Perjalanan Kesembilan Puluh Sembilan

Perjalanan Kesembilan Puluh Sembilan

Nasional | jawapos | Minggu, 8 Mei 2022 - 06:11
share

Setelah mengamati kembali catatannya, Penulis sadar rencananya kali ini suci. Sambil duduk, ia menambahkan di liak-liuk rute yang sudah digambarnya dengan pensil warna-warni: tempat-tempat spiritual. Ia berniat memberikan tajuk istimewa untuk rencananya ini. Namun, sampai ojek online yang ia pesan datang, tak ada satu ide pun muncul.

IA tutup dan masukkan agendanya ke tas tukang pos yang kulitnya mulai pecah-pecah. Ia memutarkan pandangan. Lemari plastiknya sudah kosong. Isinya berpindah ke ransel menggemuk. Di sampingnya, tumpukan buku agenda dengan tempelan kertas menyembul di sana-sini sudah diikat tali plastik. Kasur busanya juga sudah didirikan. Sepasang gelas piring sudah dicuci. Tiga tahun terakhir ia berumah di situ, tetapi baru malam ini ia sadar. Betapa asingnya. Betapa jauhnya.

Di halaman, ojek bertanya dan memastikan kembali lokasi tujuannya. Warung Sate Pak Wirya tujuan Penulis memang tidak favorit. Ia suka warung yang sepi, yang bisa dimiliki seutuhnya, yang penjual dan dirinya bisa bercengkerama. Sayangnya, dengan demikian, warung-warung itu juga di ambang kebangkrutan. Di antara banyak yang gulung tikar seperti tercatat terperinci di agendanya, warung sate itu salah satu yang masih bertahan.

Sebelum pergi, Penulis akan menemui karibnya, Pemusik. Di balik bungkuk pengendara ojek, ia mengamati perempuan-perempuan memakai mukena beriringan menuju masjid, seperti lilin-lilin besar yang mengarus pelan di sungai malam. Lilin-lilin itu membanyak dan menghangat di sepertiga Ramadan. Doa-doa dan harapan naik ke langit berduyun-duyun bersama aroma nastar dan keju edam.

Pemusik, yang berkacamata tebal dan berambut ombak, tengah menikmati sate lemak kambing sebagai makanan pembuka ketika Penulis sampai. Penulis langsung duduk di sampingnya, tanpa salam bergabung menenggelamkan diri dalam kenikmatan lemak.

Puasa? Bagaimana dengan proyek? Pemusik membuka percakapan.

Hari ini tidak. Proyek sudah selesai. Aku membuatkan rangkuman keseluruhan disertasi ibu doktor itu, mengantarnya ke penerjemah dan menyarankan beberapa jurnal internasional yang bisa disasar, lanjutnya, dan akan ada perayaan besar atas kesuksesannya. Di sebuah hotel bintang lima dekat Candi Borobudur.

Kamu datang?

Mana mungkin. Aku itu bagian yang paling harus disembunyikan.

Pasti juga tidak menarik. Aku cuma penasaran, bagaimana ibu itu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan penguji jika menulis disertasinya saja tidak, komentar Pemusik.

Itu bagian dari paket membayarku. Aku mempersiapkan prediksi pertanyaan dan jawaban-jawabannya.

Bahkan kamu belum menyelesaikan risetmu sendiri. Bertahun-tahun mondar-mandir di kampus seperti calo, mencari-cari orang malas. Pemusik itu mencibir dengan napas berbau kambing.

Itu menyakitkan. Eh, musikmu pasti didengar banyak orang di Cannes. Orang-orang dari seluruh dunia! Selamat ya! Penulis mengganti topik pembicaraan.

Aku tak peduli. Lagian aku rasa musik itu kurang cocok untuk mengiringi filmnya.

Pemusik adalah anak kepala suku penguasa kebun karet di Palembang yang selalu kabur dan sembunyi. Keseluruhan tubuhnya mencerminkan kemiskinan kecuali jika orang tahu kamarnya, yang penuh berbagai alat musik, menjadi studio kecil yang canggih, dengan ribuan buku terserak yang tidak bisa dibeli oleh satu dua lembar uang. Sehari-hari Pemusik meringkuk di dunia kecilnya itu, menenggelamkan diri dalam nada dan kata-kata. Sesekali Penulis datang berkunjung jika kebetulan ia butuh buku, butuh teman, butuh makan, dan butuh-butuh lainnya. Mereka satu kelas, satu angkatan, dan satu pemikiran, terutama dalam hal menghindar dan menutup diri. Sesekali, orang dari luar mendengar ada pemuda tak butuh uang membuat musik apik. Lalu orang itu datang, membawa musik darinya, mempromosikan, mungkin juga dapat uang banyak. Kadang kala, Pemusik dapat juga bayaran besar, tetapi sering kali kontraknya berantakan. Dan ia cuma nyengir kuda sambil nyinyir seperti selalu.

Jadi, apa rencananya kali ini? Pemusik langsung ke tema pertemuan.

