Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Noel: Hati Prabowo Seputih Salju, Memaafkan Tanpa Dendam
JAKARTA, iNews.id - Ketua Umum Prabowo Mania 08, Immanuel Ebenezer menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong sebagai bukti kepemimpinan yang langka di Indonesia dan bermartabat. Dia menyebut sikap Prabowo mencerminkan hati yang "seputih salju", tidak mendendam dan mampu memaafkan mereka yang pernah melukainya secara politik.
"Jarang ada pemimpin yang memilih memaafkan, bahkan kepada mereka yang pernah menebar fitnah, membangun narasi buruk, dan mengukir luka politik di masa lalu. Di saat banyak pemimpin lebih sibuk menghitung siapa kawan dan siapa lawan, Prabowo Subianto justru menunjukkan sesuatu yang jarang terlihat: hati yang seputih salju, tulus tanpa pamrih, besar tanpa batas," kata Noel yang saat ini menjabat Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Sabtu (2/8/2025).
Prabowo Telekonferensi dengan Keir Starmer, Bahas Rencana Kemitraan Strategis Indonesia-Inggris
Pria yang akrab disapa Noel ini mengatakan, dirinya yang dulu berada di seberang barisan Prabowo saat Pilpres 2014 dan 2019, kini menyaksikan langsung bagaimana karakter sejati itu muncul ke permukaan. Sebagai Ketua Relawan Prabowo Mania 08, Noel melihat amnesti yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong bukan sekadar kebijakan hukum, melainkan cerminan jiwa seorang pemimpin yang berani memilih jalan memaafkan ketimbang membalas.
"Jalan yang hanya bisa ditempuh oleh orang-orang yang hatinya telah berdamai dengan masa lalu," ujarnya.
Dia menyebut, kasus Hasto menjadi contoh paling jelas. Hoaks mengenai "tamparan" yang diduga dilakukan Prabowo terhadap seorang wakil menteri, sempat jadi senjata politik yang menggores reputasi Prabowo. Kala itu, Hasto menyatakan, "kalau tidak ada asap, tidak mungkin ada api," yang secara tidak langsung dianggap ikut menyulut kegaduhan.
Dalam politik, tuduhan seperti itu biasanya berujung panjang, menjadi dendam, tuntutan hukum, dan balas menyerang. Tetapi Prabowo memilih sebaliknya. Alih-alih menutup pintu dan memperpanjang perseteruan, ia malah membuka ruang maaf dan memberikan amnesti.
"Inilah titik di mana publik diajak melihat, bahwa kebesaran jiwa seorang presiden tidak lahir dari kata-kata, tetapi dari keberanian bertindak tanpa dendam," ujar Noel.
Hal serupa juga berlaku pada kasus Tom Lembong, yang sempat dituduh terlibat dalam korupsi impor gula. Kasus itu ramai disebut sebagai "korban pesanan istana" oleh sebagian pendukungnya. Bukannya memperkeras proses hukum, Prabowo justru menghentikannya melalui abolisi.
"Bagi sebagian orang, ini mungkin kontroversial. Tapi di mata saya, ini bentuk ketulusan yang sulit dibantah. Ketulusan untuk melepaskan masa lalu, mengutamakan masa depan, dan mengembalikan fokus bangsa pada persatuan, bukan perpecahan," kata Noel.
Meski demikian, Noel mengingatkan bahwa kebaikan hati tidak selalu menjamin perubahan perilaku dari mereka yang dimaafkan. Ia mengibaratkan, di tengah putihnya salju, bisa saja ada serigala berbulu domba yang tetap lapar dan rakus.
Artinya, memaafkan tidak selalu membuat orang berubah. Ada yang tetap setia pada keburukannya, ada yang memanfaatkan kebaikan itu untuk berburu kembali. Di titik ini, kebesaran hati Prabowo diuji, apakah ia akan tetap konsisten memaafkan, atau suatu saat harus bertindak tegas ketika kebaikan itu dikhianati.
Hadapi Persita Tangerang, Malut United Siap Cetak 6 Kemenangan Beruntun di Super League 2025-2026!
Noel menegaskan, pernyataannya bukan sekadar pujian kosong, melainkan refleksi kritis tentang kualitas kepemimpinan yang
jarang muncul di tengah politik transaksional. Dia melihat langsung bagaimana seorang Prabowo memilih jalan memaafkan, bukan karena lemah, tapi karena sadar dendam tidak pernah membangun bangsa. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi menandai awal baru bagi perjalanan Indonesia ke depan.
Dia menambahkan, ketika publik masih terjebak dalam prasangka dan tuduhan lama, amnesti dan abolisi ini menjadi pengingat bahwa presiden yang mereka pilih kini berdiri di atas semua luka masa lalu.
"Prabowo mengajarkan kebesaran seorang pemimpin bukan diukur dari seberapa banyak lawan yang ia kalahkan, tetapi seberapa banyak lawan yang ia ampuni. Di situlah, sejarah akan menilai dengan jujur, bahwa kebesaran itu nyata, bukan sekadar narasi politik," katanya.










