Diajukan Sejak 2009, AMAN Desak DPR dan Presiden Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

Diajukan Sejak 2009, AMAN Desak DPR dan Presiden Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

Berita Utama | sindonews | Sabtu, 16 Maret 2024 - 15:35
share

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan komunitas Masyarakat Adat mendesak Presiden dan DPR segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat. Pasalnya, pengajuan RUU Masyarakat Adat sudah dilakukan sejak 15 tahun atau sejak 2009.

Namun RUU ini tak kunjung ditetapkan menjadi UU. Atas hal tersebut, AMAN dan komunitas Masyarakat Adat menggugat Presiden dan DPR RI untuk membentuk UU Masyarakat Adat.

"Gugatan ini dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan tersebut bertujuan agar DPR dan Presiden RI melaksanakan kewajibannya memberikan pengakuan dan perlindungan nyata terhadap Masyarakat Adat," kata Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, Sabtu (16/3/2024).

"Apa artinya situasi yang terjadi saat ini? Kami (masyarakat adat) terusir dan tersingkir dari tanah leluhur yang diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun lalu, jauh sebelum negara ini terbentuk. Fakta tersebut tidak dipandang serius oleh negara, malah diperumit dengan persyaratan yang pada faktanya berimbas minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap kami," tambah Rukka.

Sebagaimana diketahui, proses gugatan Masyarakat Adat kepada DPR dan Presiden untuk segera membentuk UU Masyarakat Adat telah memasuki tahap pembuktian. Dalam proses pembuktian, turut dihadirkan bukti surat, saksi fakta dan juga keterangan ahli dari semua pihak untuk didengar oleh Majelis Hakim.

Sebagai pihak penggugat selain AMAN, permohonan gugatan berasal dari komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai. Sedangkan saksi fakta berasal dari Masyarakat Adat Dayak Iban, Semunying Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, perwakilan Komunitas Dayak Tomun, Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah, Perwakilan Masyarakat Adat Rendubutowe, Nagekeo NTT, perwakilan Masyarakat Adat dari Manggarai NTT, dan pendamping komunitas Masyarakat Adat O Hongana Manyawa Tobelo Dalam dari Maluku Utara.

"Apa yang kami alami, lihat, dengar dan ketahui sebagai saksi penting untuk didengar di muka persidangan serta publik agar semua pihak mengetahui dan memahami bahwa konteks Masyarakat Adat bukanlah perihal sederhana. Mengakui atau menghormati Masyarakat Adat bukan saja sekadar menghargai tarian, makanan, motif pakaian. Tidak juga dengan menggunakan pakaian-pakaian adat dalam upacara kenegaraan semata," ujarnya.

"Lebih dari itu, yang kami tuntut dan seharusnya dilakuan negara adalah termasuk di antaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri kami sendiri. Pengakuan dan perlindungan ini tidak saja untuk keberlangsungan hidup kami sebagai Masyarakat Adat, tetapi juga menyangkut masa depan Indonesia yang beragam," tambahnya.

Hermina Mawa atau yang akrab dipanggil Mama Mince, seorang perempuan pejuang hak Masyarakat Adat dari Rendutowe, Nagekeo, NTT menceritakan, bagaimana dirinya mengalami tindakan represif dari oknum aparat.

Dirinya mengaku, sempat diborgol ketika dirinya dan puluhan perempuan adat mencoba mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang diduga hendak diambil secara paksa karena alasan proyek strategis nasional berupa pembangunan waduk.

Dirinya sama sekali tidak menolak inisiatif pembangunan pemerintah tersebut, akan tetapi lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat terutama menyangkut dan kepastian hidup mereka.

"Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Kami sebagai perempuan merasa dinodai martabat karena mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami. Tanah ulayat dibagi secara berkeadilan dan merata di dalam komunitas karena tanah tersebut dipastikan pusat kehidupan tiap-tiap orang," tutur Mama Mince.

Serupa, saksi fakta lainnya yaitu Effendi Buhing dari Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah menceritakan bagaimana dirinya ditahan paksa dengan pengerahan oknum aparat secara berlebihan. Penahanan ini pun dikatakannya dengan cara melawan prosedur.

Dirinya mengaku menjadi target penangkapan atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu dirinya menjabat sebagai kepala desa.

"Tanah merupakan ibu kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui undang-undang, menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?" tanya Effendi Buhing.

Topik Menarik