Kita pesan dulu saja. Aku yang bayar. Penulis percaya diri. Ia menghampiri penjual sate dan merunut pesanannya yang panjang sambil basa-basi ini itu. Dari caranya berpakaian, bertindak tutur, beramah-tamah, penulis tampak seperti priayi yang lompat dari masa lalu. Di saat semua orang tenggelam dengan teknologi, ia bertahan dengan buku agendanya, pensil warna-warni, kliping, peta-peta, dan tulisan tangan bersambung miring. Jika ia mendapatkan pekerjaan, ia akan pergi ke perpustakaan kota atau pusat arsip, bekerja dengan hitungan jam yang tepat, sambil membawa laptop Toshiba besar yang berusia hampir sama dengan dirinya. Setahun terakhir dia mempunyai telepon genggam. Pemusik memberikannya paksa kepada Penulis setelah mendapatkannya sebagai honor membuat jingle toko elektronik. Sampai sejauh ini, Penulis priayi cuma bisa mengumpulkan kekayaan rencana dan bayangan-bayangan tentang perjalanan. Pengetahuannya tentang topografi Indonesia sangat mengejutkan. Di kamarnya yang kosong, buku agenda puluhan seri merekam jejak-jejak pengetahuannya itu.

Sepertinya ini saatnya aku pulang kampung. Seperti Bang Toyib, tiga kali puasa tiga kali Lebaran tak pulang. Penulis mengaku sambil menunjukkan rute di agendanya. Pemusik melirik sekilas sebelum kembali mengamati siluet sawah yang ditimpali lampu dari jalan-jalan yang jauh. Mereka suka Warung Sate Wiryo karena posisinya yang nyelempit di lautan hijau sawah ini. Duduk di situ dan memandangnya kadang lebih nikmat dari butiran-butiran daging kambing muda yang kian tahun kian mengecil.

Jadi, aku akan naik kereta sampai Purworejo. Tiket kereta jarak jauh sudah habis. Tersisa tiket kereta eksekutif yang aku tak mungkin beli. Aku mabuk AC. Di Purworejo, aku tinggal semalam di rumah teman. Dia sedang kesulitan dengan data tesisnya tentang masyarakat penghayat kepercayaan di Banyumas yang terlampau banyak dan semrawut. Aku dimintanya membantu membuang sebagian data. Lucu sekali!

Jadi tetap bekerja di tengah-tengah perjalanan? Pemusik itu memotong.

Sedikit! Tapi itu tidak penting. Ini yang menarik. Dari Purworejo sampai Kebumen, kami akan naik sepeda menyusuri Jalan Daendels. Temanku itu akan mudik ke rumah neneknya di Kebumen. Aku dipinjami sepeda jengki ibunya. Kami akan makan bengkuang di Prembun, minum dawet hitam dan makan sate di Ambal. Klise sekali. Tapi sudah kutandai sebagai titik-titik spiritual. Penulis bersemangat sambil menunjukkan peta manual ciptaannya.

Spiritual? Pemusik itu kebingungan.

Nanti kujelaskan. Dari Kebumen, aku akan naik bus ekonomi sampai Cilacap. Ada pengamen yang mangkal di Terminal Gombong, yang demi Tuhan, mengalahkan grup band jazz trio mana pun yang kukenal. Aku mau dengarkan mereka.

Bukankah ini rangkuman dari rencana-rencana sebelumnya? Aku ingat perihal pulang kampung dengan sepeda menyusuri pantai selatan. Atau perjalanan cita rasa menyusuri warung-warung desa. Atau perjalanan naik kereta dari timur ke barat Jawa. Atau perjalanan susur sungai dari selatan ke utara Jawa.

Benar! Kau ingat semuanya, ya. Kau tahu, merencanakan perjalanan itu kenikmatan. Seperti sudah separo perjalanan itu sendiri.

Pemusik mengangguk-angguk. Lalu mengapa spiritual? Apa karena mudik Lebaran? tanyanya.

Bukan! Ceritanya panjang. Kamu suka nonton film tentang mafia?

Kadang-kadang. Dulu. Apa hubungannya?

Begini. Beberapa tahun lalu, ketika aku SMA tepatnya, ada seorang laki-laki paro baya yang berencana berbisnis kemiri. Datanglah ia ke pulau penghasil kemiri di timur Indonesia. Ia bekerja pada salah satu juragan kemiri di sana. Ia mempelajari seluk-beluk perkemirian. Ketika ia sudah paham, ia pulang ke Jawa dan mempelajari pasar kemiri. Ia bekerja pada salah satu distributor terbesar yang ternyata masih satu suku dengannya. Ia bahkan berhasil meyakinkan distributor itu tentang produsen kemiri kualitas bagus dan murah di timur Indonesia itu. Ia menghubungkan distributor itu langsung dengan produsennya. Mereka pun bersepakat. Laki-laki itu pun membawa uang distributor dan kembali ke pulau itu. Sebelum sampai, ia berhasil meyakinkan produsen kemiri itu untuk mengangkut satu perahu penuh kemiri ke lautan. Berton-ton. Sampai di sana, ia dan beberapa temannya membelokkan perahu ke rute yang lain. Rute yang misterius. Mereka menghilang. Lari bersama uang dan kemirinya. Seperti di film kan?

