Hukum Pidana Kekinian dalam Kehidupan Masyarakat Era Globalisasi
Romli AtmasasmitaGuru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
JIKA ahli hukum pidana masih memandang hukum pidana masih seperti yang dulu, bertujuan membalas dendam dan bersamaan dengan itu, melindungi masyarakat; dipastikan keliru. Berdasarkan pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa, selama 78 tahun filosofi pemidanaan dengan tujuan pembalasan telah menimbulkan kontra produktif, overkapasisa hunian di Lapas sebesar 200, recidivis bertambah.
Termasuk menyebabkan anggaran penegakan hukum meningkat tidak sebanding dengan hasilnya. Yang terjadi adalah hanya kepuasan reaksi masyarakat yang pada umumnyayang membenci kejahatan dan pelaku kejahatan sejak awal.
Perkembangan peradaban manusia dalam bermasyarakat pada pertengahan abad 19 dan era abad 21 saat ini telah jauh berbeda. Baik dari aspek karakter dan budaya hukum masyarakat maupun dari perkembangan organisasi yang dinamakan negara dan bangsa.
Hukum pidana kekinian secara universal menganut pemahaman bahwa, manusia harus dipandang sebagai subjek hukum sekalipun dalam status tersangka/terdakwa. Di mana perlindungan hukum-hak asasi yang bersangkutan baginya sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dimuka sidang pengadilan harus dan wajib dijaga dan dijamin sampai pada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, tanpa kecuali. Politik pembaruan hukum pidana Indonesia yang telah diwujudkan dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 1 tahun 2023 menunjukkan perkembangan pembaruan dimaksud. Ketentuan baru dan merupakan cermin dari pembaruan fundamental dan merupakan pemikiran terobosan(major breakthrough) adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Pada ayat l2l dinyatakan, hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Merujuk pada ketentuan aquo jelas menunjukkan kebaruannya dan menjadi karakterirstik yang utama yang menjiwai seluruh ketentuan UU KUHP 2023, dan tidak diatur sebelumnya di dalam UU KUHP(1946). Hal ini terbukti dari ketentuan tentang pidana dan pemidanaan; bahwa asas dan tujuan pemidanaan adalah bahwa, pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia.
Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Selanjutnya dalam hal tujuan pemidanaan dinyatakan, pertama, mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat. Kedua, memasyaralatkan terpidana dengan mengadalan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna. Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan dan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Merujuk pada ketentuan yang merupakan ciri khas dan karakteristik pembaruan di atas, maka terhitung sejak 2 Februari 2026 maka setiap langkah hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana, tidak terkecuali wajib dan harus menjalankan ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 1/2023. Implikasi hukum yang akan terjadi dari pemberlakuan UU KUHP 2023 adalah, pertama, memerlukan beberapa peraturan pelaksanaan dari UU KUHP 2023 seperti terdapat empat peraturan pemerintah dan satu diantaranya adalah RPP tentang nilai keadilan dalam masyarakat.
Prediksi mengenai implementasi KUHP 2023 mengingat terdapat perubahan fundamental yang mengandung nilai- nilai Pancasila dan nilai universal HAM yang diakui bangsa beradab, dapat diperkirakan menghadapi berbagai hambatan. Pertama, kesiapan aparatur penegak hukum termasuk hakim masih diragukan terutama disebabkan memerlukan perubahan cara pandang (mindset) dari cara pandang seorang tesangka/terdakwa sebagai objek dan belum sepenuhnya sebagai subjek hukum dengan segala hak-hak hukum dan hak sosialnya.
Kedua, masalah kesiapan masyarakat menerima pandangan tersebut dan budaya pembalasan terhadap kejahatan dan pelakunya yang belum usai sampai saat ini. Meskipun UUD 45 telah menetapkan mengakui hak dan kedudukan setiap orang yang sama di hadapan hukum dan diakuinya pidana pemaafan/pertobatan serta previlege yang berhak diterima tersangka/terdakwa dalam proses pemeriksaan pada tingkat penyidikan di dalam KUHP 2023.
Ketiga, bahwa filosofi dan muatan ketentuan KUHP 2023 sampai saat ini baru dipahami dan disadari oleh sebagian besar akademi hukum dan beberapa praktisi hukum akan mengakibatkan implementasi KUHP 2023 dilakukan “setengah hati”.










