Menyorot Penyelenggaraan Transportasi Mudik Lebaran

Menyorot Penyelenggaraan Transportasi Mudik Lebaran

Nasional | sindonews | Rabu, 17 April 2024 - 14:30
share

Tulus AbadiPengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Pengurus Harian YLKI Periode 2015-2025

PROSESI mudik Lebaran 2024 baru saja usai. Antuasiasme masyarakat untuk menuju kampung halamannya, bak air bah. Mengalir dari segala penjuru negeri, dengan menggunakan berbagai moda transportasi.

Menurut estimasi pemerintah lebih dari 70 persen penduduk, atau sekitar 193 juta manusia, melakukan perjalanan mudik Lebaran ke kampung halamannya. Adalah tidak mudah untuk memfasilitasi prosesi tahunan ini. Segala daya upaya dikerahkan agar ritual mudik Lebaran bisa berjalan lancar, aman, selamat dan bahkan nyaman. Oleh karena itu, kerja keras semua pihak perlu diberikan apresiasi yang tinggi.

Namun demikian, perlu ada beberapa aspek yang perlu kita sorot (bahkan evaluasi), guna mewujudkan ritual mudik Lebaran pada 2025 lebih manusiawi dan bermartabat. Berikut sorotan mudik Lebaran 2024.

Prediksi arus mudik

Antara prediksi dan realitas jumlah pemudik seperti apa, ini tidak begitu jelas. Ketika Kemenhub memprediksi jumlah pemudik akan mencapai 193,46 juta, apakah hal ini terealisasi? Dan parameter pergerakan arus mudik itu seperti apa pula? Misalnya, dikatakan jumlah pergerakan pemudik di Jabodetabek mencapai 28,4 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Jabodetabek mencapai 32,24 jutaan jiwa, artinya yang tidak melakukan perjalanan mudik hanya 15 persenan saja. Apakah demikian formulasinya? Antara prediksi dan realitas pemudik sangat penting untuk menentukan kebijakan terkait mudik Lebaran. Seharusnya Kemenhub memberikan data akurat, bukan hanya prediksi dan estimasi saja.

Mudik gratis

Keberadaan mudik gratis sangat penting. Oleh karena itu akses, kapasitas, dsn kualitasnya perlu ditingkatkan, khususnya untuk bus umum (bus AKAP), penyeberangan dan juga kapal laut. Akses mudik gratis ini bukan hanya penting untuk mewadahi masyarakat yang kesulitan mendapatkan tiket angkutan umum. Mudik gratis juga sangat penting untuk menekan penggunaan sepeda motor sebagai sarana mudik ke kampung halaman, yang tahun ini menurut Kemenhub mencapai 876 ribuan sepeda motor dijadikan sarana mudik (naik 15 persen). Bagaimanapun, sepeda motor bukan sarana transportasi yang aman untuk melakukan perjalanan mudik, apalagi dengan penumpang dan barang bawaan over kapasitas.

Tarif tinggi

Semua angkutan umum antar kota menerapkan tarifnya setinggi langit, termasuk tarif kereta api. Hal ini perlu dievaluasi, sebab tarif yang tinggi menyebabkan keterjangkauan masyarakat menjadi menurun. Alasan bahwa tarif tersebut belum melanggar ketentuan tarif batas atas (TBA) kurang relevan, sebab tarif KA masih monopolistik. Sebab operator KA hanyalah PT KAI, tidak ada yang lain. Demikian juga untuk tarif pesawat terbang dan bus AKAP, patut rasanya dievaluasi agar operator tidak secara ugal-ugalan menerapkan tarif tinggi.

Antrean panjang di Pelabuhan Merak

Pemerintah perlu serius mengatasi antrean panjang yang terjadi di Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni, yang mencapai 8-10 jam. Bahkan sampai 12 jam untuk angkutan logistik. Ini kejadian berulang setiap tahun. Seharusnya pemerintah dan PT ASDP Indonesia Ferry bisa mengantisipasinya, dengan menambah armada kapal dan atau menambah dermaga. Bahwa antrean itu juga dipicu oleh perilaku masyarakat, misalnya dalam pembelian tiket, tentu hal ini seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Sebab nyatanya karakter dan perilaku penumpang kapal ferry tidak bisa disamakan dengan penumpang pesawat.

Baca Juga: Menko Muhadjir Sebut Penanganan Mudik Lebaran 2024 Lancar

Dalam suasana mudik Lebaran, rasanya tidak mungkin PT ASDP Indonesia Ferry dibiarkan sendirian untuk menangani persoalan di Pelabuhan Merak Bakauheni. Dalam hal ini pemerintah belum menjadikan moda transportasi penyeberangan dan laut sebagai alternatif trsnsportasi mudik. Pemerintah hanya terfokus pada transportasi darat saja.

