Bolehkah Seorang Suami Melarang Istrinya Pergi Haji?
JAKARTA - Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang telah memenuhi syarat kemampuan. Namun, persoalan mengenai apakah seorang suami memiliki hak untuk melarang istrinya pergi menunaikan ibadah haji kerap menjadi perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat.
Di satu sisi, terdapat pandangan bahwa izin suami merupakan bagian dari tatanan rumah tangga dan keharmonisan keluarga. Di sisi lain, ada pendapat yang menekankan bahwa kewajiban haji bersifat individual dan tidak boleh dihalangi oleh keputusan sepihak, meskipun dalam konteks perkawinan.
1. Hukum Haji
Dalam konteks kewajiban haji, Allah SWT berfirman dalam Alquran:
"…وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا…"
Artinya: "Haji itu adalah kewajiban bagi Allah kepada manusia, bagi siapa saja yang mampu mencapainya." (QS. Ali Imran: 97).
Ayat ini menegaskan bahwa haji merupakan ibadah yang wajib bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat seperti kemampuan fisik, finansial, dan keamanan perjalanan. Dengan demikian, apabila seorang istri sudah memenuhi kriteria tersebut, kewajiban untuk menunaikan haji bersifat individual dan tidak seharusnya terhalang oleh pertimbangan pribadi di ranah rumah tangga.
2. Pandangan Ulama
Dari informasi yang dihimpun, sebagian ulama, termasuk Ibnu Qudamah rahimahullah dalam karyanya Al-Mughnī, menjelaskan bahwa suami tidak berhak secara mutlak menghalangi istri untuk melaksanakan haji apabila istri telah memenuhi semua syarat syar'i. Dalam pandangan ini, larangan yang diberikan suami hanya dapat diterima jika didasari oleh kekhawatiran yang sah, seperti isu keamanan, kesehatan, atau tanggung jawab pengurusan rumah tangga.
Namun, apabila keberangkatan untuk menunaikan haji telah menjadi kewajiban yang melekat pada seorang muslim, larangan tersebut tidak boleh menghalangi hak istri untuk memenuhi perintah Allah SWT.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Setiap Muslim yang mampu wajib menunaikan ibadah haji."
Meskipun hadits ini tidak secara eksplisit membahas perihal izin dalam perkawinan, prinsip yang terkandung di dalamnya menegaskan bahwa kewajiban ibadah haji merupakan hak dan tanggung jawab individu.
Oleh karena itu, jika istri telah memenuhi persyaratan haji, seharusnya ia dapat melaksanakan ibadah tersebut demi mendekatkan diri kepada Allah, terlepas dari keberatan suami yang tidak disertai alasan yang dapat dibenarkan syar'i.
3. Suami Istri Saling Menghormati
Di sisi lain, dalam konteks hubungan pernikahan, suami dan istri hendaknya saling menghormati dan berkomunikasi secara terbuka. Suami diharapkan memahami bahwa keinginan istri untuk menunaikan ibadah haji merupakan manifestasi dari keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Sementara itu, istri pun sebaiknya mengutarakan niatnya dengan bijaksana dan mencari solusi bersama, sehingga tidak terjadi gesekan yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga.
Perbedaan pendapat mengenai hal ini mencerminkan kekayaan ijtihad dalam hukum Islam. Meskipun ada pandangan yang menekankan pentingnya izin suami sebagai bagian dari tata tertib keluarga, pada akhirnya kewajiban ibadah haji bagi yang mampu adalah perintah langsung dari Allah yang harus dipenuhi oleh setiap muslim yang mampu.
Dengan demikian, apabila keberangkatan haji telah menjadi kewajiban syar'i bagi seorang istri, larangan semata dari suami tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan kewajiban tersebut.
Kesimpulannya, dalam ranah syariat, kewajiban haji bersifat individual dan merupakan perintah Allah SWT kepada setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Seorang suami sebaiknya mendukung istri dalam menunaikan ibadah haji, dengan tetap mengedepankan dialog dan mempertimbangkan kepentingan keluarga.
Jika istri telah memenuhi syarat untuk berhaji, maka haknya untuk menunaikan kewajiban tersebut tidak dapat dihalangi semata-mata karena keberatan suami, kecuali jika terdapat alasan syar'i yang sangat mendesak terkait keamanan dan kesejahteraan rumah tangga. Wallahualam