Eksistensi E-Commerce dan Kinerja Inflasi
Ciplis Gema Qori’ahDosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember
PERUBAHAN harga yang merangkak naik seringkali menjadi kepanikan tersendiri bagi sebagian besar konsumen. Inilah yang sering kali kita kenali sebagai fenomena inflasi dalam kehidupan ekonomi. Ia menggerogoti daya beli, menciptakan kecemasan, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Kelompok yang rentan terhadap guncangan ekonomi (shock) perlu mendapat perhatian khusus dalam skema kebijakan yang holistik. Namun sisi lain pemerintah menghadapi kondisi dilematis, sehingga harus menempuh kebijakan yang tidak populis, seperti mengurangi subsidi energi, menaikkan pajak, mengurangi volume impor barang konsumsi ataupun otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan.
Fenomena inflasi dalam konteks peran teknologi dan e-commerce disebabkan oleh banyak faktor, Stigler (1982) mengungkapkan bahwa perbedaan harga (price dispersion) disebabkan oleh konsumen tidak mempunyai informasi sempurna karena ada biaya mendapatkan informasi (search cost), sehingga hal ini menyebabkan harga yang bervariasi di pasar yang sama.
Demikian halnya konsep yang disarikan dari adaptasi teori supply-demand dalam konteks ekonomi digital ataupun ekonomi berbasis platform, Varian dan Shapiro (1999) membuktikan bahwa informasi digital, platform online serta langkah logis dan sistematis (algoritma) akan mengubah cara kerja pasar secara signifikan (supply-demand dynamic).
Teori pertumbuhan ekonomi endogen (endogenous growth), Romer dan Nordhaus, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2018, membuktikan pemikirannya tentang pentingnya integrasi inovasi teknologi dan pertumbuhan melalui, automatisasi, big data dan kecerdasan buatan (artificial intelligence=AI) pada proses pembentukan harga dan logistik yang akan mempengaruhi segi operasional lebih efisien.Selama ini, instrumen utama untuk menurunkan inflasi adalah kebijakan moneter konvensional melalui menaikkan suku bunga, menahan likuiditas atau mengatur ekspektasi pasar. Namun, di tengah akselerasi teknologi dan pergeseran perilaku konsumen, konon kehadiran digitalisasi dalam perdagangan elektronik (e-commerce) diyakini menjadi upaya meredam ketidakstabilan harga.
Paling tidak, temuan empiris memaparkan keniscayaan adanya dampak negatif signifikan dari digitalisasi dan e-commerce terhadap inflasi. Merujuk kajian Bank Indonesia (2024) menunjukkan bahwa pertumbuhan transaksi e-commerce secara signifikan mampu menekan inflasi inti, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Karena ia mampu menekan biaya, sehingga terjadi efisiensi dan transparansi harga, selain tidak lagi memerlukan biaya operasional yang besar, memungkinkan masuknya barang impor yang lebih murah sehingga harga konsumen lebih bersaing. Hal ini sejurus dengan hasil asesmen Organization for Economic Co-operation and Development (OECD, 2019) dan International Monetary Fund (IMF, 2021) secara lugas menegaskan bahwa e-commerce memiliki potensi menyumbang deflationary effect terhadap perekonomian.
Logika yang bisa dihadirkan dari e-commerce bahwa ia diyakini bisa menekan inflasi terlihat pada, pertama, bahwa e-commerce menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan transparan. Ketika produsen dan konsumen terhubung secara langsung melalui platform digital, lapisan-lapisan biaya distribusi menjadi lebih tipis.
Ada eliminasi rantai distribusi secara signifikan. Juga tidak perlu lagi membayar sewa toko fisik, gaji karyawan tambahan, atau biaya promosi konvensional yang relatif mahal. Efisiensi inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi harga yang lebih murah bagi konsumen.
Kedua, e-commerce memudahkan konsumen membandingkan harga dan kualitas barang dengan cepat. Di sinilah kekuatan digital benar-benar bekerja, informasi menjadi murah dan instan. Konsumen tidak lagi ‘terjebak’ pada pilihan terbatas di toko fisik terdekat, melainkan bisa menjelajahi berbagai produk dari banyak penjual dengan harga yang lebih bersaing. Persaingan yang ketat ini memaksa pelaku usaha menjaga harga tetap rendah agar bisa bertahan di pasar. Fenomena ini dikenal sebagai “amazon effect”. Yang juga penting digarisbawahi ialah sejatinya sistem pembayaran digital turut memperlancar arus transaksi.
Hadirnya pembayaran non tunai Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), e-money, m-banking dan metode pembayaran non tunai lainnya membuat konsumen lebih nyaman berbelanja online. Kemudahan ini mempercepat adopsi e-commerce oleh masyarakat luas dan masif, termasuk pelaku UMKM yang sebelumnya mungkin enggan masuk ke dunia digital.
