanah dari sumur produksi sulit untuk dikendalikan," papar Ahmad.

Topik Menarik