Strategi Ekonomi China Picu Ketegangan Sistemik di Tatanan Global

Strategi Ekonomi China Picu Ketegangan Sistemik di Tatanan Global

Global | sindonews | Senin, 19 Mei 2025 - 14:41
share

Kebangkitan ekonomi China bukan terjadi di atas dasar persaingan yang adil, melainkan ditopang intervensi negara secara masif dan sistematis untuk menguntungkan perusahaan-perusahaan dalam negeri.

Pada April 2025, data dari Administrasi Umum Bea Cukai China menunjukkan ekspor China ke Amerika Serikat (AS) anjlok 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya—penurunan tajam yang dipicu tarif AS hingga 145 persen, di saat Beijing berupaya mengalihkan pengiriman barang ke pasar global lainnya.

Laporan Perwakilan Dagang AS kepada Kongres tahun 2024 menyoroti ketidakpatuhan kronis China terhadap kewajiban Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), seperti regulasi pengadaan yang tidak transparan, pemaksaan transfer teknologi, dan subsidi tersembunyi kepada BUMN yang memproduksi barang di bawah harga pokok demi menyaingi kompetitor asing.

Mengutip dari Financial Post, Senin (19/5/2025), taktik semacam itu memperbesar surplus dagang China dengan mengorbankan inovasi global, memicu kebijakan balasan, serta menaikkan harga barang konsumen di berbagai negara—semua ini mengancam legitimasi sistem perdagangan berbasis aturan.

Langkah ekonomi oleh Partai Komunis China tak hanya berupa tarif dan subsidi, tetapi juga mencakup pencurian kekayaan intelektual dan spionase siber.

Ringkasan eksekutif FBI memperkirakan bahwa pemalsuan barang, pembajakan perangkat lunak, dan pencurian rahasia dagang merugikan ekonomi AS sebesar USD 225–600 miliar per tahun—setara dengan “pajak tak kasat mata” sebesar USD4.000–6.000 bagi setiap rumah tangga Amerika.

Sejak 2020, lebih dari 60 insiden spionase besar dilaporkan terjadi di wilayah AS, termasuk penyusupan ke pelabuhan, laboratorium penelitian, dan infrastruktur penting—sering kali terkait dengan aktor negara China. Aktivitas ini tak hanya merusak daya saing industri, tetapi juga membahayakan keamanan nasional dengan mengalirkan desain semikonduktor dan teknologi bioteknologi canggih ke sektor militer China.

Dugaan Pelanggaran HAM

Di dalam negeri, Partai Komunis China (CCP) mengoperasikan sistem pengawasan dan sensor yang luas untuk menekan oposisi dan mengontrol arus informasi.

Menurut Human Rights Watch (HRW), “Tembok Api Besar” China memblokir lebih dari seribu situs berita, media sosial, dan platform pesan global—termasuk Reuters, The New York Times, dan BBC—dan memaksa warga untuk menggunakan platform dalam negeri yang dipantau ketat.

Filter otomatis berbasis AI dan jutaan sensor negara memantau konten daring untuk mencari kata-kata terlarang, sementara hukum setempat mengkriminalisasi “penyebaran rumor” atau “subversi kekuasaan negara,” yang digunakan untuk menahan jurnalis, pengacara, dan blogger yang mengkritik pemerintah.

Sistem pengawasan digital ini tak hanya menumpulkan kebebasan berekspresi, tetapi juga menciptakan ketakutan yang melumpuhkan kepercayaan publik.

Dugaan pelanggaran hak asasi manusia China mencapai puncaknya di Daerah Otonomi Xinjiang, tempat lebih dari satu juta warga Uighur dan etnis Muslim Turki lainnya ditahan secara massal. Kantor HAM PBB menyatakan tindakan ini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Para penyintas menggambarkan adanya kerja paksa, penyiksaan, indoktrinasi politik, dan sterilisasi paksa, yang disamarkan sebagai “pusat pelatihan kerja”. Di luar Xinjiang, organisasi-organisasi yang didanai pemerintah China mempengaruhi forum PBB untuk membungkam kritik, sementara kedutaan besar China memantau dan mengintimidasi diaspora di luar negeri—secara efektif mengekspor sistem represi domestik ke kancah global.

