Trump Lebih Suka Deal dengan Musuh, AS Sedang Tinggalkan Israel?

Trump Lebih Suka Deal dengan Musuh, AS Sedang Tinggalkan Israel?

Global | sindonews | Jum'at, 16 Mei 2025 - 13:13
share

Presiden Donald Trump, dalam masa kepemimpinan keduanya, mengisyaratkan bahwa dia sedang menulis ulang kamus hubungan Amerika Serikat (AS) dan Israel.

Di saat Presiden Joe Biden dikenal menerapkan pendekatan "bear hug", yakni dukungan vokal terhadap Israel disertai upaya diam-diam untuk mengekangnya, Trump justru tampil dengan pendekatan yang tampaknya berlawanan: keras dalam retorika pro-Israel, namun dingin dalam diplomasi kawasan.

Kunjungan Trump ke Timur Tengah pekan ini—yang tidak mencakup Israel—menjadi simbol paling nyata dari pergeseran ini. Meski Trump menyangkal bahwa ketidakhadirannya di Tel Aviv adalah bentuk pengabaian, dengan mengatakan bahwa perjalanannya “sangat baik untuk Israel", kenyataannya tak bisa disembunyikan: Israel tidak lagi menjadi pusat orbit diplomasi Timur Tengah AS di bawah Trump.

“Pesan yang konsisten dari Trump adalah, ‘Saya punya rencana untuk kawasan. Anda boleh ikut, tapi kalau mau diabaikan, silakan',” kata Nimrod Novik, mantan penasihat kebijakan luar negeri Shimon Peres saat berkuasa sebagai perdana menteri Israel, seperti dikutip dari Vox, Jumat (16/5/2025).

Trump yang Tak Sesuai Harapan Israel

Kemenangan Trump dalam Pemilu AS November lalu disambut dengan euforia di Israel. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji Trump atas “kembalinya sejarah paling fenomenal” dan memprediksi adanya “komitmen besar terhadap aliansi hebat antara Israel dan Amerika.”

Optimisme itu tidak mengherankan. Dalam masa jabatan pertamanya, Trump dikenal sebagai presiden paling pro-Israel dalam sejarah AS, dari memindahkan kedutaan AS di Tel Aviv ke Yerusalem, mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, menginisiasi Abraham Accords, hingga membatalkan kesepakatan nuklir Iran era Barack Obama.

Namun, di periode keduanya, meski retorika tetap nyaring, kebijakan aktualnya mulai terasa menjauh.

Negosiasi dengan Musuh, Tanpa Israel

Pergeseran paling mencolok terlihat dari cara Trump mengelola diplomasi kawasan. Pemerintahannya diketahui telah menggelar pembicaraan langsung dengan tiga musuh utama Israel: Hamas, Iran, dan Houthi Yaman, tanpa melibatkan Israel—sebuah langkah nyaris tanpa preseden dalam sejarah hubungan kedua negara.

Pada Maret lalu, misalnya, Adam Boehler, utusan Trump untuk urusan sandera, bernegosiasi langsung dengan Hamas terkait pembebasan warga AS, tanpa koordinasi dengan Israel. Meskipun Boehler akhirnya dikeluarkan dari tim, Hamas kemudian membebaskan satu-satunya sandera Amerika yang tersisa, Edan Alexander, melalui jalur yang sama, bahkan tanpa sepengetahuan resmi dari Tel Aviv.

Yang lebih mengejutkan, saat Netanyahu berada di Gedung Putih bulan lalu, Trump mengumumkan dimulainya pembicaraan langsung dengan Iran mengenai program nuklirnya, tanpa memberitahu Israel sebelumnya.

“Saya rasa tidak ada satu pun pemerintahan AS, baik Demokrat maupun Republik, yang pernah melakukan pendekatan independen sebesar ini terhadap musuh-musuh Israel,” ujar Aaron David Miller, mantan negosiator perdamaian Timur Tengah di beberapa pemerintahan AS.

