Ketika Rusia Menyesal Menjual Murah Alaska kepada AS
Alaska menjadi tempat perundingan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Jumat (15/8/2025) untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina. Wilayah itu dulunya milik Rusia, namun telah dijual murah kepada Amerika.
Pertemuan penting kedua pemimpin tersebut akan berlangsung di Joint Base Elmendorf-Richardson, negara bagian Alaska, AS. Menjelang pertemuannya dengan Putin, Trump menyatakan keyakinannya bahwa Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky kini siap untuk mengupayakan perdamaian.
"Saya pikir Presiden Putin akan mewujudkan perdamaian dan Presiden Zelensky akan mewujudkan perdamaian," kata Trump kepada para wartawan, sebagaimana dikutip dari Asian News International.
Baca Juga: Putin dan Trump Berunding, Kapal Perang AS-Rusia-China Kepung Alaska
"Kita akan mengadakan pertemuan besar. Pertemuan ini, menurut saya, akan sangat penting bagi Rusia, dan akan sangat penting bagi kita, dan yang terpenting bagi kita hanyalah bahwa kita akan menyelamatkan banyak nyawa," papar Trump. "Kita akan bertemu dengan Presiden Putin. Saya pikir ini akan menjadi pertemuan yang baik, tetapi pertemuan yang lebih penting adalah pertemuan kedua kita. Kita akan bertemu dengan Presiden Putin, Presiden Zelensky, saya, dan mungkin kita akan membawa serta beberapa pemimpin Eropa, mungkin juga tidak," ujarnya.
"Kita lihat saja nanti. Dan saya pikir Presiden Putin akan berdamai. Saya pikir Presiden Zelensky akan berdamai. Kita lihat saja apakah mereka bisa akur. Dan jika mereka bisa, itu akan luar biasa," imbuh dia.
Sejarah Rusia Jual Murah Alaska kepada AS
Pada tahun 1867, Rusia di bawah Tsar Alexander II yang dikenal picik, menjual Alaska yang kaya minyak dan gas seharga USD7,2 juta kepada AS. Harga itu setara Rp116,4 miliar berdasarkan kurs saat ini.Ratusan tahun berlalu, kaum nasionalis Rusia kini menyesalkan penjualan Alaska tersebut.
“Jika Rusia menguasai Alaska saat ini, situasi geopolitik dunia akan berbeda,” ujar Sergey Aksyonov, politisi Rusia yang pernah menjadi kepala wilayah Crimea.
Rakyat Rusia mulai menetap di Alaska pada tahun 1784, dan dari sana mereka mendirikan pos-pos perdagangan dan melakukan pekerjaan misionaris. Pada tahun 1860-an, Rusia telah kalah dalam Perang Crimea dan berada dalam posisi keuangan yang sulit. Tsar Alexander II khawatir kehilangan wilayah Alaska tanpa kompensasi apa pun dan akhirnya memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan AS, yakni menjual wilayah tersebut.
Andrei Znamenski, seorang profesor sejarah di Universitas Memphis, mengatakan kepada New York Times bahwa seruan untuk merebut kembali Alaska tidak terbatas pada kaum ekstremis Rusia.
"Ini adalah episode yang sangat menguntungkan bagi kaum nasionalis, yang ingin Rusia berekspansi dan mengeksploitasinya. Ini sesuai dengan retorika nasional: Lihat bagaimana Amerika memperlakukan kami," ujarnya.
Para pemimpin Rusia pernah mencoba meredam penyesalan kaum nasionalis penjualan Alaska kepada AS.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pernah mengatakan kepada surat kabar Rusia: "Peringatan ini [momen penjualan Alaska] tentu saja dapat memicu beragam emosi. Namun, ini adalah kesempatan yang baik untuk menyegarkan kembali ingatan akan kontribusi Rusia dalam penjelajahan benua Amerika."Berbicara tentang Alaska, Presiden Putin sebelumnya mengatakan, "Kita tidak perlu terlalu khawatir tentang hal ini."
Dalam sebuah Forum Arktik Internasional di masa lalu, Putin mengatakan bahwa aktivitas militer Rusia di wilayah Arktik terkendali secara lokal dan tidak menimbulkan ancaman bagi keamanan global.
Dia lantas menyalahkan aktivitas AS di Alaska karena berpotensi mengganggu stabilitas tatanan dunia.
"Apa yang kami lakukan, terkendali secara lokal, sementara apa yang dilakukan AS di Alaska, terjadi di tingkat global," katanya.
Dia menyebut sistem pertahanan rudal AS di Alaska sebagai salah satu masalah keamanan yang paling mendesak.
"Ini bukan sekadar sistem pertahanan, melainkan bagian dari potensi nuklir yang dipindahkan ke wilayah yang jauh," ujarnya.
Terlepas dari pandangan beberapa kaum nasionalis, Kremlin tidak menunjukkan niat untuk merebut kembali Alaska dari AS.



