Tim Hukum Ganjar-Mahfud Ungkap 4 Fakta Sidang Sengketa Pilpres, Pelanggaran Etika hingga Nepotisme

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Ungkap 4 Fakta Sidang Sengketa Pilpres, Pelanggaran Etika hingga Nepotisme

Terkini | inews | Kamis, 18 April 2024 - 13:00
share

JAKARTA, iNews.id - Tim Hukum Ganjar-Mahfud mengungkap empat fakta yang terjadi selama persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Pertama, adanya pelanggaran etika di sepanjang perhelatan Pilpres 2024. 

"Adalah hal yang tak terbantahkan bahwa Pilpres 2024 diselenggarakan atas dasar pelanggaran etika berat yang bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/ar puu/ Romawi 21/ 20023 dan dilanjutnya dengan penerimaan Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024," kata anggota Tim Hukum Ganjar-Mahfud, T.M Luthfi Yazid, dalam Kesimpulan Gugatan PHPU Pilpres 2024 yang dikutip Kamis (28/4/2024).
 
Kedua, telah terjadi nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meski Paslon 2 mencoba menyangkalnya.

Ketiga, telah terjadi abuse of power terkoordinasi di semua lini pemerintahan. Keempat, telah terjadi pelbagai pelanggaran prosedur Pemilu selama periode Pilpres 2024 baik sebelum, pada saat, dan setelah hari pemungutan suara, termasuk dalam proses rekapitulasi suara. 

Atas pelanggaran etika berat terkait putusan MK Nomor 90 yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka maju dalam kontestasi Pilpres 2024, Luthfi mengutip pernyataan Franz Magnis-Suseno atau Romo Magnis, imam Katolik dan pengajar filsafat yang menjadi saksi ahli di sidang PHPU. 

"Di sini penting untuk mengutip pendapat ahli Franz Magnis Suseno yang menyatakan sudah jelas mendasarkan diri pada suatu keputusan yang diambil dengan pelanggaran etika yang berat merupakan pelanggaran etika berat sendiri. Penetapan seseorang sebagai calon wakil presiden yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan satu pelanggaran etika berat juga merupakan pelanggaran etika berat," ujarnya.

Dia menuturkan, sebagaimana ditunjukkan  bukti-bukti pemohon selama penyelenggaraan Pilpres 2024, pelanggaran etika terus-menerus terjadi khususnya yang dikomandoi Presiden Jokowi.

Bentuk pelanggaran etika utama yang tentunya juga pelanggaran hukum yang terjadi adalah nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo yang melahirkan abuse of power terkoordinasi guna memenangkan paslon 2 dalam satu putaran pemilihan pada Pilpres 2024. 

Nepotisme sebagaimana disepakati bersama oleh para pihak adalah hal yang dilarang khususnya bagi penguasa nomor satu di negeri ini. Terpusatnya kekuasaan akibat sistem pemerintahan Presidensial yang dipilih oleh Indonesia menyebabkan nepotisme yang dilakukan oleh Presiden menimbulkan dampak yang luar biasa luas. 

Luthfi menjelaskan, nepotisme yang terjadi dimulai dari persiapan dasar hukum bagi Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024 yang dilakukan bersamaan dengan penyiapan jaringan untuk mendukung Gibran Rakabuming Raka dan ditutup dengan tindakan-tindakan guna memastikan paslon 2 memenangkan Pilpres 2024 dalam satu putaran pemilihan. 

"Meski ada upaya untuk menyangkal dan bahkan mengalihkan arah pembuktian, namun toh pada akhirnya nepotisme yang ada terbukti. Pelanggaran etika yang juga terjadi dan terbukti di dalam persidangan adalah abuse of power yang terjadi di semua lini mulai dari Kementerian atau lembaga TNI-Polri, pemerintah daerah, maupun pemerintah desa di sepanjang proses Pilpres 2024," tuturnya. 

Terbuktinya nepotisme dan abuse of power ini, lanjutnya, membuktikan bahwa benar telah terjadi pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada Pilpres 2024. 

Hal ini tentunya membuat penyelenggaraan Pilpres 2024 beserta dengan hasilnya tidak sesuai dengan amanat Pasal 22e ayat 1 UUD 1945. Dalam perspektif prosedural pun fakta di dalam persidangan telah menunjukkan bahwa Pilpres 2024 dipenuhi dengan pelanggaran prosedur pemilu yang tentunya membuat proses dan hasil dari Pilpres 2024 tidak bisa dipercaya. 

"Hampir tidak ada provinsi di Indonesia di mana jumlah surat suara cocok dengan jumlah pemilihnya. Jika pelanggaran prosedur macam ini tidak mendapatkan perhatian yang layak sudah barang tentu pelanggaran prosedur yang lebih besar akan terjadi pada pemilu berikutnya, dan yang terdekat adalah Pemilu kepala daerah di penghujung 2024," pungkasnya.

Topik Menarik