Perang Tarif AS vs Dedolarisasi BRICS, Siapa Pemenang dalam Pertarungan Ini?
Konstelasi geopolitik ekonomi global memasuki babak baru pada 2025. Ketegangan meningkat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara BRICS, seiring dengan ancaman Presiden Donald Trump yang akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10 persen kepada negara mana pun yang dinilai mendukung “kebijakan anti-Amerika dari BRICS”.
Langkah agresif itu muncul di tengah semakin kuatnya dorongan dedolarisasi oleh BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), yang berupaya mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan dan sistem keuangan mereka. Tujuannya: melemahkan dominasi dolar yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung sistem keuangan global.
Baca Juga:Trump Tegaskan BRICS Akan Segera Bubar
Data terbaru menunjukkan posisi dolar AS sebagai cadangan devisa global terus menurun. Pangsa dolar dalam cadangan devisa dunia kini turun di bawah 58 persen menurut data IMF, terendah dalam sejarah. Sementara itu, bank-bank sentral dunia secara agresif menambah kepemilikan emas, yang kini menyumbang hampir 20 persen dari total cadangan mereka.
World Gold Council mencatat pada Kuartal I-2025 saja, bank sentral membeli lebih dari 244 metrik ton emas. Dikutip dari Watcher Guru, sebanyak 95 persen responden dalam survei mereka memperkirakan tren peningkatan cadangan emas akan terus berlanjut, terutama di negara-negara BRICS dan sekutunya.Dalam merespons dedolarisasi tersebut, pemerintahan Trump mengambil langkah tegas. Tarif impor terhadap barang dari China tetap di atas 30 persen. Negara seperti Afrika Selatan, Malaysia, Indonesia, Myanmar, dan Laos juga turut menghadapi ancaman tarif serupa.
Langkah tersebut dinilai bukan hanya sebagai upaya memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan, tetapi sebagai bentuk penolakan terhadap aliansi ekonomi baru yang dianggap menantang dominasi AS. Tindakan Trump memperpanjang tarif "timbal balik" juga mempertegas bahwa perang dagang AS–China kini menjelma menjadi benturan ideologis soal arah sistem keuangan global.
Baca Juga:Jejak Karier Kristin Cabot, Kepala HRD yang 'Kegep' Dipeluk Mesra CEO Astronomer
Sementara itu, BRICS terus mendorong penguatan sistem pembayaran lintas batas sendiri. Perdagangan bilateral antara Rusia dan China kini lebih dari 90 persen dilakukan dalam rubel dan yuan. Langkah ini secara efektif memotong peran dolar dalam transaksi mereka.
Inisiatif Sistem Pembayaran BRICS yang dirancang untuk menyaingi sistem SWIFT juga terus menguat. Dalam KTT BRICS ke-17 yang digelar di Rio de Janeiro awal bulan ini, para pemimpin sepakat mempercepat implementasi sistem pembayaran bersama untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan otonomi finansial kawasan.Meski belum memberikan respons tarif secara langsung, negara-negara BRICS menunjukkan konsolidasi lewat inovasi sistem keuangan alternatif. Tantangan nyata terhadap hegemoni ekonomi AS tidak lagi berbentuk senjata atau sanksi tetapi lewat melemahnya peran dolar sebagai alat tukar dan cadangan global.
Warren Buffett Segera Pamit dari Berkshire Hathaway, Sumbangkan Rp2.491 Triliun ke Yayasan Keluarga
Pertarungan antara tarif AS dan dedolarisasi BRICS ini berpotensi mengubah lanskap ekonomi global. Apakah dominasi dolar akan terus bertahan atau sistem multipolar berbasis mata uang lokal akan mengambil alih, akan sangat tergantung pada keberhasilan masing-masing strategi dalam menghadapi tekanan pasar. Ketegangan ini bisa memicu fragmentasi sistem keuangan internasional dan meningkatkan volatilitas pasar, terutama jika negara-negara berkembang dipaksa memilih antara dua kubu ekonomi besar yang semakin berseteru.










