Memulihkan Korban Bencana (di) Stadion Kanjuruhan

Memulihkan Korban Bencana (di) Stadion Kanjuruhan

Nasional | jawapos | Selasa, 11 Oktober 2022 - 19:48
share

SENIN pagi tanggal 3 Oktober 2022 pukul 07.35, saat sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja, masuk satu pesan dari seorang teman ke telepon seluler saya. Isinya: Ada kenalan psikolog di Malang yang bisa pro bono bantu konseling anak laki-laki kelas V SD? Anak ini saat ini mengalami guncangan karena melihat ibunya yang tewas terinjak-injak massa di Stadion Kanjuruhan, Malang. Setelah sekali membaca, saya ulangi lagi membaca pesan itu.

Setelah saya selesai membaca kedua kalinya, sesaat, mungkin selama 23 detik, saya tercenung memandangi layar telepon seluler saya. Kemudian saya segera menjawab pesan itu: tunggu sebentar. Saya lalu bergegas mengontak seorang psikolog, yang adalah teman baik saya di Malang.

Tragedi dan Bencana

Peristiwa memilukan di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 adalah satu tragedi. Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mengartikan tragedi sebagai peristiwa yang menyedihkan, kejadian di Stadion Kanjuruhan tentu amat menyedihkan. Sebanyak 131 orang, di antaranya 39 anak-anak, meninggal secara mengenaskan. Setelah peristiwa tersebut, dapat dibayangkan ada ratusan dan bahkan ribuan orang yang selamat merasakan (guncangan) seperti yang dialami anak laki-laki kelas V SD yang disebutkan teman saya.

Guncangan (feeling of shock) adalah pengalaman manusiawi (human experience) sekaligus aspek kualitatif peristiwa bencana. Yang dimaksud dengan pengalaman manusiawi di sini adalah pengalaman subjektif terhadap suatu peristiwa yang didasari proses dan mekanisme psikologis yang melibatkan kesadaran (kognisi) dan emosi (afeksi). Peristiwa di Stadion Kanjuruhan adalah pengalaman manusiawi yang dirasakan bukan hanya pada saat, tetapi juga setelah peristiwa.

Lantas, apa yang sesungguhnya dialami orang sehingga peristiwa di mana dia terlibat di dalamnya menjadi bencana? Jawabannya ada pada definisi bencana yang dinyatakan McFarlane dan Norris (2006). Menurut mereka, bencana adalah a potentially traumatic event that is collectively experienced, has an acute onset, and is time-delimited.

Dari definisi bencana tersebut, ada empat hal yang mengarakterisasi bencana. Pertama, berpotensi menjadi peristiwa traumatis, menyebabkan luka secara psikologis. Luka itu muncul akibat orang mengalami (experience) atau menyaksikan (witness) peristiwa yang mengancam nyawa atau menimbulkan luka serius. Kemudian memicu perasaan takut dan tidak berdaya serta kengerian yang intens.

Kedua, dialami secara kolektif. Luka secara psikologis yang dialami seseorang dialami juga oleh banyak orang lainnya. Dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan, bukan hanya mereka yang hadir di stadion yang terluka. Yang juga terluka adalah keluarga, kerabat, sahabat, atau teman dari mereka yang menjadi korban. Akibatnya, peristiwa di Stadion Kanjuruhan bisa pula menimbulkan kedukaan secara kolektif (collective grief).

Ketiga, luka psikologis yang akut. Luka psikologis dan rasa sakit akibat luka itu muncul dengan cepat dan intens. Sehingga efek luka psikologis dan rasa sakitnya bisa terasa dramatis pada satu waktu tertentu. Keempat, tidak berbatas waktu. Luka psikologis dan rasa sakit akibat luka psikologis bisa pulih dengan cepat. Namun bisa juga pulih dengan lambat karena proses pemulihannya yang panjang atau karena luka psikologisnya tidak segera muncul (delayed onset). Bahkan, bisa saja luka psikologis telah pulih, namun ingatan seseorang terhadap lukanya itu tidak pernah hilang.

Kualitatif

Aspek kualitatif bencana berasal dari kehilangan-kehilangan (losses) yang dialami. Dalam bencana, orang dapat mengalami kehilangan yang kasatmata dan bisa dikuantifikasi seperti kehilangan anggota keluarga, rumah, atau harta benda. Begitu pula jumlah kerusakan dan nilai kerugian yang bisa dihitung pascaperistiwa. Namun, orang juga dapat mengalami kehilangan yang tidak kasatmata seperti kehilangan harapan (hope), rasa aman (sense of security), keyakinan diri (self-confidence), atau rasa percaya (trust). Kita bisa menghitung berapa, apa, dan siapa yang menjadi korban serta mengukur berapa kerugian.

Namun, sama pentingnya adalah memahami bagaimana orang, kelompok, atau keluarga memaknai kehilangan yang dialami. Misalnya, di balik seseorang yang kehilangan satu orang anggota keluarganya itu, sejauh mana ia kehilangan harapan akan masa depan. Atau masih memiliki/tidak memiliki rasa percaya terhadap orang atau pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kehilangan yang terjadi.

Pemulihan

Kembali pada apa yang menjadi awal tulisan ini, peristiwa di Stadion Kanjuruhan memantik pertanyaan: bagaimana kondisi korban apabila mendapat/tidak mendapat bantuan secara psikologis? Menerima bantuan tentu lebih baik daripada tidak menerima bantuan, apalagi bagi mereka yang mendapat luka (wound atau trauma dalam bahasa Yunani) psikologis akibat mengalami atau menyaksikan langsung peristiwa yang mengancam nyawa. Bagi mereka yang terluka, seperti anak laki-laki kelas V SD itu, adanya bantuan bisa mengakselerasi pemulihan.

Pemulihan atas luka yang dialami korban peristiwa di Stadion Kanjuruhan penting untuk diprioritaskan. Pemulihan tersebut mencakup setidaknya dua langkah kunci. Pertama, memenuhi kebutuhan mendasar korban, keluarga korban, dan mereka yang terdampak langsung. Perlu diingat, kebutuhan mendasar adalah bukan semata-mata kebutuhan fisik dasar. Untuk memulihkan, rasa aman merupakan kebutuhan mendasar dan sumbernya adalah kehadiran mereka yang menjadi dukungan sosial (social support). Dukungan sosial bisa diberikan oleh keluarga dan komunitas yang bertindak responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan untuk pemulihan.

Kedua, mendampingi korban, keluarga korban, dan mereka yang terdampak langsung. Yang utama dilakukan dalam mendampingi adalah mendengarkan dengan penuh kepekaan (listen with sensitivity). Lewat mendengarkan dengan penuh kepekaan, baik oleh mereka yang profesional konselor, psikolog, atau psikiater maupun bukan profesional, kehilangan-kehilangan, terutama yang tidak kasatmata, yang dirasakan korban bisa dikenali dan kemudian ditanggapi dengan penuh empati. Mendengarkan dengan penuh kepekaan bukan semata-mata mendengar, tetapi satu mindset untuk membuat korban tidak merasa sendiri. Korban tidak perlu dipaksa untuk bercerita tentang detik-detik peristiwa yang dialami.

Yang terpenting dalam memulihkan adalah menemani dan memberikan dukungan. Kepekaan dan empati adalah kunci bagi siapa saja yang ingin mendukung pemulihan korban, keluarga korban, dan mereka yang terdampak langsung bencana Stadion Kanjuruhan. (*)


*) DICKY PELUPESSY, Dosen Fakultas Psikologi dan Program Magister Manajemen Bencana Universitas Indonesia

Topik Menarik