Ahli Sindir CMNP Soal Transaksi NCD Rp247 M, Ubah Laporan Keuangan Bisa Berujung Penalti Pajak
JAKARTA – Ahli akuntan dan pajak, Dadang Suwarna, mengungkap adanya ancaman denda dan penalti pajak terhadap perusahaan yang mengubah laporan keuangan secara sepihak, khususnya jika perubahan tersebut bertentangan dengan laporan dan kewajiban pajak sebelumnya.
Hal itu disampaikan Dadang saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pemeriksaan perkara perdata antara PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) dan PT MNC Asia Holding di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Dadang saat menjawab pertanyaan kuasa hukum MNC Asia Holding, Hotman Paris Hutapea, yang mempertanyakan keabsahan laporan keuangan CMNP terkait transaksi Negotiable Certificate of Deposit (NCD).
Dalam persidangan, Hotman memaparkan bahwa selama periode 1999–2014, CMNP mencatat transaksi jual beli NCD dalam laporan keuangannya sebagai hasil transaksi dengan Drosophila Enterprise Pte Ltd. Atas transaksi tersebut, CMNP bahkan mengajukan restitusi pajak yang kemudian dibayarkan oleh negara.
Namun, belakangan CMNP justru menyatakan transaksi tersebut tidak sah dan bukan jual beli, melainkan hanya tukar menukar.
“Kalau kedua belah pihak, baik perusahaan go public maupun bank yang menerbitkan deposito, sudah melaporkan transaksi tersebut dalam laporan keuangan, maka secara akuntansi dan pajak, wajib pajak telah mengakui bahwa transaksi NCD itu sah,” ujar Dadang di persidangan.
Karena telah diakui sebagai transaksi sah, Dadang menegaskan perusahaan berpotensi dikenai sanksi apabila kemudian mengubah laporan keuangan tersebut.
Dalam sidang yang sama, Hotman Paris langsung mengaitkan pendapat ahli itu dengan sikap CMNP yang sejak 2015 disebut telah mengubah pencatatan laporan keuangannya. Bahkan, dalam gugatan tahun 2025, CMNP menyebut transaksi NCD tersebut tidak sah atau bodong.
Padahal, transaksi NCD tersebut sempat dibukukan dalam laporan keuangan CMNP sebesar Rp247 miliar pada 2011, serta menjadi dasar pengembalian pajak (restitusi) dari negara.
“Kalau tahun 2025 ternyata mengaku berbeda dengan laporan keuangan dan berbeda dengan SPT pajak, berapa negara bisa menjatuhkan penalti kepada perusahaan go public seperti ini, kalau pokoknya Rp247 miliar?” tanya Hotman di persidangan.
Hotman menambahkan, nilai restitusi tersebut seharusnya dikenai pajak penghasilan sebesar 23 persen, ditambah sanksi administrasi hingga 400 persen.
“Rp247 miliar dikalikan tarif pajaknya 23 persen, ditambah sanksinya 400 persen,” ujarnya.
Menurut Dadang, denda dan penalti dapat dijatuhkan apabila perusahaan terbukti memberikan informasi yang tidak benar dalam laporan keuangan dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.
“Karena perusahaan sudah memberikan informasi dan data yang keliru saat pengisian SPT, padahal pengajuan pembebanan biaya menggunakan dokumen perusahaan sendiri. Artinya, pengisian SPT tersebut dilakukan dengan sengaja tidak benar,” tandas Dadang.










