Dua Bupati Wilayah Mataram Dipecat Sultan karena Membangkang ke VOC Belanda

Dua Bupati Wilayah Mataram Dipecat Sultan karena Membangkang ke VOC Belanda

Nasional | sindonews | Senin, 18 Agustus 2025 - 07:59
share

Perjanjian Giyanti membuat perubahan besar di kehidupan di Pulau Jawa terutama di bagian tengah selatan. Perjanjian antara VOC Belanda dengan Kerajaan Mataram yang diteken setelah kalah perang itu membuat kekuasaan Mataram terbatas.

Beberapa wilayah yang sebelumnya masuk kekuasaan Mataram harus dilepaskan. Di Madiun, perjanjian VOC Belanda dengan Mataram membuat pusat pemerintahan bergeser. Pergeseran ini konon terjadi dari Istana Wonosari ke Istana Kranggan bermula dari penunjukan Raden Ronggo Prawirodirjo I sebagai Bupati Madiun oleh Sultan Hamengkubuwono I pada akhir 1750-an.

Hal tersebut tidak lepas dari konteks politik Jawa setelah Perang Giyanti disusul perjanjiannya, serta bertahtanya Sultan Hamengkubuwono I pada 1749 - 1972. Pada periode awal itu, muncul masalah yang melibatkan Bupati Mangkudipuro dan Bupati Sawoo, yang kini menjadi Ponorogo.

Baca juga: Taktik Sandiwara Perang Mataram dan Pasukan Untung Surapati Kelabui VOC Belanda

Dikutip dari "Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta : Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun, sekitar 1779 - 1810", masalah itu bermula dari usaha pemboikotan yang dilakukan oleh kedua bupati atas kewajiban - kewajiban yang dikenakan oleh VOC. Tindakan kedua bupati tersebut mengharuskan mereka berhadapan dengan Sultan Hamengkubuwono I. Sebab, usai Perjanjian Giyanti, Madiun merupakan bagian wilayah Kesultanan Yogyakarta. Memang, kukuban ing sak wetane Gunung Lawu atau wilayah tertutup yang berada di sebelah timur Gunung Lawu, ini dari masa ke masa senantiasa jadi momok menakutkan bagi para penguasa keraton - keraton Jawa tengah-selatan.

Baca juga: 5 Komjen Pol Dimutasi Kapolri Awal Agustus 2025, Ini Jabatan Strategis yang Ditempatinya

Medan tempuh yang cukup sulit antara mancanegara timur dan ibu kota keraton memberikan semacam perasaan bebas merdeka kepada para bupati kawasan timur, khususnya pejabat tinggi yang membawahi daerah - daerah paling timur yang berkedudukan di Madiun. Hal tersebut membuat keluarga bupati berpengaruh di wilayah yang jarang penduduknya ini mengembangkan rasa kedaerahan yang kuat.

Rumitnya masalah terjadi ketika Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan Bupati Mangkudipuro untuk mengatasi pembangkangan Bupati Sawoo. Tugas yang diberikan oleh Sultan Hamengkubuwono I menyisakan masalah bagi Bupati Mangkudipuro karena dia memiliki hubungan dekat dengan Bupati Sawoo, khususnya pada Distrik Arjowinangun, Ponorogo.

Bupati Mangkudipuro menjalankan perintah Sultan Hamengkubuwono I dengan setengah hati. Dia merancang penyergapan pura-pura terhadap Bupati Sawoo dengan prajurit yang ada. Namun, nasib buruk telah menjadi suratan takdir bagi Mangkudipuro.

Pada penyergapan pura-pura tersebut, dia mendapatkan luka di punggungnya, sehingga memilih mundur bersama pasukannya kembali ke Madiun. Peristiwa itu memunculkan kemarahan Sultan Hamengkubuwono I sehingga Mangkudipuro langsung dipecat dan dipindahtugaskan sebagai bupati di Caruban. Keputusan ini dirasa jadi pilihan terbaik bagi Mangkudipuro karena dia masih terhitung keluarga dekat Keraton Surakarta.

Topik Menarik