Banjir Jakarta: Sejarah Panjang, Solusi Mandek dan Warisan Masalah yang Tak Pernah Usai

Banjir Jakarta: Sejarah Panjang, Solusi Mandek dan Warisan Masalah yang Tak Pernah Usai

Terkini | inews | Sabtu, 12 Juli 2025 - 11:55
share

JAKARTA, iNews.id -  Banjir Jakarta bukanlah fenomena baru. Bahkan, sejak zaman Kerajaan Tarumanegara hingga era modern, ibu kota Indonesia ini sudah akrab dengan genangan air, luapan sungai, dan proyek penanggulangan yang silih berganti. Lagu almarhum Benyamin Sueb yang menyebut “Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk,” seolah jadi narasi lintas generasi yang tak pernah kehilangan konteks.

Faktanya, banjir di Jakarta adalah warisan sejarah. Bukan hanya akibat cuaca ekstrem atau curah hujan tinggi, melainkan gabungan dari banyak faktor: drainase buruk, alih fungsi lahan, pendangkalan sungai, hingga persoalan sosial-politik.

Sejarah Banjir Jakarta: dari Purnawarman hingga VOC

Bencana banjir di Jakarta tercatat sudah terjadi sejak abad ke-5 Masehi. Di masa Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman menggagas kanal sepanjang 12 kilometer untuk mengendalikan banjir dan mengairi sawah. Proyek ini diabadikan dalam Prasasti Tugu, sebuah bukti bahwa sejak dulu Jakarta (dulu bagian dari wilayah Tarumanegara) sudah bersahabat dengan banjir.

Saat era kolonial Belanda, Batavia—nama lama Jakarta—juga menjadi langganan banjir. Meski Belanda membangun kanal meniru kota-kota di Eropa, tiga banjir besar tetap tercatat: 1872, 1893, dan puncaknya tahun 1918. Hujan selama 22 hari kala itu membanjiri kawasan Lapangan Banteng hingga Glodok, bahkan menjebol bendungan Sungai Grogol.

Proyek besar seperti Banjir Kanal Barat pun dimulai oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan tokoh insinyur Herman van Breen di baliknya. Di Bogor, dia juga membangun Bendungan Katulampa untuk mengatur debit air ke hilir.

Dari Orde Lama hingga Reformasi: Proyek Besar Tapi Tak Tuntas

Masa kemerdekaan juga tak lepas dari persoalan banjir. Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir Jakarta (Kopro Banjir) tahun 1965. Mereka membangun waduk Pluit, waduk Grogol, hingga sistem polder dengan pompa.

Namun, semua itu tumbang saat banjir besar melanda Jakarta tahun 1976 dan 1979. Sistem polder kolaps. Ribuan warga mengungsi. Tahun 1996, Jakarta kembali tenggelam. Drainase buruk, alih fungsi lahan, dan pertumbuhan permukiman di hulu sungai memperparah kondisi.

Normalisasi vs Naturalisasi: Solusi atau Komoditas Politik?

Di era reformasi, berbagai gubernur DKI Jakarta mencoba solusi baru.

  • Sutiyoso (2003) mulai membangun Banjir Kanal Timur (BKT).
  • Fauzi Bowo (2007–2012) melanjutkan proyek BKT meski harus menggusur ribuan rumah warga.
  • Joko Widodo (2012–2014) memulai normalisasi Sungai Ciliwung, memperlebar dan mengeruk sungai agar daya tampung air meningkat. Proyek ini dilanjutkan oleh Ahok dengan tambahan sodetan Ciliwung ke BKT. Namun terkendala pembebasan lahan di Bidaracina dan dinamika politik.
  • Anies Baswedan (2017–2022) membawa pendekatan berbeda: naturalisasi sungai. Namun, konsep ini kerap dikritik karena tidak terlihat implementasinya di lapangan. Beton normalisasi dari era sebelumnya tetap utuh.

Semua pendekatan ini, baik normalisasi sungai maupun naturalisasi sungai, belum sepenuhnya efektif. Banjir tetap datang setiap musim hujan, bahkan dengan label baru: “air kiriman dari Bogor.”

Proyek Terkini: Sodetan Ciliwung dan Giant Sea Wall

Di bawah Pj Gubernur Heru Budi Hartono, proyek-proyek pengendalian banjir dilanjutkan tanpa banyak gembar-gembor. Beberapa pencapaian antara lain:

  • Penyelesaian sodetan Ciliwung-BKT.
  • Normalisasi sungai di luar Ciliwung.
  • Pembangunan tanggul pantai atau Giant Sea Wall untuk mengantisipasi banjir rob, mengingat permukaan tanah Jakarta terus turun.

Namun, apakah semua ini cukup? Kenapa Jakarta Masih Sering Kebanjiran?

Beberapa penyebab banjir Jakarta yang masih jadi PR besar:

  • Pendangkalan sungai akibat sedimentasi dan sampah.
  • Penyusutan daerah resapan air karena alih fungsi lahan.
  • Pembangunan kawasan hulu yang tidak terkendali.
  • Sistem drainase Jakarta yang tidak terintegrasi dengan baik.
  • Selain itu, keterlambatan pembangunan bendungan di wilayah selatan dan timur Jakarta yang berfungsi menahan air sebelum masuk ke ibu kota, juga memperparah kondisi.

Apakah Jakarta Bisa Bebas dari Banjir?

Bisa. Tapi tidak dengan solusi jangka pendek. Butuh kerja kolaboratif antarpemerintah (pusat dan daerah), pemanfaatan teknologi pengendalian banjir, serta perubahan kebijakan tata ruang yang berpihak pada lingkungan.

Kita memang harus realistis, bahkan Belanda pun gagal mengatasi banjir Batavia di masa lalu. Tapi bukan berarti Jakarta tidak bisa belajar dari sejarah.

Banjir Jakarta bukan sekadar fenomena alam, tapi warisan sejarah, kesalahan tata kota, dan ketidaktegasan kebijakan. Dari kanal Raja Purnawarman, proyek VOC, polder Sukarno, hingga kanal Sutiyoso dan sodetan Jokowi, semuanya menunjukkan satu hal: Jakarta selalu mencoba, tapi belum pernah benar-benar berhasil.

Solusi banjir Jakarta bukan hanya membangun kanal, tapi juga membangun kesadaran. Bahwa mengatasi banjir bukan urusan pemerintah semata, tapi juga kita semua.

Topik Menarik