Kisah Soekarno Minta Restu Jayabaya Sebelum Proklamasikan Kemerdekaan Indonesia

Kisah Soekarno Minta Restu Jayabaya Sebelum Proklamasikan Kemerdekaan Indonesia

Berita Utama | okezone | Rabu, 20 Maret 2024 - 04:00
share

JAKARTA Soekarno ternyata lebih dulu berziarah ke petilasan Raja Jayabaya di Kediri, sebelum membacakan teks proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945. Jayabaya merupakan Raja Panjalu atau Kerajaan Kediri periode 1135-1159 Masehi.

Pada masa kepemerintahan Jayabaya, Kediri mencapai puncak kejayaan. Nama Jayabaya sangat masyhur khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Kisahnya masih diceritakan sampai kini dan sosoknya dianggap keramat. Petilasannya masih diziarahi oleh orang-orang sampai kini.

Soekarno dikenal sebagai tokoh yang sangat memegang teguh budaya Jawa dan percaya dengan klenik. Sebelum memproklamasikan kemerdekaan RI, Bung Karno tiga kali berziarah ke makam Jayabaya untuk ngalab berkah.

Kisah tersebut dinukilkan dalam buku "Wali Berandal Tanah Jawa" yang ditulis George Quinn. “Sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, presiden pertama negara baru itu, Soekarno, dikabarkan berziarah tiga kali ke Pamuksan Sri Aji Jayabaya.”

Menurut saksi mata, saat itu kunjungan terakhir Soekarno dilakukan hanya beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan.

“Aku datang ke sini untuk minta restu Raja Jayabaya,” demikian Soekarno menjelaskan kepada rombongannya.

“Aku ingin kalian semua membantuku,” ujarnya.

Di situs Pamuksan Jayabaya, Bung Karno berdiam diri selama tujuh menit. Sebelum beranjak, Bung Karno kemudian berkata: ”Sudah direstui. Sekarang kita bisa pergi,” demikian dikutip dari "Wali Berandal Tanah Jawa".

Sebagian orang meyakini Pamuksan Sri Aji Jayabaya atau Joyoboyo di Desa Mamenang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, sebagai tempat keramat. Sebagian orang pun mempercayai Raja Jayabaya tidak meninggal dunia melainkan moksa.

Sri Aji Jayabaya yang memerintah Kerajaan Panjalu atau Kediri selama 24 tahun (1135-1159) tersohor sebagai raja adil dan bijaksana. Saat masa pemerintahan Jayabaya, hukum benar-benar ditegakkan.

Dalam "Prahara Bumi Jawa Sejarah Bencana dan Jatuh Bangunnya Penguasa Jawa", Otto Sukatno CR menulis saat itu tidak ada orang yang dikurung sehingga penjara tidak diperlukan. Yang berlaku saat itu hanya hukuman denda. Mereka yang dinyatakan bersalah harus membayar denda dengan besaran yang ditentukan.

“Sementara bagi pencuri, perampok dan penyamun, dan tindak-tindak kejahatan besar lainnya, langsung mendapat hukuman mati".

Di masa pemerintahan Jayabaya, Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan ibukota Dahanapura atau Daha, mencapai masa keemasannya. Jayabaya merupakan keturunan Raja Airlangga (1019-1042).

Dia merupakan raja ketiga Panjalu setelah Airlangga membelah Kerajaan Kahuripan menjadi Kerajaan Panjalu dan Jenggala.

Dengan kekuatan dan kebijakan yang dimiliki, Jayabaya berhasil menyatukan Panjalu dan Jenggala yang bertahun-tahun berseteru dalam perang saudara. Jayabaya juga termasyhur dengan ramalannya yang dikenal bernama Jangka Jayabaya.

Jangka Jayabaya disusun dalam bentuk tembang (macapat) dan gancaran (prosa) serta aforisma-aforisma singkat dan padat sehingga mudah dihafalkan. Dalam ramalannya, Jayabaya mengatakan Pulau Jawa terbagi atas tiga jaman besar, yakni jaman Kali Swara atau zaman permulaan yang lamanya 700 tahun matahari atau 721 berdasarkan hitungan tahun bulan.

Kemudian zaman Kaliyoga atau jaman pertengahan yang lamanya juga 700 tahun dan jaman Kali Sangsara atau jaman akhir yang lamanya juga 700 tahun terhitung sejak 1401 hingga 2100.

Selain tentang pembagian zaman di Pulau Jawa, Peneliti asing George Quinn dalam "Wali Berandal Tanah Jawa" menulis, terdapat dua bait ikonik dalam Jangka Jayabaya. “Tersembunyi dalam kedua bait itu, Soekarno pun tampil sekilas,” tulisnya.

Topik Menarik