Wow, Akar Apresiasi Jepang Terhadap Para Guru Ternyata Berasal dari Era Sakoku!

Wow, Akar Apresiasi Jepang Terhadap Para Guru Ternyata Berasal dari Era Sakoku!

Nasional | BuddyKu | Senin, 28 November 2022 - 18:12
share

JAKARTA, NETRALNEWS.COM- Jumat 25 November lalu adalah Hari Guru Nasional. Hari Guru secara resmi ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada 1994 lewat penerbitan Surat Ketetapan Presiden nomor 78.

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa karena berkat mereka yang menciptakan tokoh-tokoh intelektual seperti Bung Hatta dan Bung Karno inilah Republik Indonesia bisa lahir. Terlepas tanggal 25 November diniatkan sebagai penghargaan besar untuk tenaga kependidikan tersebut, faktanya kesan dihargai masih jauh bagi para guru, terutama mereka-mereka yang masih honorer.

Organisasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meninggalkan sebuah nota kritikan bahwa pengajar-pengajar tersebut masih belum menerima penghargaan yang sebagaimana mestinya. Satriwan Salim, Koordinator dari P2G, mengatakan bahwa gaji guru untuk tingkat daerah hanyalah berkisar setengah sampai satu jutaan.

"Padahal berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial." Begitulah ungkapannya disampaikan lewat keterangan resmi organisasi pendidikan tersebut.

Sebagai bangsa yang terbilang masih lebih muda, Indonesia perlu belajar lebih banyak soal menghargai guru. Dari mana lagi ilham untuk menghargai guru bisa didapatkan kalau bukan dari Jepang?

Berdasarkan artikel "Improving Teachers Professionalism Towards Education Quality in Digital Era" karya Ary Purwatiningsih dan Pudjo Suharso, Jepang adalah negara yang sangat menghargai guru. Bagaimana tidak?

Tatkala negaranya sedang porak-poranda akibat kalah Perang Dunia Kedua, Kaisar Hirohito langsung bertanya pada para prajuritnya soal jumlah guru yang masih hidup. Peristiwa tersebut menegaskan bahwa sang kaisar mengerti bahwa guru adalah sebuah fondasi daripada negara yang maju.

Akar apresiasi bangsa Jepang kepada pengajar dapat ditelusuri dari Periode Sakoku. Meskipun periode tersebut sarat akan makna menutup diri, faktanya sistem pendidikan dan kebudayaan Jepang berkembang pesat. Hal tersebut dikonfirmasi berdasarkan buku karya William De Barry yang berjudul Sources of Japanese Tradition.

Setelah berhasil mengakhiri era Sengoku dan demi mengkonsolidasikan kuasa, Keshogunan Tokugawa banyak yang mengalihprofesikan Samurai yang menjadi bawahan mereka menjadi birokrat. Sebagai kaum ksatria, Samurai memiliki kode etik yang dikenal sebagai Bushido .

Takashi Araya dalam bukunya yang berjudul to Those Who Fight; Japans Cause and Bushido menjelaskan bahwa prinsip tersebut menekankan pada pelatihan dan pengembangan diri. Profesi baru mereka mewajibkan kompetensi yang tinggi dan oleh karenanya banyak dari mantan Samurai ini yang mendirikan instansi pendidikan.

Kegiatan belajar-mengajar biasa dilakukan di kuil. Para pelajar berasal dari berbagai kalangan entah itu rakyat jelata, Samurai, atau Daimyo sendiri. Mata pelajaran yang dipelajari antara lain adalah Konfusianisme, ilmu-ilmu pengobatan, sastra Cina klasik, kaligrafi, dan aritmatika.

Selain kuil, adapun akademi privat di mana ilmu-ilmu advance seperti taktik perang dan ilmu bumi asal Belanda diajarkan. Meskipun sekolah privat memiliki kesan yang ekslusif, faktanya murid-murid yang belajar tetap berasal dari berbagai kalangan.

Pembukaan akses pendidikan ini berikut 200 tahun kestabilan berkat pemerintah Keshogunan Tokugawa, tak aneh bilamana Jepang memiliki mental yang berorientasi pada kerja keras dan kompetensi.

Selain itu, mengingat statusnya yang disegani serta pemberian akses pendidikan yang luas, barang tentu ada banyak dari kalangan masyarakat ini yang memiliki rasa apresiasi yang tinggi terhadap warisan para ksatria ini.

Penulis: Muhamad Wafi Fahriawan

Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Topik Menarik