Pemusik itu memandang Penulis dan mencium kegetiran.

Laki-laki itu ayahku. Distributor itu paman jauhku. Pamanku sempat menghubungi adik-adikku dan membuat mereka murung. Ia juga menghubungi ibuku dan membuatnya linglung. Ia bahkan datang ke rumah, mengambil apa yang bisa diambil. Awalnya kami menghindar dan bersembunyi di sana-sini, tetapi tak berguna. Mereka juga mengerti, mau diperas seperti apa pun, aku tak bisa mengeluarkan banyak uang. Yang aku dengar, produsen itu juga mengeluarkan sekelompok bajak laut untuk mengejar perahu ayahku. Sejak peristiwa itu, aku sempat ingin jadi anak nakal, minum dan bolos sekolah. Namun nakal pun butuh biaya, sementara kami bangkrut kering. Anak-anak nakal lainnya pun membuangku. Lalu timbullah ide lain di otakku. Aku mau menjadi pintar sekali supaya bisa pergi jauh. Dan menjadi pintar tak butuh banyak uang, saat itu. Bertemulah kita di universitas. Aku menenggelamkan diri dalam buku-buku dan tidak pergi ke mana-mana selain dari kamar itu. Aku bekerja dari satu warteg ke warteg yang lain demi bisa makan gratis. Sesederhana itu. Di semester keempat, bacaanku cukup membuatku bertahan menjadi seperti yang sekarang. Aku bekerja dengan orang-orang pintar. Aku mulai bisa mematut diri dan rapi. Pada awalnya, aku masih menelepon ibuku, memastikannya baik-baik saja. Seperti anak yang normal, aku meminta uang. Tetapi sebelum aku bicara, ibuku sudah terisak. Setiap aku mau minta tolong, ibu dan adik-adikku merangsek dengan masalah berkali lipat. Aku berhenti menelepon mereka, tetapi juga penasaran setengah mati. Ratusan niat dan rencana perjalanan, puluhan yang sudah kususun lengkap di agendaku, adalah jejak di mana aku ingin sekali pergi, namun akhirnya bertahan. Aku tak sanggup pergi, selain juga, yah begitulah, uangku pas-pasan, kukirim berkala ke adik-adikku. Memang benar katamu, rasa kasih adalah kutukan yang menyamar.

Banyak sekali peristiwa dan sangat menyebalkan karena aku tak menduganya. Aku tahu kamu miskin, tetapi tidak mengira kamu lembut. Tapi apa hubungannya dengan titik-titik spiritual itu? Pemusik melemahkan suara walau masih sinis.

Begitulah. Aku pandai menyembunyikan semuanya. Kata ayahku, ada atau tidak ada uang, senang atau sedih, kita harus menunjukkan yang baik-baik supaya orang lain percaya dengan kemampuan kita. Dan tempat-tempat spiritual itu adalah titik kenanganku bersamanya. Dulu sekali, sewaktu ayahku jualan kayu, ia mengendarai Colt Bak menyusuri desa-desa pelosok sampai Purworejo untuk melihat pohon-pohon warga. Aku menemaninya mengukur, memperhatikan caranya bercengkerama dan menawar, dan kami selalu kembali dengan kayu-kayu terbaik. Kemampuan silat lidahnya tinggi. Kenangan itu yang membuatku jatuh cinta dengan perjalanan. Meskipun sakitnya sampai ke ulu hati, aku sadar punya kebahagiaan dengannya. Ada dirinya di diriku. Dan dirinya itulah yang menjadikan aku bertahan sampai sekarang. Sesuatu yang ingin aku buang, tetapi ternyata keras kepala menopang aku punya kehidupan. Menerima paradoks inilah yang menjadikannya spiritual.

Pemusik kehilangan komentar. Ia mengamati catatan di agenda Penulis. Dari jauh pengeras suara masjid melafalkan ayat suci mengalun timbul tenggelam digoyang angin.

Apa judulnya? tanya Pemusik.

Ide judulnya baru saja muncul. Seperti nomor di agendaku, perjalanan kesembilan puluh sembilan. Perjalanan, bukan rencana. Penulis menjawab mantap.

Pertimbangkan macet. Pemusik menjadi dirinya lagi.

Aku sudah mencatat rute-rute rahasia untuk menghindarinya.

Ibumu tahu?

Dia menangis saja ketika kukabari.

Angpao untuk saudara-saudaramu? Pemusik semakin mengusik.

Ibu doktor itu memberiku banyak, cukup untuk saudara atau yang pura-pura jadi saudara.

Pemusik bernapas lega. Penulis tersenyum simpul. Dua piring sate merah segar pun terhidang. (*)

2022

Topik Menarik