Jejak Peradaban ‘Gunung Besi’ di Luwu hingga Dilirik Kerajaan Majapahit
FAJAR.CO.ID Sejak dahulu, Tanah Luwu, Sulawesi Selatan, sudah dikenal sebagai salah satu penghasil besi terbesar.
Peradaban besi di Sulawesi memiliki sejarah yang panjang selama ribuan tahun. Dari penelitian Arkeologi Prof Peter Bellwood menunjukkan bukti-bukti adanya kegiatan pengolahan besi di Sulawesi di masa prasejarah seperti di Leang Burung Maros dan Pangkep.
Penelitian tersebut telah mengungkapkan sisa-sisa peleburan besi dari masa 500 SM.
Ini juga menggambarkan pentingnya Sulawesi dalam sejarah perkembangan peradaban dan kegiatan ekonomi di Nusantara kala itu.
Kolektor Benda Pusaka, Asrul Ahmad, mengatakan, mengklaim tanpa pembuktian secara faktual susah.
Kita klaim, berarti kita harus buktikan. Coba lihat. Kalau ada nikelnya, saya mau tanya, di daerah mana ada nikelnya. Tapi kalau di Sulawesi itu 2,0 persen itu nikelnya terbaik, tuturnya melalui YouTube Mitologi Bumi Sulawesi yang tayang 17 Juli 2023.
Dia mengatakan, semua besi ini mengandung ferronikel. Karena kalau tidak ada nikel, itu pusaka tidak bisa bertahan kalau hanya menggunakan iron.
Adapun yang mengaku ini pusaka dari sini, dari sini, itu nda ada masalah. Tapi coba kita lihat. Sekarang kan faktanya jelas. Seluruh dunia melirik ini. Nikel ini nda akan habis kalau di tanah Sulawesi. Karena kita ini penuh dengan gunung purba. Jadi arkeolog bisa mendeteksi ini, nikel yang paling baik di Tanah Luwu, tuturnya.
Bukan cuman nikel, semua material emas ada di Tanah Luwu Sulawesi. Papua cuman 1 gunung emas, Jayawijaya. Sulawesi berapa. Situs leang-leang juga menjelaskan tentang itu, sambungnya.
Dikutip Buku Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 tulisan Leonard Y Andava, Luwu merupakan kerajaan pertama yang dikenal di Sulawesi Selatan sejak masa sejarah dan banyak dianggap sebagai cikal bakal peradaban Bugis.
Masih terdapat beberapa kontroversi mengenai kapan tepatnya masa dominasi Luwu.
Salah satu sumber berspekulasi bahwa masa keemasan Luwu dimulai pada abad ke-10 (Braam-Morris 1889:546), dan ilmuan setempat menyatakan bahwa lirik epos besar, I La Galigo, diciptakan di Luwu pada masa puncak kekuasaannya di sekitar abad ke-9.
Meski awal supremasi Luwu masih diperdebatkan, Luwu dianggap sebagai kekuatan besar pada permulaan abad ke-16.
Mengapa Luwu adalah konfederasi/kerajaan pertama yang berevolusi di Sulawesi Selatan masih sulit untuk dijelaskan.
Pusat Luwu kuno disebutkan berada di daerah pantai antara Wotu dan Malili (Esser 1961:385).
Sejarawan setempat, yang mendapat pengaruh kuat dari cerita I La Galigo, cenderung menempatkan ibukota Luwu paling awal di sekitar Sungai Cerekang.
Mengikuti tradisi I La Galigo, sejarawan-sejarawan ini juga berbicara tentang gunung besi di daerah ini, yang hingga kini pun merupakan tempat kandungan nikel dalam jumlah besar, yang berpusat di Malili.