Selama masa lockdown Covid-19 antara 2020–2022, obsesi pemerintah China terhadap kontrol informasi menyebabkan konsekuensi mematikan.

Dr Li Wenliang, dokter pertama yang memperingatkan koleganya tentang virus mirip SARS, ditekan polisi karena dianggap menyebarkan rumor dan dipaksa menandatangani surat peringatan, bahkan saat wabah mulai menyebar. Jurnalis warga Fang Bin dipenjara selama tiga tahun hanya karena mendokumentasikan kondisi di Wuhan.

Kasus-kasus tersebut memperjelas bagaimana pembungkaman pelapor justru menghambat respons kesehatan global dan melanggar hak dasar manusia.

Inisiatif Sabuk dan Jalan

Kegagalan pengelolaan lingkungan China memperparah pelanggaran HAM dengan dampak kesehatan publik yang mematikan. Studi Global Burden of Disease memperkirakan 1,24 juta kematian di China pada 2017 akibat polusi udara—kebanyakan dari pembakaran batu bara dan emisi kendaraan—yang menyebabkan penyakit jantung, stroke, dan gangguan pernapasan kronis.

Wilayah pedesaan terdampak paling parah, seperti “desa kanker” di Provinsi Guangdong, tempat pencemaran tanah oleh kadmium dari aktivitas tambang dikaitkan dengan tingginya kasus leukemia dan kanker hati. Meski Beijing berkomitmen mencapai netral karbon pada 2060, proyek PLTU baru terus disetujui, merusak upaya mitigasi iklim global.

Secara geopolitik, China menggunakan leverage ekonominya lewat Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), yang oleh sejumlah analis disebut sebagai “diplomasi jebakan utang.”

Kajian Wilson Center menunjukkan bahwa 80 persen pinjaman bank kebijakan China untuk negara mitra BRI diberikan kepada negara-negara yang kini mengalami krisis utang, seperti Sri Lanka dan Zambia, yang memberi ruang bagi Beijing untuk menuntut konsesi politik atau mengambil alih aset strategis.

Di saat yang sama, penjaga pantai dan milisi maritim China rutin mengintimidasi kapal dari Vietnam, Filipina, dan negara tetangga lain di Laut China Selatan—meski pengadilan arbitrase internasional pada 2016 telah menyatakan klaim sembilan-garis China tidak sah.

Preseden Berbahaya

Tindakan-tindakan ini tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga meningkatkan risiko konflik di jalur perdagangan laut tersibuk dunia, senilai lebih dari USD 5,3 triliun per tahun.

Model pembangunan berpusat pada negara yang diterapkan China memang berhasil mengangkat ratusan juta orang dari kemiskinan dan menciptakan infrastruktur kelas dunia. Namun, pencapaian ini dibayar mahal melalui pelanggaran sistematis terhadap keadilan ekonomi, martabat manusia, dan keberlanjutan lingkungan.

Menghadapi tantangan multidimensi ini menuntut tekanan internasional yang konsisten dan terkoordinasi: mulai dari penegakan tegas terhadap aturan WTO dan UNCLOS, sanksi terarah terhadap pelanggar HAM, dukungan bagi media independen dan masyarakat sipil, hingga langkah perdagangan multilateral untuk membendung kebijakan industri koersif.

Tanpa respons kolektif yang tegas, model koersif China berpotensi menjadi preseden berbahaya yang melemahkan tatanan global berbasis aturan, membahayakan kesehatan dan stabilitas dunia, serta mengancam kebebasan dasar miliaran orang di bawah bayang-bayangnya.

Topik Menarik