Kemarahan, Uang, dan Politik Domestik

Apa yang mendorong perubahan ini? Sebagian analis menyebut bahwa Trump mulai frustrasi terhadap Netanyahu. Dalam satu pertemuan Oval Office, Trump menolak usulan penghapusan tarif impor untuk Israel dengan berkata: “Kami memberi Israel USD4 miliar per tahun. Itu banyak. Selamat, by the way.”

Selain itu, kubu kebijakan luar negeri Partai Republik sendiri kini tengah berubah. “Faksi restrainer" yang lebih skeptis terhadap keterlibatan militer AS di luar negeri, kini punya tempat di lingkar dalam Trump. Wakil Presiden JD Vance, misalnya, mengatakan bahwa meski Israel berhak membela diri, AS tidak perlu ikut perang dengan Iran.

Trump bahkan memecat penasihat keamanannya yang dikenal hawkish, Mike Waltz, setelah mengetahui bahwa Waltz berkontak dengan pemerintah Israel soal opsi militer terhadap Iran.

Lebih Suka Riyadh daripada Tel Aviv

Trump juga tampak lebih tertarik pada diplomasi ekonomi ketimbang geopolitik. Alih-alih mengunjungi Tel Aviv atau Kairo, Trump memilih berkunjung ke pusat investasi kaya seperti Riyadh dan Abu Dhabi—tempat yang dia sebut sebagai “keajaiban berkilauan.”

Saat duduk bersama Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dan Emir Abu Dhabi Mohammed bin Zayed (MBZ), Trump mendengar pesan baru: ketegangan dengan Iran harus diturunkan, perang di Yaman harus diakhiri, dan Israel harus menahan diri di Gaza. Dua pemimpin Teluk itu kini lebih fokus pada stabilitas kawasan dan bisnis daripada konfrontasi.

“MBS dan MBZ sangat dihormatinya. Dia mendengarkan mereka,” kata Novik, yang kini menjadi pakar di Israel Policy Forum. “Mereka percaya bahwa apa yang terjadi di Gaza tidak akan berhenti di Gaza. Itu mengacaukan kawasan dan buruk untuk bisnis.”

Tangan Bebas untuk Gaza

Di sisi lain, meskipun Trump telah membekukan Israel dari diplomasi kawasan, dia tidak menahan tangan Netanyahu di Gaza. Alih-alih melakukan tekanan seperti yang dilakukan Biden—misalnya membatasi ekspor senjata atau memberi sanksi pada pemukim ekstremis—Trump justru mencabut semua pembatasan itu.

Dia bahkan menyebut bahwa Gaza sebaiknya “dibersihkan” dari warga Palestina dan dibangun menjadi kawasan resor—sebuah pernyataan yang disambut gembira oleh kubu sayap kanan Israel.

Sementara Netanyahu mempertimbangkan eskalasi besar di Gaza, yang dapat mencakup penghancuran sebagian besar bangunan dan pemindahan warga ke “zona kemanusiaan", Trump dan para pejabatnya memilih diam.

Axios melaporkan bahwa Trump telah secara efektif memberi Netanyahu lampu hijau untuk bertindak semaunya.

Jika Biden memeluk Israel terlalu erat, Trump mungkin telah memeluknya dari jauh—atau bahkan tak memeluk sama sekali. Aliansi historis AS-Israel tetap hidup dalam retorika, tetapi mulai goyah dalam aksi nyata.

Trump mungkin masih berbicara tentang “komitmen besar terhadap Israel", tetapi di medan diplomasi, dia justru memilih jalur sendiri, sering kali berseberangan dengan sekutunya.

Dalam dunia politik yang bergerak cepat, satu hal yang kini menjadi jelas: dalam masa jabatan keduanya, Trump tampaknya tidak lagi menganggap Israel sebagai pusat orbit kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah—melainkan hanya salah satu dari banyak bintang yang bisa dia dekati atau abaikan.

Topik Menarik