Indonesia Butuh Ekosistem Keamanan Siber yang Tangguh dan Terhubung

Indonesia Butuh Ekosistem Keamanan Siber yang Tangguh dan Terhubung

Nasional | sindonews | Sabtu, 19 Juli 2025 - 19:13
share

Ancaman siber di Indonesia memasuki fase yang semakin mengkhawatirkan. Untuk itu, Indonesia butuh ekosistem keamanan siber yang tangguh dan terhubung.

Hal itu penting karena skema penipuan digital kini berkembang pesat, mulai dari pencurian identitas, pembobolan akun, pemalsuan dokumen, hingga penggunaan teknologi deepfake.

Laporan OJK dan Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat total kerugian akibat penipuan online telah melampaui Rp2,6 triliun hingga Mei 2025.

Baca juga: Waspada Ancaman Siber Menyamar di Balik Zoom Cs

Model kejahatan digital kini jauh lebih terorganisasi. Para pelaku memanfaatkan celah antar sistem, menyebarkan identitas palsu, dan memanipulasi dokumen untuk mengelabui masyarakat maupun institusi. CEO Privy Marshall Pribadi mengatakan, ancaman siber kian marak sehingga kerugian terus meningkat. Karena itu, pihaknya mendorong agar industri mulai meninggalkan pendekatan silo dan membangun kolaborasi lintas sektor dalam menciptakan ekosistem keamanan digital yang lebih terintegrasi dan proaktif.

“Ancaman hari ini bukan lagi datang dari satu arah. Mereka bekerja sebagai jaringan, menyasar titik-titik rawan di sistem kita. Yang kita butuhkan adalah ekosistem pertahanan bersama,” ujar Marshall, Sabtu (19/7/2025).

Salah satu langkah strategis yang kini mulai dijalankan oleh lembaga jasa keuangan di Indonesia adalah penerapan identitas digital terpercaya dan tanda tangan elektronik tersertifikasi. Teknologi yang memungkinkan verifikasi identitas dan autentikasi dokumen dilakukan secara akurat dan cepat, tanpa bergantung pada proses manual yang rentan dimanipulasi.

Namun, agar teknologi ini benar-benar efektif mencegah penipuan dibutuhkan ekosistem yang saling terhubung. Dia menekankan pentingnya interoperabilitas dan pertukaran sinyal risiko antarlembaga.

“Kalau satu institusi mendeteksi perangkat atau pola serangan mencurigakan seharusnya sinyal itu bisa dibaca oleh institusi lain. Kolaborasi semacam ini akan membentuk lapisan proteksi yang jauh lebih kuat dari sekadar pertahanan internal,” katanya.Di dalam ekosistem itu, peran Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) menjadi krusial sebagai fondasi kepercayaan. Sebagai PSrE yang berinduk ke Kementerian Komunikasi dan Digital, Privy saat ini menjadi salah satu penyedia infrastruktur yang mendukung sistem trust digital nasional.

Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah certificate warranty yakni mekanisme yang mengharuskan PSrE mengganti rugi apabila terjadi kerugian akibat kesalahan dalam proses verifikasi identitas.

“Kalau ternyata yang menandatangani bukan orang yang sebenarnya dan ada kerugian, kami wajib bertanggung jawab,” tegas Marshall.

Meski begitu, dia menekankan teknologi hanyalah satu sisi dari solusi. Budaya kehati-hatian dan verifikasi aktif dari masyarakat juga harus dibangun.

“Kalau menerima dokumen digital, biasakan untuk verifikasi. Kalau belum bisa dibuktikan keasliannya, anggap palsu dulu,” ucapnya.

Beberapa inisiatif juga tengah dikembangkan bersama asosiasi, regulator, dan instansi publik menerapkan standar keamanan informasi yang lebih ketat dan terintegrasi.

Topik Menarik