Putin, Xi dan Modi Bertemu Pekan Ini, Bahas Pasokan Minyak di Tengah Tekanan AS
Presiden Rusia Vladimir Putin mendapat kesempatan langka untuk bertemu dua mitra energi terpentingnya, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Presiden China Xi Jinping, akhir pekan ini. Pertemuan ini berlangsung di tengah meningkatnya tekanan internasional dan kebutuhan Rusia untuk mengamankan pasar ekspor energi yang stabil.
Menurut laporan Bloomberg, pertemuan tersebut digelar di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang dimulai Minggu di Kota Pelabuhan Tianjin, China. Forum ini mempertemukan para pemimpin lebih dari selusin negara dan menjadi ajang pertemuan tatap muka pertama Putin, Modi, dan Xi sejak KTT di Rusia tahun lalu.
Bagi Putin, pembicaraan dengan Modi dan Xi memiliki arti strategis. Kepada India, Moskow berharap New Delhi tetap mempertahankan tingkat pembelian minyak mentah Rusia meski mendapat tekanan keras dari Amerika Serikat. Sementara dengan Beijing, Kremlin berupaya mendorong persetujuan pembangunan jalur pipa gas Power of Siberia 2 yang telah lama dibicarakan, guna menggantikan sebagian ekspor gas ke Eropa yang terhenti akibat sanksi Barat.
Baca Juga:Lebih 50 Negara Antre Gabung BRICS, Ancam Kekuasaan AS di Panggung Global
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, ketiga negara ini membentuk semacam "segitiga energi" yang menguntungkan. Menurut Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, sepanjang 2023 lebih dari separuh ekspor energi Rusia dibeli China dan India. "Hubungan ini menjadi kunci bagi Kremlin karena industri minyak dan gas tetap menjadi sumber utama pendapatan ekspor Rusia," ujar Alexander Gabuev, Direktur Carnegie Russia Eurasia Center.Namun, mempererat kerja sama itu bukan tanpa tantangan. India kerap mencurigai agenda China di kawasan, sementara Beijing sendiri berhati-hati agar tidak terlalu bergantung pada satu pemasok energi. “Beijing harus mencari cara untuk menarik Delhi, dan Moskow pun perlu memastikan kerja sama ini menguntungkan India,” kata Ja Ian Chong, akademisi dari Universitas Nasional Singapura.
Data Badan Energi Internasional menunjukkan, ekspor harian minyak Rusia ke China mencapai 2,1 juta barel, dan 1,9 juta barel ke India sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini. Namun, pembelian India kini berada dalam tekanan. Pemerintahan Amerika Serikat (AS) menaikkan tarif hingga 50 persen terhadap produk India sebagai sanksi atas pembelian minyak murah dari Rusia.
Meski demikian, India belum sepenuhnya menghentikan pembelian. Mulai Oktober, kilang-kilang India berencana mengimpor 1,4 hingga 1,6 juta barel per hari, turun dari rata-rata 1,8 juta barel pada semester pertama tahun ini. Penurunan ini dapat mengurangi keuntungan India yang selama ini menghemat hampir USD10 per barel dibandingkan membeli minyak Arab Saudi.
Di sisi lain, Rusia semakin gencar menawarkan gas alam cair (LNG) ke China, termasuk dari fasilitas Arctic LNG 2 yang terkena sanksi Amerika. Pekan lalu, kapal tanker pertama dari proyek itu berhasil merapat di pelabuhan China. Proyek tersebut menjadi kunci rencana Rusia untuk melipatgandakan ekspor LNG melalui jalur laut pada 2030, menggantikan penurunan ekspor pipa ke Eropa.
Baca Juga:Serangan Drone Laut Rusia Tenggelamkan Kapal Perang UkrainaSementara itu, rencana pembangunan jalur pipa Power of Siberia 2 masih terkatung-katung. Jalur sepanjang 2.600 kilometer ini digadang-gadang dapat mengalirkan 50 miliar meter kubik gas per tahun dari Semenanjung Yamal ke China, menggantikan sebagian pasar Eropa. Namun, Beijing masih enggan memberikan komitmen penuh karena kebutuhan gas yang melambat, meningkatnya produksi domestik, dan berkembangnya pasar LNG yang lebih fleksibel.
"China tidak ingin terlalu bergantung pada satu pemasok," kata Erica Downs, peneliti di Center on Global Energy Policy Universitas Columbia. Menurutnya, meski proyek itu belum mendapat lampu hijau, situasi global dapat mendorong Beijing mempertimbangkan kembali, terutama jika mendapat tawaran harga yang menguntungkan.
Pertemuan di Tianjin ini diperkirakan tidak akan menghasilkan terobosan besar, tetapi menjadi sinyal kuat bahwa ketiga negara tetap menjaga kerja sama energi di tengah dinamika geopolitik global.









