Cerita Masa Kecil Sutiyoso, Anak Bandel Doyan Berkelahi yang Berhasil Jadi Jenderal Kopassus
JAKARTA Masa kecil dan remaja Letjen TNI (Purn) Sutiyoso dilalui dengan keras dan penuh perkelahian. Namun siapa sangka, pemuda yang terkenal bandel itu berhasil menjadi Jenderal Kopassus. Dia juga sukses menjadi Pangdam Jaya hingga Gubernur DKI Jakarta.
Mengutip Sindonews , Sutiyoso lahir di Desa Pongangan, Gunung Jati, Semarang, Jawa Tengah pada 6 Desember 1944, Sutiyoso merupakan anak keenam dari delapan saudara.
Sutiyoso tumbuh menjadi anak yang gemar bermain apa pun tanpa memperdulikan risiko. Kebiasaannya ini kerap kali dianggap sebagai kenakalan atau kebandelan. Pernah suatu ketika, Sutiyoso menunggang kuda padahal dia masih terlalu kecil. Sutiyoso jatuh beberapa kali dan pingsan di semak-semak, sementara kudanya pulang sendiri ke rumah.
Nissan X-Trail Kecelakaan di Tol Bakter Lampung, Polisi Temukan Puluhan Ribu Ekstasi dan Sabu
Kejadian itu membuat orang tuanya kelabakan. Meski demikian, kejadian itu tidak membuat Sutiyoso kapok dan hilang nyali. Dia justru kembali menunggang kuda. Hal itu membuat ayahnya, Tjitrodihardjo yang bekerja sebagai guru sekaligus kepala sekolah di SD tempat Sutiyoso bersekolah marah dan menghukumnya dengan keras.
Tidak hanya itu, Sutiyoso juga kerap mengganggu anak-anak seumurannya bahkan yang lebih tua di atasnya. Tanpa alasan yang jelas, Sutiyoso kerap mengajak mereka untuk berkelahi. Apalagi kalau ada temannya yang dipukul atau dilecehkan, Sutiyoso akan membela habis-habisan tak perduli dengan risiko yang dihadapinya.
Selepas SD, Sutiyoso melanjutkan sekolahnya di SMP yang berada di Kota Semarang. Lokasinya yang jauh membuat Sutiyoso harus indekos. Kondisi ini membuat Sutiyoso tidak lagi dalam pengawasan ketat ayahnya dan semakin leluasa bermain dan berkelahi.
Bahkan, tidak jarang Sutiyoso mencari gara-gara dengan mengajak orang untuk berduel. Fisiknya yang prima karena gemar berolahraga membuat Sutiyoso selalu menang setiap kali berkelahi.
Setamat SMP, Sutiyoso melanjutkan sekolahnya ke SMA 1 Semarang. Agar tidak indekos, Sutiyoso tinggal bersama ibunya Sumini. Namun hal itu tidak mengubah Sutiyoso, jiwa mudanya yang bergejolak membuat dia semakin sering berkelahi dan menampilkan dirinya sebagai seorang tentara.
Sutiyoso kerap memakai celana tentara bertuliskan KKO, pemberian kakaknya Soesatijo yang merupakan prajurit KKO sekarang bernama Marinir. Bersama gengnya, kenakalan Sutiyoso semakin tidak terbendung. Hal ini membuat kedua orang tuanya risau dan memutuskan untuk memindahkan sekolahnya ke Pontianak, Kalimantan Barat. Tujuannya untuk memisahkan Sutiyoso dari teman-temannya satu geng yang bengal dan nakal.
Di Pontianak, Sutiyoso akan tinggal bersama kakaknya Suparto yang menjadi pejabat di Kalimantan Barat. Nak, jangan berkelahi lagi di sana ya! ucap ibundanya dikutip dari buku Sutiyoso The Field General, Totalitas Prajurit Para Komando.
Pesan orang tuanya itu dijawab Sutiyoso dengan mengangguk sambil tersenyum. Tak lama tinggal di Pontianak, Sutiyoso sudah menjelajahi daerah tersebut dengan menggunakan mobil Land Rover milik kakaknya. Meski tinggal bersama kakaknya, kegemaran berkelahi tidak bisa hilang.
Saat bulan Ramadhan, kakak iparnya Ny Suparto menyuruhnya membeli pisang kepok di pasar. Dengan sigap Sutiyoso pun berangkat dengan menggunakan mobil Land Rover dan memarkirkannya di pinggir jalan. Setelah membeli satu tandan, Sutiyoso kembali ke mobil. Namun saat ingin membuka pintu mobil, kunci yang dikantonginya tidak ada. Sutiyoso lalu mencari ke sana kemari dan bertanya-tanya. Namun tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Karena penasaran, Sutiyoso kemudian mencari hingga ke ujung jalan. Di luar pasar, dia melihat anak muda yang usianya lebih tua darinya dengan gelagat mencurigakan. Sutiyoso kemudian mendekat dan bertanya.
Kamu bawa mobil gak? kata Sutiyoso.
Iya, kenapa? jawab pemuda tersebut.
Namun Sutiyoso tidak percaya sebab pada masa itu tidak banyak orang yang punya mobil. Sutiyoso kemudian mendekat dan mengambil kunci mobilnya dari saku baju pemuda tersebut.
Ini kunci siapa? tanya Sutiyoso lagi.
Ya udah, ambil aja, jawab pemuda itu lagi.
Kenapa kamu tadi saya tanya gak ngaku? Tanya Sutiyoso kesal.
Ya sudah, saya tadi dapat dari sana, jawab si pemuda.
Sutiyoso kemudian meninggalkan pemuda tersebut. Namun baru lima meter, Sutiyoso berpikir mengapa orang salah dibiarkan lepas begitu saja. Seketika naluri berkelahi Sutiyoso meledak. Sutiyoso kemudian berteriak memanggil pemuda tersebut sini kamu sambil memukul.
Keduanya pun akhirnya terlibat perkelahian. Nahas, pemuda tersebut memanggil teman-temannya yang berada di sekitar lokasi. Ternyata pemuda tersebut berdarah Madura, dan kebanyakan para pedagang pasar masih satu suku dengan pemuda tersebut.
Seketika mereka berkerumun. Bahkan beberapa di antaranya membawa pisau. Sutiyoso pun akhirnya dikeroyok puluhan orang. Sutiyoso yang sudah terbiasa berkelahi sudah berpikir akan mati.
Matilah saya sekarang, kenang Sutiyoso.
Saat dirinya terdesak, tiba-tiba dua prajurit Marinir datang. Kedatangan dua tentara yang merupakan teman Sutiyoso membuat para pengeroyok bubar dan lari tunggang langgang. Kehadiran kedua temannya itu menyelamatkan nyawa Sutiyoso.
Tetapi bagi Sutiyoso masalah belum selesai, bersama kedua temannya itu dia kembali mendatangi pemuda dan menghajarnya. Akibat kejadian itu, Sutiyoso sempat ditahan polisi. Tetapi hal itu tidak membuatnya jera.
Sutiyoso mulai instrospeksi dan berpikir untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Terinspirasi dari kedua kakaknya, Sutiyoso memutuskan untuk menjadi tentara.










