Hasil Riset: Kelas Menengah Sudah Ogah Flexing, Kini Cari Ketenangan Hidup
JAKARTA, iNews.id - Hasil riset yang dilakukan Hakuhodo International Indonesia melalui Sei-katsu-sha Lab menemukan perubahan perilaku kelas menengah yang mulai realistis dan meninggalkan kebiasaan flexing atau pamer di media sosial.
Dalam studi berjudul 'Navigating the In Between - Living as Indonesian Middle Class', terungkap bahwa ketidakpastian ekonomi menjadi pendorong utama perubahan cara pandang kelas menengah.
Kelas menengah yang dulu dikenal ambisius dan selalu berlomba menaiki tangga sosial-ekonomi, kini mulai berpijak pada kenyataan. Mimpi untuk maju tetap ada, tetap disertai sikap yang lebih tenang dan realistis.
Sebanyak 89 persen responden menyatakan tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan, menunjukkan daya tahan dan kemampuan beradaptasi tinggi terhadap tantangan hidup. Banyak di antara mereka bahkan menemukan makna di balik kesulitan yang pernah dialami, menjadikannya kekuatan pribadi.
Pergeseran nilai juga terlihat pada prioritas diri. Apabila dulu fokus mereka adalah 'look good' atau tampil menarik, kini berubah menjadi 'feel good', mencari ketenangan dan keseimbangan hidup tanpa perlu validasi sosial.
Dukungan sosial pun turut mengalami perubahan. Sebanyak 72 persen responden mengaku memiliki jaringan sosial yang kuat di luar keluarga, menandakan munculnya bentuk baru dari 'asuransi sosial' berbasis komunitas.
Studi ini juga mencatat pergeseran makna kesuksesan di kalangan kelas menengah. Kini, kesuksesan tidak lagi diukur dari harta dan pencapaian finansial, tetapi dari kemampuan bertahan, berkembang, serta menjaga martabat dan kepercayaan diri di tengah situasi sulit.
Sebanyak 57 persen responden berencana memulai usaha sendiri, 42 persen ingin memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar, dan 38 persen berfokus meningkatkan pendidikan serta keterampilan pribadi.
Menariknya, banyak responden mengaitkan pandangan baru tentang kesuksesan ini dengan nilai yang menekankan pentingnya martabat dan empati. Mereka merasa lebih bahagia bukan karena menerima bantuan, melainkan karena bisa membantu orang lain.
Selain itu, semangat berbagi juga meningkat. Persentase kelas menengah yang menyisihkan 10 persen pendapatan untuk zakat atau donasi naik dari 10 persen pada 2024 menjadi 15 persen pada 2025.
Dalam hal konsumsi, perubahan pola pikir kelas menengah juga terlihat jelas. Mereka kini berbelanja bukan lagi untuk menunjukkan status sosial, melainkan untuk menjaga kenyamanan dan kesehatan mental.
Sebanyak 90 persen responden menilai kualitas produk sebagai alasan utama loyalitas terhadap suatu merek, mencerminkan bahwa menghargai kualitas berarti juga menghargai diri sendiri.
Bagi mereka, belanja menjadi bentuk self-reward atau terapi emosional. Seorang responden bahkan menyebut sepeda motornya sebagai 'penyemangat hidup' simbol keberanian untuk menjalani hari-hari penuh tantangan.
Selain itu, 70 persen responden merasa terhubung secara emosional dengan merek yang mampu meningkatkan suasana hati mereka. Meski anggaran terbatas, 61 persen tetap rutin memberi hadiah kecil untuk diri sendiri, seperti membeli hobi atau menikmati hiburan, sebagai cara menjaga keseimbangan mental di tengah ketidakpastian.
"Kelas menengah sedang berada di pusaran perubahan, mereka membawa mimpi yang mendorong Indonesia untuk maju sekaligus menanggung tekanan yang terbentuk oleh zaman," ujar Devi Attamimi, Group CEO Hakuhodo International Indonesia dalam jumpa pers, Kamis (6/11/2025).
Sebelumnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah kelas menengah di Indonesia menyusut, semula berjumlah 57,3 juta menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Padahal, kelas menengah memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data BPS yang sama, kombinasi segmen kelas menengah (middle class) dan segmen menuju ke kelas menengah, mencakup 66,35 persen dari total populasi dan berkontribusi terhadap 81,49 persen konsumsi domestik Indonesia.
Sementara Rian Prabana, Senior Director of Strategy Hakuhodo International Indonesia and Head of Sei-katsu-sha Lab, menuturkan, studi ini memberikan warna dan perspektif baru tentang kelas menengah di mana mereka terus tumbuh, tanpa disadari.
Mereka tidak lagi sekadar mencari aspirasi, tetapi mencari keseimbangan. Brand perlu memahami sisi emosional ini yang sering tidak tergambarkan oleh angka statistik.
"Dengan membawa pandangan baru ini, marketers dapat membangun hubungan yang lebih relevan dan memberikan peran penting dalam pertumbuhan mereka," ujar Rian Prabana.









