Buruh Tak Dilibatkan soal UMP 2026, KSPI: Jangan Beri Masukan Keliru ke Presiden!

Buruh Tak Dilibatkan soal UMP 2026, KSPI: Jangan Beri Masukan Keliru ke Presiden!

Ekonomi | okezone | Selasa, 16 Desember 2025 - 12:39
share

JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan bahwa proses penyusunan regulasi pengupahan yang akan menjadi dasar penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 tidak pernah dibahas secara serius dan mendalam bersama serikat buruh.

Menurut Said Iqbal, serikat buruh sama sekali tidak dilibatkan secara bermakna dalam pembahasan peraturan pemerintah (PP) tentang pengupahan. Dia menyebut, berdasarkan laporan yang diterimanya dari unsur KSPI di Dewan Pengupahan Nasional, diskusi mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan hanya dilakukan satu kali, yakni pada 3 November 2025, dengan durasi sekitar dua jam.

"Bagaimana mungkin sebuah aturan strategis yang mengatur upah minimum nasional dibahas hanya satu hari, dua jam, dan itu pun tidak membahas pasal demi pasal. Ini tidak masuk akal dan jelas tidak berpihak kepada buruh," ujar Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Jakarta, Selasa (16/12/2025).

Dia menilai, Kementerian Ketenagakerjaan memaksakan kehendak dalam penyusunan PP tersebut tanpa partisipasi publik yang layak, khususnya dari serikat buruh. Akibatnya, dasar hukum yang nantinya digunakan untuk menetapkan kenaikan UMP 2026 dinilai cacat secara prosedural.

Lebih lanjut, Said Iqbal mengungkapkan bahwa substansi PP Pengupahan yang dipahami buruh juga sangat merugikan pekerja, terutama terkait definisi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurutnya, pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Tahun 2024 atas uji materi Undang-Undang Cipta Kerja, yang menegaskan bahwa penetapan upah minimum harus mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, indeks tertentu (alfa), serta kebutuhan hidup layak.

"Masalahnya, definisi KHL dalam PP baru itu menyimpang. Padahal Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 masih berlaku dan dengan jelas menyebutkan KHL terdiri dari 64 item, mulai dari pangan, sandang, perumahan, transportasi, hingga kebutuhan dasar lainnya," tegasnya.

 

Dia menekankan bahwa Permenaker tersebut belum pernah dicabut, sehingga secara hukum masih sah. Dalam aturan itu pula ditegaskan bahwa survei KHL harus dilakukan oleh Dewan Pengupahan, yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh.

Namun, Said Iqbal menyebut bahwa dalam PP Pengupahan terbaru, survei KHL justru didasarkan pada data Susenas yang diklaim dilakukan oleh Dewan Ekonomi Nasional. Dia mempertanyakan dasar hukum pelibatan lembaga tersebut dalam penentuan KHL.

"Dasar hukumnya apa? Tidak ada. Yang diperintahkan oleh Permenaker adalah Dewan Pengupahan, bukan Dewan Ekonomi Nasional, bukan juga BPS. Faktanya, Dewan Pengupahan Nasional maupun daerah tidak pernah melakukan survei 64 item KHL. Maka KHL versi pemerintah itu batal demi hukum," ujarnya.

Said Iqbal juga menyatakan keyakinannya bahwa Presiden Prabowo Subianto kemungkinan besar tidak mengetahui secara detail persoalan teknis tersebut. Dia mengingatkan agar jajaran kementerian tidak memberikan masukan yang keliru kepada Presiden, apalagi jika disertai kepentingan tersembunyi.

"Kalau input yang diberikan salah, Presiden bisa keliru dalam mengambil keputusan, termasuk dalam menandatangani peraturan pemerintah tentang pengupahan yang akan menjadi dasar UMP 2026," pungkas Said Iqbal.

Topik Menarik