Kisah Perjanjian Giyanti Bikin Pangeran Singosari Murka ke Sultan Hamengkubuwono I

Kisah Perjanjian Giyanti Bikin Pangeran Singosari Murka ke Sultan Hamengkubuwono I

Infografis | sindonews | Sabtu, 27 April 2024 - 07:39
share

Perjanjian Giyanti membawa konsekuensi konflik di internal Mataram Islam. Bahkan konflik itu terus bermunculan di wilayah-wilayah yang dikuasai Mataram, karena adanya hasutan dari pihak-pihak tak bertanggungjawab, salah satunya VOC Belanda.

Pembagian kekuasaan yang tidak sesuai keinginan menjadikan salah satu kemunculan pertempuran di kala itu. Apalagi saat itu beberapa wilayah Jawa dibagi menjadi dua, sehingga memunculkan ketidakpuasan dari Pangeran Singosari.

Ia merupakan putra dari Susuhunan Amangkurat IV, yang bertahta antara 1719 - 1726, dari Ratu Kadipaten. Pangeran Singosari juga konon masih adik tiri dari Sultan Hamengkubuwono I, sekaligus masih merupakan paman Pakubuwono III.

Pangeran Singosari juga dikenal sebagai Pangeran Arya Prabujaka atau Prabujaya. Dia mulai memberontak kepada keraton kakak tirinya yakni Pakubuwono II di Kartasura ketika berusia 16 tahun pada 1743.

Hal itu dikutip dari Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun, sekitar 1779 1810. Setelah Perjanjian Giyanti, dia tidak mau tunduk kepada sultan maupun sunan.

Agar lebih efektif, dia pergi ke Malang bersama anaknya yang bergelar raden mas. Di Malang, Pangeran Singosari bersekutu dengan bupati setempat, Raden Tumenggung Malayakusuma, yang saudara perempuannya dia nikahi.

Sebenarnya, Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III sudah tidak berminat memerangi Pangeran Singosari. Namun, mereka tetap berupaya agar sang pangeran bisa menyerahkan diri.

Sultan telah beberapa kali mengirimkan utusannya membujuk Pangeran Singosari agar menyerah.Dia juga berjanji akan memberikan penghidupan yang baik, bagi Singosari di Ibu Kota kesultanan.

Ajakan beberapa kali dari sultan tersebut rupanya tidak menggoyahkan Pangeran Singosari untuk terus berjuang melakukan perlawanan hingga darah penghabisan. Berdasarkan sumber lokal Perdikan-Pesantren Tegalsari yang telah berdiri sejak 1742.

Sultan Hamengkubuwono I meminta pendapat dari salah seorang pejabatnya yang berpangkat tumenggung guna menangkap Pangeran Singosari. Sang tumenggung memberikan saran agar sultan mengirim perintah untuk meminta bantuan kepada Kiai Ageng Muhammad Besari

Dia menjabat sebagai Kiai Perdikan-Pesantren Tegalsari I (1742-73) guna menangkap Pangeran Singosari di Malang. Pasukan khusus pun disiapkan untuk menangkap Pangeran Singosari.

Sultan Hamengkubuwono I mengirimkan pasukan di bawah komando Raden Ronggo Prawirodirjo I, untuk memberikan serangan kejutan pada pemberontakan di malam hari.

Namun, serangan tersebut belum berhasil melumpuhkan Pangeran Singosari bersama pasukannya. Dari Kediri, mereka memilih mundur hingga wilayah Malang. Pasukan gabungan Jawa dan VOC menuju ke arah pegunungan selatan Malang.

Hal itu untuk mengejar Pangeran Singosari dan pasukannya. Tentu saja, Kiai Ageng Muhammad bin Umar ikut serta dalam rombongan itu. Setelah sampai di Srengat, kini masuk wilayah Kabupaten Blitar, pasukan gabungan tersebut mendirikan perkemahan untuk sementara waktu.

Setelah sekian lama akhirnya Pangeran Singosari mau menyerahkan diri, usai perkemahannya dimasuki oleh 40 prajurit dari Jawa dan VOC Belanda Pangeran pemberontak itu akhirnya mau menyerah di meja perundingan.

Pada 16 Juli 1768 dengan mengajukan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

Keberhasilan penangkapan Pangeran Singosari yang dilakukan oleh gabungan pasukan Jawa dan VOC, serta yang melibatkan Kiai Ageng Muhammad bin Unan dari Perdikan-Pesantren Tegalsari menunjukkan bahwa kuatnya Kiai Perdikan Tegalsari ketika itu.

Topik Menarik