Menyempurnakan Politik Gagasan

Menyempurnakan Politik Gagasan

Nasional | jawapos | Senin, 22 Agustus 2022 - 19:48
share

POLITISASI agama dan politik identitas telah menimbulkan polarisasi dan keterbelahan warga bangsa. Wajar jika dalam pidato kenegaraan pada sidang tahunan MPR RI bersama DPR dan DPD RI (16/8/2022) Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan: Jangan lagi ada politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial.

Mendorong ke permukaan apa yang disebut dengan politik gagasan (politics of ideas) adalah ikhtiar solusi atas menyeruaknya politisasi agama dan politik identitas. Ada yang menggembirakan, yakni munculnya kesadaran baru partai politik utama menjelang Pemilu 2024 ini dengan mengusung politik gagasan daripada politik aliran atau politik identitas. Representasinya adalah tiga koalisi, mulai Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas Partai Golkar-PPP-PAN, koalisi Partai Gerindra-PKB, hingga koalisi Partai Demokrat-Nasdem-PKS serta poros PDIP (Jawa Pos, 15/08/2022).

Pengalaman sepuluh tahun terakhir memberikan pelajaran penting bahwa politik aliran dan atau politik identitas tidak membantu penguatan kohesi sosial kebangsaan. Alih-alih, fraktur sosial lebih kerap mengemuka dan mengharu biru di atas panggung kebangsaan. Polarisasi sosial akhirnya menjadi penanda kuat atas fraktur sosial tersebut. Pelajaran yang diberikan para pendiri bangsa ini tentang pengutamaan nilai dan kohesi kebangsaan daripada aliran pun seakan hilang dari kesadaran dan basis kognitif publik.

Fakta di atas memberikan kesadaran baru kepada hampir semua pemangku kepentingan politik di negeri ini. Lelah hati, lelah pikiran, dan bahkan lelah fisik akibat menguatnya politik aliran dan atau politik identitas menjadi konteks psikososial-politik bagi perlunya praktik jaga jarak dari politik aliran dan atau politik identitas menuju penguatan kohesi kebangsaan.

Pada titik inilah, rangkaian awal dalam derap menuju Pemilu 2024 menjadi saksi mulai menguatnya kesadaran atas pentingnya politik gagasan. Bukan lagi agama, aliran, kepercayaan, dan bahkan fakta kesukuan yang menjadi komoditas politik untuk pemenangan kontestasi, melainkan ide-ide cemerlang yang diproduksi untuk memperkuat lahirnya kebajikan bersama melalui instrumen politik kekuasaan. Dalam politik gagasan, semakin dekat dan konkret gagasan yang ditawarkan dengan kebajikan bersama, semakin memberikan daya tarik kepada publik seluas-luasnya.

Mayoritas dan minoritas adalah fakta sosial-demografis. Tetapi, fakta itu harus dikonversi dan sekaligus ditransformasikan menjadi bahan dasar bagi materi kebijakan politik menuju penentuan kebajikan dan kemaslahatan publik seluas-luasnya. Politik aliran dan atau politik identitas mungkin hanya membantu untuk memenangi peperangan politik (winning the political war), tapi tidak akan otomatis bisa memenangi pertempuran politik (winning the political battle). Yang disebut terakhir hanya terpenuhi saat nilai kebangsaan bisa semakin diperkuat melalui penguatan kebajikan bersama daripada sekadar kemenangan politik kuasa.

Mengapa begitu? Sederhana sekali jawabannya. Bangsa ini dibangun di atas kebinekaan. Multikulturalisme lahir jauh sebelum kemerdekaan. Karena itu, semua denominasi dalam bentuk agama, suku bangsa, bahasa, dan ras memiliki saham yang sama atas Indonesia.

Menguatnya kesadaran atas pentingnya politik gagasan dalam perkembangan terkini perpolitikan Indonesia memberikan harapan besar kepada kembalinya kesadaran keindonesiaan kita. Kita memang telat dari sisi desain dan aksi politik gagasan. Negara yang lebih maju seperti Amerika Serikat (AS) memang telah melakukan aksi konkret atas politik gagasan dimaksud. John Kenneth White (lihat bukunya The Politics of Ideas, 1998), sebagai contoh, menjelaskan bahwa politik gagasan menjadi isu publik yang sangat mengemuka di Negeri Paman Sam sejak tahun 1990-an.

Hanya, pengalaman AS membuktikan bahwa politik gagasan itu sempat terhuyung dan lalu melemah pada kurun terakhir. Menangnya Donald Trump pada Pemilu 2016 menjadi saksi atas menguatnya kembali politik identitas dalam panggung politik nasional AS. Bangsa Amerika pun mengalami polarisasi dan fraktur sosial yang cukup serius sejak saat itu. Penguatan polarisasi dan fraktur sosial itu kembali terjadi pada Pemilu 2020 lalu saat Trump harus berhadapan dengan Joe Biden.

Harus disebut, politik gagasan mendapatkan tantangan serius dari politik bau busuk informasi. Menguatnya media sosial diiringi dengan membanjirnya berbagai informasi yang, dalam banyak hal, masyarakat pun tak mampu memverifikasi dan memvalidasi kebenarannya. Akhirnya disinformasi dan bahkan informasi palsu (hoax) pun tak bisa dihindarkan dari ruang publik.

Literasi digital, karena itu, menjadi kebutuhan mendesak yang harus diperkuat saat politik gagasan diupayakan untuk mengemuka. Upaya tersebut harus dilakukan dengan pendekatan pentahelix yang mempersyaratkan partisipasi aktif nan sinergis antara pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media serta partai politik dalam mengendalikan laju produksi hoaks itu. Itu karena negara sebesar dan semaju AS pun harus berjibaku dengan persoalan hoaks dimaksud.

Lebih dari itu, partai politik penting untuk menghadirkan politik gagasan ke dalam politik kehadiran (politics of presence). Anne Phillips (From a Politics of Ideas to a Politics of Presence?, 1998) menyebutkan, politik kehadiran ini dibutuhkan untuk memperkuat pilar sosiologis atas gagasan politik yang diproduksi dan dipraktikkan di tengah masyarakat oleh para pemangku kepentingan politik, terutama partai politik, dalam merespons perbedaan.

Politik kehadiran ini meniscayakan partai politik untuk terus membersamai kemajemukan masyarakat. Tidak hanya melakukan edukasi politik, tapi juga sekaligus melakukan pemberdayaan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan dan aksi sosial politik yang dilakukan secara terstruktur dan berkelanjutan.

Mendadak merakyat adalah fenomena masa lalu yang kerap bisa dengan mudah disaksikan di ruang publik, persis menjelang perhelatan kontestasi politik, mulai pemilu hingga pilkada. Praktik tersebut justru kontraproduktif bagi politik gagasan karena hanya cenderung berdimensi pencitraan. Untuk itu, penting bergerak dari sekadar politik gagasan menuju politik kehadiran di tengah masyarakat yang plural secara terstruktur dan berkelanjutan agar bangsa ini terhindar dari politik aliran dan politik identitas yang berujung pada lahirnya polarisasi dan fraktur sosial, seperti yang diperingatkan Presiden Jokowi di atas. (*)


*) AKH. MUZAKKI, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Pengurus Komite Komunikasi Digital Provinsi Jawa Timur

Topik Menarik