Mengapa Terjadi Perang Harga Mobil besar-besar di China?

Mengapa Terjadi Perang Harga Mobil besar-besar di China?

Otomotif | sindonews | Sabtu, 12 Juli 2025 - 22:38
share

Di balik gemerlap pameran mobil di Shanghai dan rekor penjualan yang memukau dunia, industri otomotif China punya masalahnya sendiri. Yakni, perang harga yang lahir dari "tsunami" mobil tak terjual: krisis overkapasitas yang kini mengancam kesehatan finansial para raksasanya sendiri dan mengguncang pasar global.

Pemerintah China mulai waspada. Mereka berjanji untuk turun tangan, sinyal bahwa "bom waktu" ini harus segera dijinakkan sebelum meledak. Ini adalah kisah tentang bagaimana ambisi besar, subsidi masif, dan produksi yang tak terkendali menciptakan sebuah gelembung yang kini terancam pecah.

Banjir Mobil dan Trik "Ekspor Hantu"

Pada 2024, produksi mobil di China mencapai rekor 31,4 juta unit. Namun, permintaan domestik tidak mampu menyerapnya, dengan angka penjualan masih 9,6 di bawah puncak tahun 2017. Akibatnya, stok mobil yang tidak terjual di tingkat pabrikan dan dealer membengkak lebih dari dua kali lipat sejak 2019, mencapai nilai fantastis 370 miliar yuan (sekitar Rp831 triliun). Untuk mengatasi banjir ini, para produsen menggunakan trik "ekspor hantu" atau zero-mileage exports: mengirim mobil-mobil baru yang belum pernah menyentuh aspal China ke luar negeri, hanya untuk membersihkan gudang dan memenuhi target penjualan. Dari 5,86 juta mobil yang diekspor China pada 2024, lebih dari 78 adalah mobil bermesin bensin (ICE) yang pasarnya di dalam negeri telah runtuh. Ini bukan cerminan permintaan nyata, melainkan upaya putus asa untuk membuang kelebihan stok.

Perang Harga Sampai Titik Darah Penghabisan

Kelebihan pasokan ini memicu perang harga yang tak terhindarkan. Dimulai pada 2023, para produsen saling banting harga secara agresif untuk merebut pangsa pasar yang tersisa. Akibatnya, "kesehatan" finansial mereka terkuras habis.

Data dari LSEG untuk 33 produsen mobil China menunjukkan tren mengerikan. Margin keuntungan bersih rata-rata di sektor ini anjlok dari 2,7 pada 2019 menjadi hanya 0,83 pada 2024. Total utang mereka meroket 56 dalam periode yang sama, mencapai 959 miliar yuan (sekitar Rp2.155 triliun).Lebih parah lagi, mereka mulai "menjadikan pemasok sebagai bankir". Waktu rata-rata yang dibutuhkan produsen mobil untuk membayar tagihan ke pemasok mereka membengkak dari 99 hari menjadi 108 hari.

"Ini pada dasarnya menghentikan praktik produsen mobil yang mengubah pemasok mereka menjadi bankir," ujar Joerg Wuttke, seorang partner di DGA-Albright Stonebridge Group, mengomentari regulasi baru pemerintah yang memaksa pembayaran dalam 60 hari.

Nasib Para Raksasa: Siapa Bertahan, Siapa Terkapar?

Di tengah badai ini, nasib para pemain utama sangat kontras:

1. BYD, sang raja mobil listrik, secara ajaib berhasil meningkatkan margin keuntungannya menjadi 5,4. Namun, di balik kesuksesan itu, mereka juga memperpanjang waktu pembayaran ke pemasoknya menjadi 127 hari.

2. Geely Automobile merasakan tekanan hebat, dengan periode pembayaran ke pemasok membengkak hingga 193 hari. 3. Nio dan Xpeng, dua jenama EV yang terkenal, berada di ujung tanduk. Mereka menjadi salah satu yang paling lama dalam membayar pemasok, masing-masing 223 hari dan 237 hari, dan terus merugi meskipun berhasil memperbaiki margin negatif mereka.Menanggapi tekanan ini, Nio dan Xpeng sama-sama berkomitmen untuk berusaha memenuhi tenggat pembayaran 60 hari dari pemerintah sesegera mungkin.

Peringatan dari Pemerintah dan Dampak Global

Pemerintah China tidak tinggal diam. Mulai 1 Juni 2025, regulasi baru yang mewajibkan pembayaran dalam 60 hari mulai berlaku, sebuah langkah untuk melindungi para pemasok kecil dan menengah dari kebangkrutan.

Namun, dampak dari krisis ini sudah terasa secara global. Banjir ekspor mobil murah dari China telah mengguncang pasar di Eropa dan Amerika, memicu perang dagang dan pengenaan tarif balasan.

Pada akhirnya, apa yang terjadi di China adalah sebuah proses "seleksi alam" yang menyakitkan namun tak terhindarkan. Subsidi besar-besaran dan produksi tanpa kendali telah menciptakan sebuah gelembung. Kini, saat gelembung itu mulai mengempis, hanya perusahaan dengan model bisnis yang berkelanjutan, merek yang kuat, dan neraca keuangan yang sehat yangakanbertahan.

Topik Menarik