Sejak dahulu besi diperoleh dekat Danau Matano di bagian tenggara Sulawesi Tengah yang dulunya pernah menjadi milik Luwu. Cerekang adalah sungai kedua terbesar di antara sejumlah sungai yang membelah daerah pegunungan Luwu. Meski Sungai Cerekang telah mengalami pengendapan yang cukup berarti selama berabad-abad, hingga abad ke-19 perahu besar sekalipun masih dapat berlayar ke hulu selama beberapa hari tanpa mengalami kesulitan. Dataran yang dapat ditemui hanya berada di pantai sebelah utara dan barat laut di Teluk Bone yang membentang masuk ke pedalaman sepanjang beberapa kilometer.
Sebagian besar daratan di sepanjang pantai berawa-rawa dan tenggelam saat pasang naik (BraamMorris 1889:501-2).
Lokasi ibukota Luwu kuno di dekat Sungai Cerekang agaknya tidak hanya mengeksploitasi dataran yang sedikit di Luwu tapi juga melengkapi dirinya dengan jalur air ke arah pedalaman.
Jika cerita yang berasal dari tradisi lokal benar dalam hal gunung besi tadi, yang kemungkinan terletak di daerah sekitar Danau Matano, Sungai Cerekang bisa jadi merupakan jalur yang ideal untuk mengangkut barang berat ke daerah hilir, yakni ke ibukota di daerah pantai.
Pada masa lalu, pemilikan terhadap logam ini tentu merupakan faktor sangat penting untuk peperangan dan dalam pengembangan perdagangan antara Luwu dengan daerah-daerah luar.
Besi dari daerah-daerah Luwu dan Toraja disebut mengandung banyak nikel, sebuah campuran yang menurut orang Jawa adalah ideal untuk membuat keris, senjata yang sangat dihormati di banyak kelompok di Nusantara.
Dalam Nagarakertagama, sebuah teks dari abad ke-13 dari kerajaan Majapahit, Luwu disebutkan sebagai salah satu tanah jajahannya.
Meski tidak ada kebulatan suara di antara para ilmuwan apakah Majapahit benar-benar menjadi kerajaan atasan di wilayah-wilayah yang dinyatakan sebagai kerajaan bawahan dalam Nagarakertagama, namun fakta bahwa Luwu ada di antara kerajaan bawahan yang disebutkan menandakan bahwa Jawa tahu keberadaan daerah ini di Sulawesi Selatan (Pigeaud 1960, III:17).
Jadi, tidak sulit menetapkan asumsi bahwa Luwu telah menemukan pasar untuk besinya di Majapahit. Kemakmuran dari perdagangan besi ini dan akses terhadap gagasan-gagasan dari peradsban Majapahit yang telah maju bisa jadi memberi dasar terhadap pengaruh awal Luwu di Sulawesi Selatan.
Hubungan Luwu dengan dunia luar tidak sebatas Jawa. Sawerigadin penguasa Luwu keturunan dewa yang paling terkenal dalam I La Galligo disebutkan melakukan perjalanan jauh ke daerah-daerah yang telah diidentifikasi sebagai Ternate, Bima, Jawa, dan Pantai Coromandel di Indi (Eerdmans [tanpa tahun]: 51; Kern 1954).
Sebuah aturan maritim kerajaan Malaka yang berasal dari abad ke-15 menyebutkan pedagang dari Sulawesi Selatan berlayar ke Sumbawa, Singapura, Johor, Malaka, Perak, Aceh dan Timor (Patunru 1969:10; Winstendt 1945:25-26).
Apapun yang menyebabkan mencuatnya sebuah kerajaan, Luwu telah secara luas dikenal sebagai peradaban Bugis-Makassar pertama yang muncul di Sulawesi Selatan.
Sayangnya, sangat sedikit yang dapat diketahui tentang sejarah awal Luwu. Rekonstruksi manapun tentang masa lalu hanya bersandar pada sumber-sumber yang ada pada I La Galigo, dan bukti ini sendiri amat meragukan dan sulit dibuktikan. (selfi/fajar)