Diskresi Korlantas

Dari sisi rekayasa lalu lintas (management traffic) yang merupakan diskresi Korlantas Mabes Polri, kerja keras Korlantas patut diapresiasi untuk melakukan rekayasa lalu lintas, baik dengan contraflow, one way traffic, atau ganjil genap. Namun perlu disorot (dievaluasi) adalah implementasi lawan arah (contraflow), khususnya merujuk pada kejadian di KM 58 jalan tol, yang menewaskan seluruh penumpang Gran Max (12 orang).

Baca Juga: Sopir Gran Max Bekerja Lebihi Waktu, KNKT: Sangat Mudah Mengalami Microsleep

Sekalipun kejadian tersebut lebih dipicu oleh pelanggaran pengemudi Gran Max, namun dari sisi safety model lawan arah memang berisiko tinggi, apalagi di jalan tol. Sebab dari sisi ruas jalan, lawan arah hanya dibatasi oleh traffic cone saja, yang bisa bergeser, tumbang, dan dilanggar oleh pengguna jalan. Kecuali pembatas jalan itu berupa permanen, sehingga bisa lebih memberikan proteksi pengguna jalan yang melakukan contraflow. Namun tentunya hal ini sulit dilakukan. Dari sisi pengguna jalan tol, yang notabene adalah jalan berbayar, contraflow bisa dikatakan bentuk pelanggaran terhadap SPM (Standar Pelayanan Minimal) jalan tol. Akan lebih safety jika diskresi Korlantas berbasis one way dan ganjil genap saja, tanpa contraflow.

Jalan non tol

Mengoptimalkan fungsi jalan non tol, khususnya akses jalan Pantai Utara (Pantura) dan Pantai Selatan (Pansela) Jawa. Sebab, sekalipun jalan tol Trans Jawa sudah terintegrasi sepanjang 1.745 km, faktanya tidak mampu secara optimal memfasilitasi mudik Lebaran dengan jumlah kendaraan mencapai lebih dari 1,5 jutaan kendaraan yang keluar dari arah Jakarta. Sedangkan di sisi lain, kapasitas jalan Pantura dan Pansela masih relatif longgar. Jadi perlu ada rekayasa lalu lintas yang lebih radikal, bukan hanya contraflow, one way, dan atau ganjil genap (gage).

Volume kendaraan di Jalan Tol Trans Jawa sebagian perlu dimigrasikan ke jalan non tol, Pantura dan Pansela. Mengingat pergerakan pemudik 56 persen terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh karenanya, kualitas fisik ruas jalan di Pantura dan Pansela harus “setara” dengan kualitas jalan tol. Fenomena ini sangat kentara manakala yang menjadi fokus perhatian mudik Lebaran hanya jalan tol saja, sedangkan jalan non tol kurang mendapatkan perhatian, termasuk dalam melakukan rekayasa lalu lintas. Pantas terjadi kemacetan parah di area sekitar Ajibarang-Banyumas, dan Bumiayu-Brebes, nyaris tak ada sentuhan bermakna dari pihak kepolisian.

Tertibkan angkutan gelap

Demi alasan keselamatan dan merujuk kasus Gran Max di KM 58, maka Kemenhub harus tegas menertibkan angkutan (travel) gelap. Terbukti secara meyakinkan, merujuk pada rekomendasi KNKT, kejadian pada KM 58 tersebab oleh banyak pelanggaran oleh pengemudi Gran Max, yaitu over kapasitas, sopir kelelahan karena over time, dan tak berizin pula. Namun anehnya, walau tak berizin, dalam kecelakaan itu PT Jasa Raharja, tetap memberikan santunan pada semua korban meninggal. Walau dari sisi kemanusiaan bisa dipahami, namun hal ini bisa memicu tumbuh suburnya angkutan gelap, dan di sisi lain mematikan keberadaan angkutan umum resmi.

Kini keberadaan travel gelap makin menjamur. Protes DPP Organda kepada PT Jasa Raharja terkait hal tersebut bisa dimengerti, karena telah memberikan santunan penumpang sebagai korban angkutan gelap.

Mudik Lebaran secara sosiologis kultural, plus ekonomi, tampaknya sudah menjadi ritual yang niscaya bagi sebagian besar masyarakat. Oleh karenanya, negara harus memfasilitasi dengan pelayanan publik (transportasi) yang andal, aman, selamat, dan tarif terjangkau. Secara lebih makro sangat mendesak bagi pemerintah untuk segera mewujudkan Sistranas (Sistem Transportasi Nasional), baik untuk angkutan penumpang, dan atau angkutan logistik. Idealnya, mobilitas nasional seperti mudik mudik Lebaran tidak bergantung penggunaan kendaraan pribadi, dan harus mengarusutamakan aspek keamanan dan keselamatan, bukan aspek kelancaran. Bukan pula seperti sekarang, mobilitas mudik Lebaran didominasi oleh penggunaan kendaraan pribadi (khususnya sepeda motor), plus mind set yang penting lancar, sehingga aspek keamanan dan keselamatan tereduksi hingga ke titik nadir. Ironis!

Topik Menarik