Namun, ada satu sisi menarik yang kerap luput dari perhatian, yaitu potensi bias dalam pengukuran inflasi akibat pergeseran belanja dari offline ke online. Konsumen yang beralih ke e-commerce cenderung menemukan harga lebih murah, tapi jika data inflasi masih mengandalkan harga di pasar tradisional, maka bisa jadi angka inflasi yang tercatat lebih tinggi daripada kenyataan yang dirasakan masyarakat.
Hasil kajian Bank Indonesia tahun 2024 menunjukkan bahwa ada bias perhitungan inflasi sekitar 0,2 persen hingga 0,8 persen akibat perbedaan harga antara pasar online dan offline. Artinya, sebagian “kenaikan harga” yang kita baca di berita mungkin tidak benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat digital.
Bukan berarti e-commerce tanpa tantangan. Ketimpangan infrastruktur digital masih menjadi penghalang utama, terutama di wilayah Indonesia bagian timur. Data menunjukkan bahwa mayoritas transaksi e-commerce masih terpusat di Pulau Jawa, yang menyumbang sekitar 79 persen dari total transaksi nasional.
Sementara Sumatera hanya sekitar 12 persen, dan kawasan timur Indonesia hanya 9 persen. Maknanya manfaat e-commerce sebagai penekan inflasi belum merata. Selain itu rantai pasok barang yang tersedia di e-commerce masih didominasi di pulau Jawa. Sehingga biaya distribusi untuk memenuhi permintaan masyarakat di wilayah tengah dan timur Indonesia akan bertambah. Akibatnya harga di tingkat konsumen akhir (end user) semakin tinggi dan mengakibatkan inflasi semakin merangkak naik.
Kita perlu mengakui bahwa daya tekan inflasi dari e-commerce bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dalam semalam dan instan. Ia memerlukan prasyarat, listrik yang stabil, koneksi internet yang cepat, keterampilan digital masyarakat yang mumpuni, serta hadirnya kebijakan pemerintah yang afirmatif dan mendukung.
Di sinilah peran strategis dan sinergis antara pemerintah dan Bank Indonesia menjadi penting, bukan sekadar sebagai pengendali harga, tetapi juga sebagai fasilitator transformasi digital yang lebih inklusif.
Taruh contoh program seperti digitalisasi 1.000 UMKM, pelatihan keterampilan digital, hingga pengembangan aplikasi lokal seperti program APPAKABAJI di Makassar menjadi teladan nyata bagaimana pemerintah daerah mencoba menjembatani kesenjangan digital bagi pelau usaha kecil dan mikro.
Program ini mencakup sistem data, inkubator, pendampingan hingga akselerasi produk berkualitas dan ekspansi pasar. Meskipun tantangan seperti biaya logistik tinggi, keterbatasan sumber daya manusia, dan infrastruktur terpasang yang belum merata masih terus menghantui. Paling tidak contoh nyata ini bisa menjadi studi tiru di belahan wilayah potensial lainnya di Indonesia.
Di balik semua itu, kita melihat satu hal menjanjikan bahwa pengendalian inflasi tak harus melulu soal menekan permintaan. Lewat e-commerce, poin yang tertangkap nyata adalah kita bisa mengurangi inflasi melalui jalur produktivitas dan efisiensi. Ini adalah narasi baru dalam lanskap ekonomi Indonesia, sebuah pendekatan yang lebih sejuk, tanpa perlu memukul daya beli masyarakat. Dalam jangka panjang, jika e-commerce bisa diintegrasikan lebih luas dan merata ke seluruh pelosok negeri, maka Indonesia tidak hanya akan punya ekonomi yang lebih efisien, tapi juga lebih adil. Harga-harga akan lebih terkendali bukan karena masyarakat menahan konsumsi, melainkan karena teknologi membantu pasar bekerja lebih baik.
Tapakan ekonomi Indonesia sedang berada di jalan yang benar. Pertumbuhan ekonomi digital kita, yang diperkirakan mencapai USD 360 miliar pada 2030, adalah sinyal kuat bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tapi juga aktor penting dalam ekonomi digital dunia.
Jika tren ini terus dikuatkan dengan kebijakan yang tepat, maka bukan tidak mungkin kita akan punya model pengendalian inflasi yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Mungkin inilah saatnya perspektif masyarakat yang dibenamkan pada pemahaman bahwa eksistensi e-commerce bukan hanya sebagai saluran belanja online, namun lebih sebagai instrumen kebijakan ekonomi baru, yang senyap, efisien dan berdampak luas.
Maka, inflasi bisa dilawan, bukan dengan menutup keran belanja, tetapi dengan membuka akses dan informasi yang luas kepada konsumen dalam pengambilan keputusan belanjanya.
Singkatnya, digitalisasi mampu menunjukkan instrumen pengendalian inflasi yang signifikan, namun perlu pengawasan secara periodik oleh pengedali otoritas. Sehingga tidak menimbulkan gejolak harga yang kurang bisa diprediksi.










